Trip ini merupakan rangkaian perjalanan ke China yang aku lakukan dari 23 Maret 2017 - 28 Maret 2017. Part selanjutnya dari setiap postingan akan aku link di bagian paling bawah setiap cerita.
Part Sebelumnya : DISINI
Hoaaahmmm… aku terbangun sambil menguap panjang. Syukurlah, sesuai harapanku tidurku semalam benar-benar nyenyak tanpa gangguan apa pun. Seakan-akan tubuhku berterima kasih atas keputusanku untuk menginap di hotel alih-alih memaksakan diri naik kereta sleeper. Kalau semalam aku ada di kereta, mungkin sekarang aku bangun dengan badan pegal, mata panda, badan lengket dan perasaan cranky. Tapi hari ini aku merasa sangat positif. Badanku segar, tenang, dan siap memulai hari.
Aku terbangun dengan suara televisi yang masih menyiarkan saluran olahraga. Aku sempat heran sih, lah sejak semalam masih olahraga aja hehehe..Tapi inilah yang semalam jadi penolong kecilku. Suaranya yang konstan menemaniku melewati rasa takut di hotel yang sepi.
Udara dingin pagi itu membuatku malas bergerak. Rasanya ingin terus meringkuk di balik selimut, menikmati hangatnya kasur empuk dan melupakan dunia luar. Tapi lama-kelamaan aku tersadar, waktuku di Beijing sangat singkat. Kalau aku terus menuruti rasa malas ini, bisa-bisa rugi besar karena banyak tempat tidak terjelajahi. Dengan sedikit perjuangan, akhirnya kupaksakan diri bangun dan langsung mandi air panas.
Begitu air hangat membasuh tubuhku, rasa malas tadi perlahan hilang. Tubuh terasa lebih segar, pikiranku lebih jernih, dan semangatku langsung naik. Aku pun bergegas bersiap-siap dengan penuh antusias. Hari ini aku bertekad untuk eksplor sebanyak mungkin tempat, sejauh kakiku kuat melangkah. Dan destinasi pertama, yang sudah lama masuk daftar impianku setelah Great Wall, tentu saja Forbidden City.
Aku keluar kamar dengan perasaan jauh lebih ringan dari semalam. Badanku segar, pikiranku juga lebih tenang. Saat melewati resepsionis, aku kembali bertemu dengan satpam yang semalam sempat membuatku agak tersinggung karena tatapannya yang seperti mengukur dari atas ke bawah. Kali ini aku memilih tidak terlalu memikirkan, mungkin memang perasaanku saja yang kemarin terlalu sensitif gara-gara kecapekan.
Aku melangkah keluar hotel, menembus udara pagi Beijing yang masih dingin, lalu berjalan menuju stasiun metro. Setelah beberapa kali berganti jalur, akhirnya aku tiba di stasiun yang mengantarku ke tujuan utama hari ini. Begitu naik ke permukaan, mataku langsung tertuju pada sesuatu yang begitu ikonik—gerbang megah Forbidden City dengan Tiananmen Square di depannya!
Dinding merahnya menjulang kokoh, atap genteng kuning keemasan berkilau diterpa matahari pagi, dan tepat di tengahnya terpampang potret besar Mao Zedong yang seakan menjadi “penjaga” abadi gerbang ini. Rasanya seperti sedang menatap wajah sejarah Tiongkok itu sendiri. Pemandangan ini membuat langkahku otomatis melambat. Aku hanya berdiri beberapa saat, menatap gerbang itu sambil berbisik dalam hati, “Akhirnya, aku sampai juga di Forbidden City.”
Aku terus melangkah mendekati gerbang ikonik dengan foto Mao Zedong yang menjulang besar di dinding merahnya. Dari jauh rasanya semangat banget, tapi semakin dekat, aku mulai melihat kerumunan manusia yang nggak ada habisnya. Awalnya aku kira mereka cuma lagi ngantri sesuatu yang ga kupahami. Tapi makin kuperhatikan, barisan itu ternyata mengular rapi, dijaga dengan pembatas, dan panjangnya gila-gilaan.
'Eh, ini mereka ngantri apaan sih panjang banget? Aku sih ogah ngantri sampe kek gitu' aku membatin. Aku sempat jalan di sisi barisan itu, kepo ingin tahu ujungnya di mana. Dan ternyata… astaga, aku baru sadar, itu semua adalah antrian masuk Forbidden City! Wkwk, rasanya aku langsung ketampar sama omonganku barusan, yang sempat bilang ogah kalau harus ngantri. Nyatanya, kalau mau masuk ke ikon nomor satu Beijing ini, ya harus rela ikut antri bersama ribuan orang lainnya.
Jujur, sempat down. Aku berdiri sejenak, mikir keras. Kalau aku ikut ngantri, bisa-bisa berjam-jam berdiri dingin-dingin begini. Tapi kalau aku menyerah, artinya aku ke Beijing tanpa menginjakkan kaki di Forbidden City. Rasanya kayak rugi besar sebagai traveler. Otakku langsung perang, satu sisi bilang “udah skip aja, males ngantri,” tapi sisi lain berteriak lebih keras, “Masa kamu ke Beijing nggak masuk Forbidden City?”
Akhirnya aku menarik napas panjang. Oke lah, meski harus berdiri berjam-jam, aku akan tetap ikut antri. Mumpung udah sampai sini, nggak ada alasan lagi buat mundur. Perlahan tapi pasti aku ikut merayap maju bersama ribuan orang di barisan panjang itu. Awalnya aku sudah pasrah kalau harus nunggu berjam-jam, tapi ternyata antrian bergerak lumayan cepat. Petugas di Forbidden City sigap banget mengatur arus manusia. Dalam waktu sekitar setengah jam, aku sudah sampai ke area penyeberangan bawah tanah. Lorongnya panjang dengan lampu putih dingin, di sisi kanan ada tentara berjaga dengan wajah serius. Rasanya seperti masuk ke area yang sangat terkontrol dan disiplin.
Begitu naik ke permukaan lagi, aku langsung sampai di Tiananmen Square, sebuah halaman luas dengan gerbang ikonik atap kuning emas, dinding merah bata, dan tentu saja potret besar Mao Zedong yang menggantung di tengah. Rasanya takjub, karena gambar ini bukan sekadar foto, tapi merupakan simbol kuat dari sejarah modern Tiongkok. Mao Zedong dikenal sebagai pendiri Republik Rakyat Tiongkok tahun 1949, sosok revolusioner yang membawa China keluar dari perang saudara panjang. Jasanya besar bagi negeri ini, meski penuh kontroversi, tapi tak bisa dipungkiri dia adalah tokoh yang mengubah arah sejarah bangsa.
Lapangan di depanku dipenuhi orang-orang yang berlomba mencari sudut terbaik untuk berfoto dengan latar gerbang megah itu. Aku sempat bingung, “Aduh, siapa yang bisa kuminta tolong ya?” Karena hampir semua orang di sekitarku sibuk dengan grupnya masing-masing, dan aku sadar betul kemungkinan besar mereka nggak bisa bahasa Inggris. Tapi aku nekat juga, aku mendekati seorang lelaki muda Chinese dan meminta bantuan dalam Bahasa Inggris sambil menyerahkan kameraku. Untungnya dia langsung paham maksudku tanpa banyak bicara. Jepret! Satu kali klik, kameraku kembali ke tanganku.
“Xie-xie,” ucapku sambil tersenyum, menerima kamera lagi. Aku lihat hasilnya di layar, cukup bagus lah fotonya. Lumayan bisa jadi kenangan, bukti kalau aku beneran sudah sampai di Forbidden City, salah satu ikon paling legendaris di dunia.
Begitu melewati keramaian Tiananmen Square, aku terus mengikuti arus manusia menuju pintu masuk Kota Terlarang. Dari kejauhan gerbang merah yang menjulang sudah kelihatan, lengkap dengan penjaga berseragam yang berdiri tegak. Satu per satu orang diarahkan masuk melewati pintu besar, lalu menyusuri lorong panjang dengan dinding tebal berwarna kusam. Rasanya benar-benar seperti melangkah ke masa lalu, seakan pintu itu adalah batas antara Beijing modern dan dunia kekaisaran Tiongkok ratusan tahun silam.
Keluar dari lorong itu, aku kira langsung sampai di area utama, ternyata belum. Masih ada halaman luas lain, dengan bangunan besar yang lagi-lagi harus dilewati. Arsitekturnya khas. Dinding merah pekat, atap kuning keemasan, dan hiasan detail penuh ornamen Tiongkok. Semakin aku melangkah, semakin terasa betapa kompleks ini dibangun dengan skala raksasa. Tidak heran, karena memang sejak pertama kali dibangun pada tahun 1406 oleh Kaisar Yongle dari Dinasti Ming, Kota Terlarang memang dirancang sebagai pusat kekuasaan terbesar di Tiongkok.
Di halaman berikutnya aku bertemu antrean panjang untuk membeli tiket. Orang-orang berbaris rapat, menunggu giliran. Awalnya agak malas lihat antrian yang bejibun begitu, tapi apa boleh buat, semua orang ingin merasakan masuk ke istana yang selama hampir 500 tahun menjadi rumah bagi 24 kaisar, dari Dinasti Ming hingga Qing. Akhirnya setelah beberapa lama, tiket pun ada di tangan.
Belum selesai, ternyata masih ada satu tahap lagi yaitu antrean panjang yang meliuk-liuk menuju pemeriksaan keamanan terakhir. Ribuan orang berjalan serempak, tiket di-scan, barang diperiksa satu per satu, hingga akhirnya kami diperbolehkan masuk. Rasa capek jelas ada, tapi begitu berhasil melewati kerumunan itu dan melangkah maju, rasa lega langsung datang, apalagi ketika mataku disambut oleh gerbang megah berwarna merah dengan atap kuning keemasan yang merupakan Meridian Gate.
Meridian Gate atau dalam bahasa Mandarin disebut Wu Men, adalah pintu gerbang utama sekaligus gerbang terbesar di seluruh kompleks Forbidden City. Tingginya menjulang dengan lima buah pintu masuk. Dulu, tidak semua orang boleh lewat dari pintu ini. Bagian tengah, yang paling besar, hanya boleh dilewati oleh kaisar sendiri. Para pejabat tinggi atau tamu negara hanya bisa lewat pintu samping sesuai status mereka. Aturan ini begitu ketat, menunjukkan betapa sakralnya posisi kaisar dalam struktur pemerintahan Tiongkok.
Gerbang ini juga punya sejarah yang cukup "seram". Di masa Dinasti Ming dan Qing, Meridian Gate sering dipakai untuk upacara militer dan penyambutan besar. Tapi di sisi lain, di halaman depannya pernah dilakukan eksekusi terhadap pejabat atau perwira yang dianggap berkhianat. Bayangkan, berdiri di bawah gerbang megah ini, aku bisa merasakan perpaduan antara wibawa, kekuasaan, sekaligus aura kelam sejarah yang pernah terjadi di sini.
Dibangun pertama kali pada awal abad ke-15 oleh Kaisar Yongle dari Dinasti Ming, gerbang ini tetap berdiri kokoh hingga sekarang. Ia menjadi simbol bahwa siapa pun yang melangkah masuk, sudah benar-benar meninggalkan dunia luar dan memasuki pusat kekuasaan kekaisaran Tiongkok. Dan di balik Meridian Gate inilah, kompleks istana megah dengan aula-aula raksasa dan halaman marmer putih mulai tersingkap.
"Tiitt...," akhirnya tiket masukku discan juga. Dengan langkah pasti akhirnya aku benar-benar masuk ke bagian dalam Forbidden City! Huft..akhirnya setelah berlapis-lapis keamanan!
Begitu masuk, aku langsung disambut pemandangan lapangan luas yang membentang. Ribuan orang bergerak serempak, dan di depanku tampak kanal berair yang melingkar indah. Inilah Golden Water River, kanal berbentuk lengkung yang dibangun di depan istana utama sebagai simbol kesucian dan harmoni. Airnya berkilau diterpa sinar matahari, sementara jembatan-jembatan marmer putih, yang dikenal dengan sebutan Golden Water Bridge, membentang anggun di atasnya. Dari atas jembatan ini, aku bisa merasakan bagaimana dulu kaisar dan rombongan istananya berjalan dengan penuh wibawa, melangkah menuju jantung kekuasaan Tiongkok.
Setelah melewati jembatan, bangunan besar dengan atap kuning emas langsung berdiri megah di hadapan. Banyak turis berhenti di sini untuk berfoto, termasuk aku, karena suasananya benar-benar ikonik. Bangunan yang kulihat itu adalah Gate of Supreme Harmony (Taihe Men), gerbang menuju halaman terdalam istana. Letaknya tepat setelah Golden Water Bridge, sebelum akhirnya mencapai aula tertinggi, yaitu Hall of Supreme Harmony (Taihe Dian) di belakangnya.
Gate of Supreme Harmony dulu berfungsi sebagai pintu masuk resmi menuju area upacara besar. Di sinilah pejabat istana berkumpul, menunggu panggilan, atau menata barisan sebelum kaisar tampil di depan rakyatnya. Bentuknya khas arsitektur kekaisaran Tiongkok yaitu atap bersusun dengan ubin kuning (warna khusus kaisar), pilar merah besar yang menopang bangunan, serta detail ukiran berwarna hijau, biru, dan emas yang membuatnya tampak megah.
Begitu melewati Gate of Supreme Harmony dan berjalan maju, pandangan langsung tersedot pada bangunan yang jauh lebih besar dan megah di hadapan: Hall of Supreme Harmony atau Taihe Dian. Dari kejauhan saja sudah terasa aura wibawanya. Atapnya berlapis kuning keemasan, menjulang dengan lekukan khas arsitektur istana Tiongkok yang simetris sempurna. Tiang-tiang merahnya berdiri tegak menopang balok-balok kayu berukir warna biru, hijau, dan emas, berpadu indah seakan seluruh detailnya dibuat untuk menunjukkan kebesaran kekaisaran.
Di depan aula terbentang lapangan luas berlapis batu, tempat ribuan pengunjung hari ini berjalan berdesakan. Tangga marmer putih yang menjulur ke atas menuju pintu utama memberi kesan sakral, apalagi dihiasi dengan ukiran naga yang seakan mengawal setiap langkah. Sementara itu di sisi-sisi halaman terlihat bejana perunggu raksasa, dulunya dipakai sebagai wadah air darurat untuk memadamkan kebakaran, tapi kini lebih seperti hiasan bersejarah yang menambah kesan agung.
Hall of Supreme Harmony sendiri adalah bangunan terbesar dan terpenting di Forbidden City. Di sinilah tahta kaisar berada, di ruangan megah dengan langit-langit tinggi berukiran naga emas. Aula ini dipakai untuk upacara-upacara paling sakral seperti penobatan kaisar, perayaan ulang tahun, atau penerimaan duta besar dari negeri-negeri jauh. Bisa kubayangkan dulu ribuan pejabat berdiri berbaris di pelataran ini, sementara sang kaisar duduk di singgasananya yang disebut Dragon Throne, seluruh pandangan tertuju padanya.
Sejarah mencatat, Hall of Supreme Harmony pertama kali dibangun pada awal Dinasti Ming (abad ke-15), lalu berkali-kali terbakar dan dibangun ulang. Versi yang berdiri sekarang merupakan hasil rekonstruksi pada Dinasti Qing. Dari masa ke masa, bangunan ini tetap menjadi simbol tertinggi kekuasaan kaisar, seakan-akan satu pusat semesta Tiongkok kala itu.
Aku berjalan menaiki tangga marmer putih yang menjulang tinggi menuju Hall of Supreme Harmony, bangunan paling megah di seluruh Forbidden City. Dari bawah saja sudah terasa wibawanya. Atapnya bertingkat tiga dengan ubin kuning keemasan, tiang-tiang kayu raksasa berwarna merah darah naga, dan detail ukiran yang begitu rumit. Ribuan orang di sekelilingku berdesakan, semua ingin menuju pintu utama untuk melihat apa yang ada di dalam.
Namun, begitu aku sampai di depan pintu, barulah sadar: ternyata kita tidak bisa masuk ke dalam aula ini. Hanya bisa mengintip dari balik pagar kayu, berdiri bersama puluhan turis lain, kamera diangkat tinggi-tinggi berharap menangkap sedikit sudut interior. Awalnya agak kecewa, tapi semakin kupikir wajar juga—bagian dalamnya sangat berharga, terlalu sakral untuk dibiarkan terinjak-injak jutaan kaki pengunjung.
Dari luar, aku bisa melihat sekilas isi aula. Di bagian tengah ada Dragon Throne—tahta naga sang kaisar—berdiri gagah di atas panggung berlapis marmer putih. Kursinya berornamen naga emas, dengan ukiran yang detailnya benar-benar luar biasa. Langit-langit di atas tahta dihiasi panel kayu berlapis emas dengan ukiran naga berpilin di sekitar mutiara api, simbol kekuasaan dan langit. Lampion-lampion besar tergantung, warnanya merah dan emas, menambah suasana megah.
Puas melihat-lihat dengan berdesak-desakan, aku turun dan mengitari bagian samping Hall of Supreme Harmony. Mataku tertuju pada sebuah benda besar dari perunggu berwarna hijau tua, berdiri kokoh di atas landasan marmer. Bentuknya unik, bertiga kaki gemuk dengan badan bulat besar dan pegangan di samping, semacam guci raksasa tapi jelas bukan guci biasa. Aku browsing, inilah yang disebut ding, bejana perunggu kuno yang dulu dipakai untuk menyalakan api atau membakar dupa di lingkungan istana.
Membayangkannya, aku seperti bisa melihat asap tipis mengepul dari dalam bejana ini ratusan tahun lalu, menambah khidmat suasana upacara kekaisaran. Di balik fungsi praktisnya, ternyata ding punya makna simbolis yang dalam yaitu lambang kekuasaan dan legitimasi kaisar. Semakin banyak dan besar bejana seperti ini, semakin tinggi pula wibawa sang penguasa.
Keluar dari Hall of Supreme Harmony (Taihe Dian), aku disambut halaman besar dengan tiga bangunan penting berjajar lurus ke utara. Tiga aula ini dikenal sebagai Trilogi Harmoni yaitu Hall of Central Harmony (Zhonghe Dian), Hall of Preserving Harmony (Baohe Dian), dan tentu saja aula utama yang sudah kulewati tadi, Hall of Supreme Harmony.
Bangunan pertama yang kutemui adalah Hall of Central Harmony (Zhonghe Dian). Dari luar, ukurannya memang jauh lebih kecil dibanding Taihe Dian, tapi posisinya sangat strategis—tepat di tengah poros utama kompleks. Dahulu, kaisar selalu berhenti di sini sebelum menghadiri upacara besar. Fungsinya semacam ruang tunggu sekaligus tempat persiapan, di mana ia duduk di singgasananya, memeriksa dokumen terakhir, menerima briefing singkat dari pejabat istana, dan menenangkan diri sebelum tampil di hadapan ribuan pejabat. Jadi meskipun kecil, Zhonghe Dian punya makna simbolis yaitu pusat keseimbangan dan harmoni.
Hall of Central Harmony (Zhonghe Dian - kiri) dan Hall of Preserving Harmony (Baohe Dian - kanan)
Aku berusaha mendekat, tapi jujur saja, kakiku sudah mulai menjerit. Dari Tiananmen Square, antrean yang super panjang, melewati lapisan gerbang keamanan, lalu terus berjalan di halaman luas—semuanya membuat telapak kakiku terasa perih, seperti ditusuk-tusuk. Akhirnya aku menyerah sebentar, cari tempat agak sepi, duduk leyeh-leyeh sambil minum air dan makan snack kecil yang kubawa. Rasanya nikmat sekali bisa rebahan walau cuma sebentar.
Saking capeknya, aku sempat nekat lepas sepatu. Pijit-pijit telapak kaki yang rasanya panas dan kaku, tapi begitu angin dingin menyentuh kulit, rasanya langsung menggigil! Ga kuat, buru-buru kupakai lagi sepatuku sambil ketawa miris dalam hati. Duduk lebih lama pun bikin tubuh semakin dingin karena angin di pelataran luas ini tak henti-hentinya berhembus. Aku jadi sadar betul: kebiasaanku di Surabaya yang jarang jalan kaki bikin kakiku “kaget” berat. Sekali traveling, sekali jalan panjang, langsung ambruk wkwk.
Setelah cukup istirahat, aku melangkah lagi ke aula berikutnya yaitu Hall of Preserving Harmony (Baohe Dian). Nah, aula ini punya sejarah yang agak unik. Pada masa Dinasti Ming, aula ini digunakan sebagai ruang perjamuan agung, terutama menjelang tahun baru Imlek, di mana kaisar menjamu pangeran dan bangsawan. Sementara pada masa Dinasti Qing, fungsinya berubah—di sinilah diselenggarakan ujian kenegaraan tingkat akhir untuk memilih pejabat sipil terbaik dari seluruh Tiongkok. Bayangin aja, para sarjana muda datang dari berbagai penjuru negeri, lalu duduk di aula megah ini untuk mengerjakan soal ujian. Pemenangnya bisa langsung jadi pejabat tinggi negara. Jadi Baohe Dian itu ibaratnya “ruang sidang kelulusan” yang menentukan masa depan seseorang.
Di sekitar aula juga terdapat benda-benda monumental yang bikin aku berhenti sejenak karena penasaran, yaitu bejana-bejana perunggu raksasa berhiaskan kepala naga emas. Dulu, bejana ini dipakai sebagai wadah air untuk antisipasi kebakaran istana. Karena seluruh bangunan terbuat dari kayu, api menjadi ancaman terbesar. Ada lebih dari 300 bejana seperti ini tersebar di seluruh kompleks, dan sampai sekarang masih bisa dilihat megahnya. Orang-orang antre untuk melihat lebih dekat, ada juga yang usil mengelus kepala naga emasnya karena dipercaya membawa keberuntungan.
Semakin jauh berjalan, semakin aku sadar betapa detailnya setiap bangunan. Tiang-tiang merah menjulang menopang atap kuning bergaya istana, ukiran naga dan awan memenuhi balok-balok kayu, dan pintu-pintu berlapis cat emas menampilkan pahatan naga dengan detail luar biasa. Semuanya bukan sekadar hiasan, tapi simbol kekuasaan dan keagungan kaisar yang dianggap sebagai “Putra Langit”.
Namun di balik kekaguman itu, kakiku makin terasa berat. Setiap langkah seperti melawan rasa sakit. Aku sempat duduk lagi di tepian tangga, minum sedikit, mengunyah sisa snack, sambil melihat lautan manusia yang juga kelelahan. Rasanya lucu, di satu sisi aku sedang ada di salah satu situs sejarah terbesar dunia, tapi di sisi lain, tubuhku hanya ingin pulang, tidur, dan rendam kaki di air hangat.
Hall of Preserving Harmony (Baohe Dian)
Jalan menurun panjang setelah Hall of Preserving Harmony (Baohe Dian). Dari sini jalurnya lurus menuju Gate of Heavenly Purity (Qianqing Men) yang menjadi pintu masuk ke Inner Court.
Begitu keluar dari Hall of Preserving Harmony (Baohe Dian), ternyata sebenarnya penjelajahan di Forbidden City ini belum selesai. Apa yang baru kulalui barusan masih bagian Outer Court, yaitu area resmi tempat berlangsungnya upacara kenegaraan dan pemerintahan. Sementara itu, di sisi utara kompleks masih terbentang Inner Court, bagian paling privat yang menjadi kediaman keluarga kekaisaran.
Inner Court terdiri dari tiga bangunan utama di garis sumbu utara-selatan. Pertama, Palace of Heavenly Purity (Qianqing Gong) yang dulunya menjadi kediaman Kaisar sekaligus tempat ia mengatur urusan sehari-hari dalam lingkup istana. Kedua, Hall of Union (Jiaotai Dian), aula kecil yang menghubungkan istana Kaisar dan Permaisuri, berfungsi sebagai tempat penyimpanan cap-cap kekaisaran, simbol legitimasi dan kekuasaan. Dan terakhir, Palace of Earthly Tranquility (Kunning Gong) yang semula merupakan kediaman Permaisuri, lalu pada masa Dinasti Qing dialihfungsikan untuk ritual penting, termasuk upacara pernikahan kaisar. Bagian ini aku eksplor dengan cepat karena rasa nyeri di kakiku semakin menjadi-jadi, seakan menagih protes karena aku jarang sekali olahraga jalan kaki selama di Surabaya, sementara disini langsung dibuat jalan kaki berkilo-kilometer sehari. Udara dingin Beijing juga membuat otot kaki cepat kaku. Aku sempat duduk berkali-kali, lepas sepatu sebentar, bahkan memijat-mijat telapak kaki, tapi dinginnya lantai batu membuatku tak bisa lama-lama.
Tak berhenti di situ, di ujung utara Forbidden City ternyata masih ada Imperial Garden (Yuhuayuan). Rasanya agak kontras sekali: setelah tadi berjam-jam melewati aula-aula besar yang megah, kaku, dan penuh wibawa kekaisaran, tiba-tiba aku masuk ke sebuah ruang yang lebih “manusiawi” — sebuah taman kecil di mana kaisar, permaisuri, dan keluarga istana dulu bisa bernapas lega, bersantai, bahkan sekadar jalan-jalan sore.
Hal pertama yang menarik mataku adalah sebuah pohon tua dengan batang hitam dengan bentuk batangnya berliku-liku, bercabang seperti naga yang sedang menari. Karena keunikan bentuknya, pohon ini diberi penyangga agar tetap bisa hidup stabil sampai sekarang. Itu bukan sembarang pohon — konon ini adalah pohon cypress kuno yang sudah berusia ratusan tahun. Aku membayangkan, pohon ini sudah ada sejak zaman Ming atau Qing, mungkin pernah menyaksikan langkah kaki kaisar terakhir Qing, Puyi, yang masih kecil berlari di bawah naungannya. Ada semacam aura “diam tapi tahu segalanya” dari batangnya yang bengkok itu. Dulu, taman ini jadi tempat kaisar, permaisuri, dan keluarga kerajaan berjalan santai, berdoa di kuil kecil, atau sekadar menikmati suasana alami setelah urusan pemerintahan di aula utama. Jadi, meskipun sudah melewati aula megah dan upacara agung, Forbidden City ditutup dengan nuansa teduh nan tenang di taman ini.
Tak jauh dari situ, berdiri sebuah batuan hias besar yang ditaruh di atas alas berpagar ukiran. Batuan ini bukan sekadar dekorasi: orang Tiongkok sejak dulu menganggap batu dengan bentuk unik, penuh lubang, dan berdiri gagah sebagai simbol kekuatan alam. Kaisar dan keluarganya bisa duduk-duduk di sekitar batu ini, seolah sedang “bertemu” dengan gunung dan alam liar, tanpa harus meninggalkan istana. Mungkin di sinilah mereka menemukan sedikit ilusi kebebasan dari dinding merah tinggi yang mengurung.
Lalu ada juga sebuah paviliun kecil beratap indah, dengan tiang merah dan hiasan kayu berwarna emas-hijau. Paviliun ini dulunya tempat untuk beristirahat, membaca, atau sekadar menikmati teh sambil dikelilingi wangi bunga di musim semi. Dibanding aula megah seperti Hall of Supreme Harmony, paviliun ini terasa intim, seolah dirancang untuk percakapan pribadi, atau mungkin untuk momen-momen diam dalam kesendirian seorang kaisar.
Salah satu paviliun kecil dalam taman, contohnya Pavilion of Imperial Scenery (钦安殿) atau Paviliun Zhenshun, yang dibangun dengan gaya atap oktagonal (segi delapan) khas paviliun taman kekaisaran.
Di Imperial Garden ini, aku bisa merasakan sisi lain dari kehidupan istana — bukan sekadar simbol kekuasaan, tapi juga sisi manusiawi: tempat mereka mencari ketenangan, bermain dengan anak-anak, atau sekadar menatap langit biru. Ironisnya, justru di bagian terakhir inilah aku sendiri juga berhenti agak lama, ikut bersandar, mengistirahatkan kaki yang sudah nyeri, sambil membayangkan bagaimana rasanya jadi orang yang tinggal di balik dinding merah itu.
Imperial Garden ini bisa dibilang merupakan penutup dari kompleks Forbidden City. Berjalan ke utara lagi, aku melewati Gerbang Shenwu (Shenwumen / Gate of Divine Might) — pintu terakhir yang jadi jalur resmi keluar kompleks istana. Begitu melewati gerbang ini, langsung tersaji pemandangan parit besar berair biru yang mengelilingi seluruh Forbidden City, namanya Tongzi River. Oya rute untuk turis memang dibuat searah, masuk dari Gerbang Selatan, keluar dari Gerbang Utara. Jadi tidak bisa setengah-setengah eksplornya! Hehe..
Parit yang mengelilingi Forbidden City ini bukan cuma hiasan, tapi dulunya punya fungsi pertahanan. Bayangin aja, dinding merah raksasa setinggi belasan meter itu udah susah ditembus, ditambah lagi ada parit selebar ini mengelilingi, jelas bikin siapa pun yang berniat nyelonong masuk mikir dua kali. Airnya juga jadi semacam batas alami, menjaga kompleks dari kebakaran besar dan sekaligus menambah kesan megah dari luar.
Aku memilih duduk sebentar di taman dekat parit. Rasanya lega banget, habis menempuh ribuan langkah di dalam Forbidden City, akhirnya bisa istirahat. Kaki, betis, paha—semua protes barengan. Lagi asyik rebahan di bangku, mataku tiba-tiba tertuju ke penjual gulali tradisional di pinggir jalan. Dari kemarin aku penasaran sama jajanan ini, akhirnya rasa kepo terbayar.
Gulali itu bentuknya bulat-bulat, ditusuk seperti sate, dan diselimuti gula merah yang mengeras jadi lapisan karamel mengkilap. Begitu kugigit, lapisan gulanya crunchy, langsung pecah manisnya di mulut, lalu ketemu bagian buah di dalam yang agak asam-segar. Jadi rasanya unik banget: perpaduan manis legit dan asam seger, bikin nagih. Manisnya nggak kayak permen biasa, tapi lebih “jadul” dan natural.
Aku habiskan gulali sambil duduk, sesekali lihat air parit yang berkilau kena matahari siang. Badan udah agak pulih, meskipun kaki masih pegal, tapi hatiku semangat lagi. Dari sini, tujuan berikutnya udah jelas yaitu tinggal nyebrang dikit ke barat, masuk ke Beihai Park! Siap menyiksa kaki jilid 2! Wkwkwk...
0 comments:
Posting Komentar