Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

8.21.2025

Boyolali, 21 Agustus 2025 : Hewan Peliharaan sebagai Teman Jiwa

 Ada satu fase hidup yang sering bikin kita merasa kosong, yaitu usia dewasa di rentang akhir dua puluhan sampai lima puluhan. Pada fase ini, apalagi kalau kamu masih single, rasa kesepian sering datang tanpa permisi. Atau mungkin jika menikah dengan 'orang yang dirasa tidak tepat', rasa kesepian juga datang tiap hari, kalau ini bahkan dibalut ekspetasi.

Di masa ini, kepala kita biasanya dipenuhi banyak hal. Soal pekerjaan, target yang katanya harus segera tercapai, standar keberhasilan versi orang lain, kesehatan orangtua yang menurun, sampai soal kesehatan mental. Kadang kita membandingkan diri dengan teman-teman sebaya. Si A sudah menikah, si B sudah punya rumah besar, si C sudah pegang jabatan tinggi. Sementara mungkin kita masih menata diri. Atau mungkin sebenarnya kita sudah berkecukupan. Tapi rasa membandingkan, atau perasaan merasa kecil dan tak berdaya itu, sering kali masih saja menyelinap. Dari situ tekanan datang, berubah jadi stres, lalu bisa merembet ke depresi.

Kesepian ini semakin terasa kalau kita adalah seorang introvert. Memang kita tidak suka keramaian, lebih suka mengisi ulang energi dengan kesendirian. Tapi bukan berarti tidak mendambakan seseorang yang bisa diajak ngobrol panjang tentang hidup, mimpi, atau keresahan. Sayangnya kesempatan itu jarang ada. Orang lain punya kesibukan dan prioritasnya sendiri, dan akhirnya kita kembali duduk sendirian, mencoba berdamai dengan sunyi.

Aku sendiri percaya ada dua cara sederhana untuk sedikit meredam badai dalam kepala itu. Meditasi vipassana dan memelihara hewan.

Kalau meditasi vipassana mengajarkan kita untuk melihat pikiran datang dan pergi sebagaimana adanya, memelihara hewan memberikan sandaran dalam bentuk nyata.

Bayangkan kamu pulang kerja dengan kepala penuh pikiran. Begitu membuka pintu, ada kucingmu yang langsung menyambut, menggesekkan badan ke kakimu. Atau anjingmu yang meloncat-loncat heboh seakan kamu adalah orang paling penting di dunia. Hewan peliharaan memang punya obsesi unik dengan tuannya. Mereka ingin selalu dekat, ingin diperhatikan, dan itu membuat kita merasa berarti, penting, dan dibutuhkan.

Ada momen sederhana yang terasa dalam. Memeluk kucing di pangkuan, membelai bulu lembut kelinci, atau mengajak anjing berlari sore hari. Kehangatan itu nyata, seolah memberi pesan bahwa kamu tidak sendirian.


Saat Lelah dengan Manusia

Kadang kita sampai di titik paling jenuh menghadapi manusia dan segala omong kosongnya. Rasanya capek dengan drama, ekspektasi, atau bahkan sekadar basa-basi. Pada saat itu, hewan berbulu hadir dengan cara yang polos. Mereka datang hanya untuk minta dipeluk.

Kamu bisa curhat panjang lebar, bahkan sampai menangis, dan mereka hanya diam. Tidak menghakimi, tidak memberi nasihat klise, tidak memotong cerita. Ada yang percaya hewan bisa mengerti kesedihan kita, mungkin benar, mungkin tidak. Tapi seringnya mereka hanya duduk diam atau sekadar minta makan, minta dielus. Sederhana. Namun justru kesederhanaan itu terasa melegakan, apalagi kalau kita sudah terlalu lelah dengan betapa rumitnya hubungan antar manusia.

Memelihara hewan bukan hanya soal hiburan. Mereka bisa jadi alasan untuk bangun lebih pagi, untuk punya rutinitas, bahkan untuk merasakan cinta tanpa syarat. Saat dunia terasa terlalu bising dengan tuntutan yang tak ada habisnya, hewan hadir dalam keheningan. Mereka tidak menuntut kamu harus kaya, sukses, atau menikah. Mereka hanya butuh kamu ada.

Kadang, ketika kepala penuh beban, kita cuma butuh hal sederhana. Ada yang menyambut kita pulang. Ada yang menunggu di rumah. Ada yang bisa kita peluk tanpa takut dihakimi, tanpa ditanya kenapa. Karena terkadang yang kita butuhkan hanya sandaran lembut itu.

Kalau kamu sedang berada di fase quarter life atau mid life crisis, merasa terjebak di antara ekspektasi dan kenyataan, mungkin jawabannya bukan mencari validasi dari luar. Bisa jadi cukup dengan memelihara makhluk kecil berbulu, atau meluangkan waktu untuk duduk tenang bersama diri sendiri.

Pada akhirnya, kesepian memang bagian dari hidup. Tapi kesepian itu bisa jadi lebih ringan kalau kita punya sahabat yang selalu hadir. Entah lewat meditasi yang menenangkan pikiran, atau lewat peliharaan yang setia menemani tanpa kata.

8.18.2025

Probolinggo, 27-29 Oktober 2017 : Eksplor Gili Ketapang !

“Gili Ketapang?"

Dahiku sempat mengernyit saat pertama kali melihat ada tawaran day trip murah  di Instagram ke pulau ini dari Probolinggo. Hanya dengan Rp90.000 sudah termasuk kapal penyeberangan PP, alat snorkeling, pelampung, sampai makan siang. Serius nih?!”

Rasa penasaran langsung membawaku buka Google Maps. Ternyata benar, di sebelah utara Kota Probolinggo memang ada sebuah pulau kecil memanjang bernama Gili Ketapang. Jaraknya hanya sekitar 8 km dari bibir pantai, ditempuh dengan kapal motor sekitar 30 menit.

Setelah aku browsing lebih lanjut, ternyata pulau ini unik. Konon dulunya masih menyatu dengan daratan Jawa sebelum akhirnya terpisah akibat aktivitas vulkanik Gunung Semeru ratusan tahun lalu. Kini luasnya tinggal sekitar 68 hektar, tapi dihuni ribuan penduduk yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Budaya mereka kental dengan tradisi Madura pesisir – bahasa sehari-hari banyak memakai bahasa Madura.


Melihat fotonya di media sosial - air laut jernih, biota bawah laut yang berwarna-warni, dan paket snorkeling murah meriah, aku langsung janji pada diriku: suatu hari aku harus ke sana! Apalagi target pribadiku adalah menjelajah sebanyak mungkin destinasi di Jawa Timur selama masih tinggal di Surabaya. Tinggal siapin motor, temen seperjalanan, dan bensin secukupnya… berangkat! Menunggu dengan sabar, akhirnya kesempatan itu pun datang juga.


Jumat, 27 Oktober 2017

Hari itu, sepulang kerja (di kantor pemerintahan Surabaya), aku langsung pulang, mandi, packing seperlunya, dan bersiap berangkat. Travelmate-ku sudah siap, kami akan motoran bareng dengan tujuan ke Kota Pasuruan/Probolinggo. Kenapa pilihannya di antara 2 kota ini? Karena kalau motoran dari Surabaya – Probolinggo langsung, jaraknya sekitar 100 km. Sedangkan Surabaya – Pasuruan itu lebih pendek, kira-kira 65 km. Jadi, kalau badan nggak kuat, rencananya kami akan berhenti dulu dan nginap di Pasuruan, baru besok pagi lanjut. Tapi target utamanya jelas: Gili Ketapang!

Habis magrib, kami tancap gas keluar kota. Suasana Surabaya malam Jumat itu rame banget. Jalanan arah selatan menuju Sidoarjo dipadati arus kendaraan pekerja yang hendak pulang kampung. Lampu rem mobil berderet panjang seperti ular merah tak berujung, sesekali klakson bersahutan, dan motor-motor lain pun sama-sama berebut celah.

Ruas Surabaya – Sidoarjo benar-benar padat merayap. Si Merah, motor andalan kami, harus sabar ekstra. Nyoba nyalip susah, mau agak ngebut juga nggak bisa. Kadang malah harus berhenti total di persimpangan besar, nunggu lampu hijau atau karena saking macetnya arus. Udara malam itu sebenarnya cukup adem, tapi suasana jalan yang sesak bikin kepala rasanya ikut panas.

Begitu masuk wilayah Sidoarjo, lalu lintas mulai agak lega, meski tetap ramai. Jalur menuju Porong – Bangil dipenuhi truk-truk besar dan bus antar kota yang saling kebut, bikin pengendara motor harus ekstra waspada. Sesekali kami terjebak di belakang truk pasir yang jalannya pelan tapi asapnya bikin batuk. Tapi ya namanya juga perjalanan, harus dinikmati.

Sekitar Bangil, kami sepakat berhenti sejenak di sebuah kafe sederhana pinggir jalan. Bukan kafe hits ala kota besar, tapi cukup untuk duduk sebentar dan ngilangin pegal. Kami pesan kentang goreng sama segelas susu dingin, menyerapnya untuk menjadi energi. Masih ada ruas Bangil - Pasuruan/Probolinggo yang harus kami lalui .

Sekitar pukul 21.45 akhirnya kami sampai di Kota Pasuruan. Badan sudah agak pegal dan mata mulai berat. Setelah mempertimbangkan waktu dan tenaga, kami sepakat untuk tidak memaksakan diri lanjut ke Probolinggo malam itu. Lebih baik cari penginapan, istirahat, dan besok pagi berangkat lagi dengan kondisi segar.

Aku segera buka ponsel, mencari penginapan sederhana yang bersih dan layak. Syukurlah, ketemu satu hotel kecil dengan harga 200 ribu per malam sudah dapat kamar ber-AC. Tanpa pikir panjang, langsung ku-booking. Begitu tiba, kami disambut suasana kota Pasuruan yang khas. Jalanan masih ramai dengan lalu lintas malam, lampu kendaraan berderet, warung dan toko kelontong beberapa masih buka, tapi sebagian sudah tutup dengan pintu besi rapat. Udara pantura bercampur dengan aroma gorengan dari warung kaki lima yang masih berjualan di pinggir jalan.

Setelah check-in, kami segera masuk kamar. Kamarnya sederhana, kasur dengan sprei bermotif cerah, dinding putih polos, dan pendingin udara yang langsung kami nyalakan begitu masuk. Rasanya seperti oase setelah perjalanan panjang motoran. Aku meletakkan tas di sudut kasur, lalu langsung cuci muka dan membersihkan diri seadanya.

“Besok kita jam enam udah otw lagi ke Probolinggo ya. Usahakan tidur cepat,” ucapku pada travelmate sambil setel alarm di ponsel.
“Iya,” jawabnya singkat, sama-sama sudah kelelahan.

Malam itu tidak ada agenda lain. Kami hanya rebahan, memastikan semua perangkat elektronik terisi penuh, lalu membiarkan kantuk menelan tubuh yang lelah. Aku tersenyum kecil sebelum terpejam, akhirnya mimpi untuk menjejak Gili Ketapang sudah di depan mata.


Sabtu, 28 Oktober 2017

Keesokan paginya aku terbangun sekitar pukul 06.00. Setelah bermalas-malasan sebentar di kasur, akhirnya aku paksa tubuhku untuk bangun dan bersiap mandi. Sesuai jadwal, peserta day trip ke Gili Ketapang diwajibkan berkumpul di Pelabuhan Tanjung Tembaga Probolinggo jam 9 pagi. Sementara jarak dari Pasuruan ke Probolinggo masih sekitar 40 km dengan waktu tempuh motoran kurang lebih 1 jam. Jadi supaya masih sempat sarapan dan tidak tergesa-gesa, aku harus gerak lebih cekatan pagi itu.

Aku mandi duluan, dilanjutkan oleh travelmate, lalu sekitar pukul tujuh lebih sedikit kami sudah siap berangkat. Udara pagi terasa sejuk, belum banyak kendaraan besar melintas, jadi perjalanan cukup lancar. Jalur pantura pagi itu masih bersahabat, hanya sesekali ada truk dan bus antar kota yang lewat. Di kiri-kanan jalan, warung kopi dan toko kelontong mulai buka, terlihat aktivitas warga yang baru memulai hari. Rasanya jauh lebih lega dibanding perjalanan malam sebelumnya yang penuh sesak.

Sekitar pukul 08.15 akhirnya kami memasuki Kota Probolinggo. Waktu sebenarnya sudah agak mepet, tapi kami tetap memutuskan untuk sarapan dulu di dekat alun-alun kota. Aku tahu risikonya, bisa jadi mepet banget sampai pelabuhan. Tapi menurutku lebih bahaya kalau langsung snorkeling tanpa isi perut sama sekali. Bisa lemes di tengah laut, kan gawat juga. Jadi kami duduk sebentar, menikmati sarapan seadanya, sambil sesekali melirik jam.

Belum selesai makan, notifikasi WhatsApp mulai masuk. Panitia trip sudah menanyakan posisi kami. Dengan buru-buru kami habiskan sarapan, langsung tancap gas menuju pelabuhan. Untungnya jarak dari alun-alun ke Pelabuhan Tanjung Tembaga tidak terlalu jauh. Jam tepat menunjukkan pukul 09.00 ketika akhirnya kami sampai di pelabuhan. Pas banget. Lega rasanya.

Sesampainya di Pelabuhan Tanjung Tembaga, ternyata semua peserta sudah berkumpul rapi dan bahkan sudah standby di kapal nelayan yang akan membawa kami menyeberang ke Gili Ketapang. Jadi agak nggak enak rasanya, ternyata tinggal kami berdua yang ditunggu wkwk. Tanpa banyak basa-basi, kami langsung naik ke atas kapal, mencari posisi duduk yang lumayan nyaman. 

Pagi itu matahari mulai terasa terik, sinarnya mantul di permukaan air laut. Dari dermaga, air laut tampak hijau agak keruh, bercampur dengan aktivitas pelabuhan yang padat. Bau khas laut dan solar dari kapal nelayan bercampur jadi satu, benar-benar atmosfer pesisir yang khas. Tapi begitu kapal mulai melaju menjauh dari pelabuhan, pemandangan perlahan berubah.

Air yang semula kehijauan dan keruh perlahan berganti menjadi biru tua yang lebih jernih. Ombak kecil bergelombang tenang, memantulkan cahaya matahari pagi. Di kejauhan, garis daratan Jawa mulai tampak mengecil, sementara hamparan laut lepas di utara semakin mendominasi pandangan. Angin laut menerpa wajah, rasanya campur aduk antara segar, asin, dan bikin rambut acak-acakan. 

Kapal nelayan terus melaju dengan suara mesin yang monoton, tapi justru jadi irama pengantar perjalanan. Dari kejauhan mulai terlihat siluet pulau kecil memanjang. Itulah Gili Ketapang, tujuan kami pagi itu.

Semakin dekat dengan Gili Ketapang, rasa kagum itu makin menjadi. Laut yang tadinya biru tua kini berubah gradasi jadi biru muda dan toska, jernih sekali, bahkan dasar karang terlihat samar-samar dari atas kapal. Rasanya benar-benar beda jauh dengan air laut di Pelabuhan Tanjung Tembaga yang tadi masih hijau agak keruh.

Di kejauhan terlihat deretan perahu nelayan yang bersandar di tepi pulau, bendera merah putih berkibar di tiang-tiangnya. Beberapa nelayan tampak sibuk, ada yang memperbaiki jaring, ada juga yang mengangkut barang ke gubuk-gubuk sederhana di tepi pantai. Suasana begitu hidup, seakan menyambut kedatangan kami para tamu akhir pekan.

Pasir putih pulau mulai tampak jelas, berkilau disinari matahari yang siang itu terasa menyengat. Kontras sekali dengan birunya laut. Aku sampai terpana beberapa kali, benar-benar tak menyangka kalau pulau kecil di utara Probolinggo bisa punya panorama secantik ini.

Akhirnya kapal menepi dan kami turun satu per satu, menginjakkan kaki di pasir putih yang terasa panas sekali di telapak kaki. Angin laut berhembus kencang, tapi tidak cukup untuk mengalahkan teriknya matahari. Kami lalu diarahkan menuju sebuah bale-bale bambu beratap rumbia yang sepertinya akan jadi tempat makan siang nanti. Suasananya sederhana tapi teduh, cukup untuk berkumpul bersama.

Di sana, pemandu tour membagikan pelampung dan alat snorkeling kepada kami yang jumlahnya sekitar sepuluh orang. “Kita langsung snorkeling ya setelah ini, silakan ambil yang ukurannya pas. Nanti akan ada dua sampai tiga spot. Setelah snorkeling baru kita makan siang,” jelasnya. Aku mendengarkan sambil menatap laut jernih di depan mata, rasanya sudah tidak sabar untuk segera nyebur.

Setelah semua peserta mendapatkan pelampung dan alat snorkel masing-masing, kami kembali naik ke perahu. Suasana jadi lebih heboh, ada yang sibuk menyesuaikan masker, ada yang bercanda soal takut tenggelam meskipun sudah pakai pelampung. Mesin kapal kembali meraung, membawa kami ke tengah laut untuk menuju spot snorkeling pertama.

Tidak butuh waktu lama, sekitar sepuluh menit kemudian mesin mulai melambat. Pemandu berdiri di ujung kapal dan memberi aba-aba. “Silakan, ini spot snorkeling pertama ya. Waktunya sekitar 30 menit,” katanya sambil tersenyum.

Aku segera mengencangkan pelampung, memastikan masker dan snorkel terpasang benar, lalu dengan satu hentakan… byur! Tubuhku langsung terasa segar disambut air laut yang jernih. Dunia langsung berubah total. Di bawah permukaan, terbentang pemandangan karang warna-warni dengan ikan-ikan kecil yang lincah berenang kesana kemari. Ada ikan biru yang bergerombol, ada juga ikan badut yang sesekali keluar masuk anemon laut, persis kayak di film animasi yang terkenal itu. Sinar matahari menembus dari atas, membuat warna karang semakin memikat.

Aku snorkeling kesana kemari mengikuti liukan ombak, mencoba mendekat ke kumpulan ikan yang terlihat sibuk mencari makan di sela-sela karang. Sesekali aku menengadahkan kepala, memastikan posisiku tidak terlalu jauh dari kelompok. Aku juga selalu melirik ke travelmate-ku, memastikan ia aman. Wajar saja, karena ini pengalaman pertamanya snorkeling, ditambah lagi ia tidak bisa berenang. Untungnya pelampung membuatnya cukup percaya diri, meskipun wajahnya masih campur aduk antara grogi dan kagum.

Melihat ekspresinya, aku jadi ikut senang. Rasanya menyenangkan bisa berbagi pengalaman pertama yang indah seperti ini. Aku sempat mengajarinya untuk rileks, hanya mengapung saja, lalu sesekali menundukkan kepala menikmati keindahan bawah laut. Dan ketika ia akhirnya berani melihat lebih lama ke dalam air, aku bisa melihat matanya berbinar di balik kacamata snorkel.

Sekitar tiga puluh menit menikmati pemandangan bawah laut, pemandu mulai memberi aba-aba agar kami kembali naik ke kapal. Masih ada spot lain yang akan dikunjungi. Mesin kapal kembali meraung, membawa kami ke arah berbeda. Kali ini jaraknya tidak jauh, mungkin hanya sepuluh menit perjalanan saja sebelum mesin kembali dimatikan dan pemandu menunjuk ke arah laut.

“Ini spot snorkeling kedua ya. Di sini ada tulisan ‘Gili Ketapang’ di bawah air. Nanti kalian bisa foto satu per satu, pelampungnya dilepas, nanti kami bantu dorong,” jelasnya.

Satu per satu peserta bersiap. Kami diarahkan untuk berpegangan pada tali yang dipasang dekat tulisan itu, sementara dari atas kapal pemandu membantu mendorong agar posisi tubuh kami bisa tenggelam. Aku rasa hasilnya pasti keren. Peserta lain menunggu giliran sambil mengapung di sekitar kapal.

Begitu giliranku, aku melepas pelampung, mengencangkan snorkel, lalu byur, tubuhku didorong pemandu ke arah tulisan besar “Gili Ketapang” yang diletakkan di dasar karang. Hal pertama yang kurasakan adalah, telingaku langsung sakit terkena tekanan air di kedalaman 4 meter ini. Aku langsung meraih tali yang disediakan, mencoba tersenyum ke arah kamera meski mulut sedang rapat menahan napas. 'Klik', kamera underwater pemandu menangkap momen itu. 

Setelah semua peserta mendapat jatah foto, kami diberi waktu sebentar lagi untuk snorkeling bebas. Aku kembali menikmati liukan ikan-ikan kecil di sela karang, tapi tak lama pemandu memberi tanda. “Kita kembali ke pulau untuk makan siang ya,” serunya.

Tidak butuh waktu lama kapal sudah mengantarkan kami kembali ke Gili Ketapang, tepatnya di bale-bale bambu tempat kami berkumpul tadi pagi. Sekelompok penyelenggara tur terlihat sibuk memanggang ikan di atas bara. Bau harumnya langsung bikin perut makin meronta. “Kalian bisa mandi dulu atau langsung makan,” kata pemandu.

Aku dan travelmate sepakat, mandi belakangan saja. Perut sudah nggak bisa kompromi. Kami langsung ikut antre, mengambil segepok nasi putih hangat, ikan bakar yang aromanya bikin ngiler, plus sambal kecap pedas manis. Begitu suapan pertama masuk mulut, aku refleks nyeletuk, “Wah enaknyaaa!” Rasa ikan lautnya segar, gurih, dan berpadu sempurna dengan sambal kecap. Kabar baiknya, semua peserta boleh nambah sepuasnya. Aku sampai nambah dua kali saking nikmatnya.

Selesai makan, kami leyeh-leyeh sebentar, baru kemudian bergantian mandi di bilik sederhana yang tersedia. Badan rasanya segar kembali setelah berendam lama di laut. Usai mandi, kami sempat beli minuman dingin di warung kecil dekat bale-bale, lalu pemandu memberi tahu kalau kami punya waktu bebas sekitar satu jam sebelum kapal dijadwalkan kembali ke Pelabuhan Probolinggo jam tiga sore.

Kesempatan itu tentu saja tidak kami sia-siakan. Aku dan travelmate memutuskan jalan kaki menyusuri pulau. Suasananya benar-benar khas pemukiman pesisir sederhana. Rumah-rumah warga terbuat dari tembok bercampur bambu, berjejer rapi meski tampak apa adanya. Jalan utamanya berupa tanah berdebu, dengan pagar bambu di kanan-kiri. Masih banyak warga yang memelihara kambing, tampak beberapa ekor sedang diikat di depan rumah, mencari makan seadanya.

Pepohonan di sepanjang jalan sebagian besar gersang, rantingnya dipangkas, menyisakan daun-daun yang tidak terlalu lebat. Sinar matahari sore menerobos di sela-sela batang, membuat bayangan pagar bambu jatuh ke jalan tanah. Meski sederhana, ada kehangatan tersendiri melihat anak-anak kecil berlarian, warga duduk di teras rumah, dan sesekali menyapa ramah.

Sekitar jam tiga sore, pemandu mulai mengumpulkan kami semua di bale-bale. “Sekarang saatnya kembali ke Pelabuhan Probolinggo ya. Semoga kalian puas dengan trip hari ini, puas dengan snorkelingnya, puas juga sama makanannya,” katanya sambil tersenyum. Aku cuma nyengir, dalam hati mengiyakan.

Saat itu memang belum memungkinkan untuk camping atau menginap di Gili Ketapang, jadi pilihan satu-satunya ya harus pulang lagi sore itu juga. Kami naik ke kapal, duduk di tempat masing-masing, lalu mesin kembali meraung. Perjalanan pulang ditempuh sekitar tiga puluh menit, kali ini terasa lebih tenang. Angin laut sore membelai wajah, matahari sudah mulai condong, dan aku duduk sambil membiarkan pikiran melayang.

Ada rasa puas yang sulit dijelaskan. Perjalanan yang awalnya cuma bermula dari rasa penasaran melihat postingan media sosial akhirnya benar-benar terwujud. Aku sudah menginjakkan kaki di Gili Ketapang, sudah menikmati snorkeling, sudah merasakan makan siang ikan bakar segar di tepi pulau, dan sudah melihat langsung kehidupan sederhana penduduknya. Rasa penasaranku akhirnya terpenuhi. 

Setelah kapal merapat di Pelabuhan Tanjung Tembaga, kami segera turun, mengambil motor yang sejak pagi sudah dititipkan di area parkir. Hari masih sore dan sebenarnya tidak ada agenda lain yang harus kami kejar. Aku menoleh ke travelmate, lalu nyeletuk, “Kita ke kafe aja dulu ya, ngadem.” Dia cuma mengangguk setuju sambil senyum, jelas sama lelahnya dengan aku.

Kami pun melaju ke salah satu kafe di pusat Kota Probolinggo. Rasanya nikmat banget bisa duduk di kursi empuk setelah seharian snorkeling dan jalan kaki keliling pulau. Aku memesan segelas es dingin yang langsung bikin tenggorokan plong, sementara sepiring kentang goreng jadi camilan santai sore itu. Kami ngobrol ringan, ketawa-ketawa kecil, sambil menikmati suasana kota yang lebih kalem dibanding hiruk pikuk Surabaya.

Menjelang malam, kami memutuskan untuk menginap di salah satu hotel sederhana di Kota Probolinggo. Setelah meletakkan barang, kami keluar sebentar untuk cari makan malam. Nggak ada yang spesial, hanya sekadar warung makan lokal dengan menu sederhana, tapi setelah aktivitas seharian, rasanya tetap nikmat luar biasa.

Sisanya malam itu kami habiskan untuk istirahat. Tidak ada agenda lain, tidak ada jalan-jalan tambahan, hanya tubuh yang butuh rebahan. Perjalanan hari itu sudah lebih dari cukup memberi kesan mendalam.


Minggu, 29 Oktober 2017

Esok harinya, sekitar jam 12 siang, setelah check-out dari hotel di Probolinggo kami langsung tancap gas kembali ke Surabaya. Tidak ada lagi yang harus dikejar, jadi aku memilih berkendara dengan santai dan hati-hati saja. Namun perjalanan pulang ini jelas bukan hal yang mudah. Jalur Probolinggo–Surabaya membentang sepanjang kurang lebih 100 km, dan siang itu matahari sedang garang-garangnya.

Begitu keluar dari Kota Probolinggo, hawa panas langsung menyerang. Angin yang berhembus pun rasanya ikut panas, bukan menyejukkan. Jalanan pantura dipenuhi lalu lintas padat: truk besar, bus antar kota, mobil pribadi, dan deretan motor. Sesekali kami harus menyalip kendaraan panjang yang berjalan lambat, sambil tetap waspada karena dari arah berlawanan truk-truk lain melaju kencang.

Memasuki Pasuruan, panas siang semakin terasa menyengat. Debu jalan beterbangan, keringat mulai membasahi punggung meski sudah dilindungi jaket. Kami tetap melaju perlahan, menikmati ritme jalanan meski agak melelahkan. Sekitar daerah Grati, kami memutuskan untuk berhenti sejenak. Perut sudah mulai lapar, tenggorokan kering, jadi mampir ke sebuah warung sederhana di pinggir jalan untuk makan sore. Sepiring nasi, lauk seadanya, dan segelas minuman dingin rasanya jadi energi baru untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah itu kami kembali ke jalan. Rute Bangil–Sidoarjo masih padat merayap, apalagi menjelang sore. Sesekali harus sabar terjebak di belakang kendaraan besar, sesekali berusaha mencari celah untuk menyalip. Tapi kami tidak buru-buru, tujuannya hanya sampai rumah dengan selamat.

Akhirnya, sebelum magrib, kami masuk kembali ke Surabaya. Rasa lega bercampur puas langsung menyeruak. Panas, debu, dan lelah motoran terbayar dengan pengalaman dua hari yang memorable di Gili Ketapang. Sebuah perjalanan sederhana, tapi menyenangkan, dan yang paling penting… rasa penasaranku pada pulau kecil itu akhirnya benar-benar terjawab.

FINISHED..