Trip ini merupakan rangkaian perjalanan ke China yang aku lakukan dari 23 Maret 2017 - 28 Maret 2017. Part selanjutnya dari setiap postingan akan aku link di bagian paling bawah setiap cerita.
Part Sebelumnya : DISINI
Selesai menyantap gulaliku, aku sempat berdiri melamun sejenak di tepi Sungai Tongzi sambil tarik napas panjang. Telapak kaki, betis, sampai paha udah benar-benar protes — rasanya tiap langkah kayak menambah nyeri karena kebanyakan jalan dari kemarin. Sempat banget kepikiran “Aduh enaknya balik ke penginapan, rebahan di kasur dingin sambil ngemil, nggak ngapa-ngapain…” Huhuhu.. Ini menyadarkanku tentang pentingnya olahraga (terutama jalan kaki) sebelum traveling ya.. Apalagi kalau negaranya kayak China begini, dimana transportasi publik udah sangat bagus jadi pasti bakal banyak jalan kakinya.
Tapi logikaku langsung nyamber: “Hei, waktumu di Beijing tinggal hari ini sama besok. Besok malam udah harus terbang balik ke KL. Kalau sekarang nyerah, rugi sendiri. Ingat, waktu = uang.” 😂 Jadi dengan sisa tenaga, aku paksa badan buat berdiri dan mulai melangkahkan kaki lagi. Tempat selanjutnya yang akan kukunjungi adalah Taman Beihai (Beihai Park) yang berjarak 900 meter di sebelah barat Gerbang Utara Forbidden City. Cukup dekat jadi bisa jalan kaki aja.
Aku berjalan menyusuri tepi parit yang berkilau, angin sore meniup ranting pohon willow yang sudah mulai berdaun tipis-tipis. Rasanya kayak masuk ke lukisan tinta klasik Tiongkok, dimana menurutku Beijing ini hampir semua sudutnya kok terlihat cantik banget ya. Pelan-pelan, papan petunjuk menuju Beihai Park mulai terlihat.
Tak lama, tibalah aku di Gerbang Selatan Beihai Park. Membayar tiket masuk yang harganya masih sangat terjangkau (sekitar 20 yuan di tahun 2017, kalau ingin naik ke White Dagoba ada tambahan tiket kecil lagi), aku akhirnya resmi melangkah masuk ke kawasan yang dulunya jadi taman pribadi kaisar.
Sebelum benar-benar masuk lebih dalam, aku berhenti sejenak di sebuah papan informasi besar berwarna emas. Tulisan di situ menjelaskan sejarah singkat Beihai Park. Ternyata taman ini bukan sekadar taman kota biasa, tapi dulunya adalah taman kekaisaran yang sudah berdiri sejak tahun 1166, di era Dinasti Jin. Bayangin, usianya sudah lebih dari 850 tahun! Dahulu disebut Yaoyu, atau Pulau Batu Giok, tempat ini dipakai kaisar dan keluarganya bukan hanya untuk bersantai, tapi juga untuk urusan pemerintahan sekaligus ritual persembahan.
Yang bikin aku kagum, papan itu juga menegaskan kalau Beihai Park adalah taman kekaisaran tertua dan paling terawat di dunia. Jadi langkah kakiku berikutnya seakan-akan masuk ke halaman yang dulu pernah diinjak para kaisar dari Dinasti Liao, Jin, Yuan, Ming, hingga Qing. Rasanya agak merinding, tapi sekaligus excited karena aku bakal lihat langsung sisa-sisa kejayaan itu dengan mata kepala sendiri.
Aku melanjutkan langkah kakiku, dan tiba-tiba terhenti karena aku langsung disambut pemandangan yang bikin napas agak tertahan. Sebuah danau luas membentang di depan mata, airnya tenang dan bersih, memantulkan langit biru Beijing yang cerah siang itu. Di kejauhan, sebuah pulau kecil dengan pagoda dan pepohonan rimbun berdiri, di atasnya menjulang White Dagoba (Bai Ta) berwarna putih mencolok.
"Wow.. cantiknya.." kataku dalam hati sambil mengambil beberapa foto untuk mengabadikan.
Di sisi tepi danau, ada jembatan-jembatan putih yang anggun, melengkung halus menghubungkan daratan dengan pulau di tengah. Aku berjalan pelan di atasnya, menikmati suara gemericik air, tiupan angin, dan hiruk-pikuk orang lokal maupun turis yang sibuk berfoto. Suasana yang tadinya penuh wibawa dan kaku di Forbidden City berubah jadi rileks dan damai di sini. Cocok sekali jadi tempat kaisar dulu melepas penat dari urusan politik istana. Seketika aku sedikit melupakan rasa capek di kakiku dan benar-benar merasa damai dan tenang memandangi danau ini.
Pas aku terus berjalan dan melihat maps, akhirnya aku sadar bahwa Beihai Park ini sebenarnya terbagi jadi dua area utama. Di bagian selatan, dekat gerbang masuk utama, ada Round City (Tuancheng). Bentuknya bulat, seperti pulau kecil di tepi danau. Dulu, di masa Dinasti Jin sampai Ming, tempat ini digunakan sebagai bagian dari istana dan ruang persembahan. Di dalamnya bahkan pernah disimpan patung Buddha dari giok putih dan sebuah poci giok bersejarah dari zaman Yuan. Sayangnya, saat Beijing diserang pasukan Aliansi Delapan Negara pada tahun 1900, banyak benda berharga di sini yang dijarah. Setelah itu, pemerintah Tiongkok merenovasinya, dan sejak 1961 Round City ditetapkan sebagai situs warisan budaya nasional.
Lalu, di bagian utara, ada Qionghua Island (kadang juga disebut Qiongdao Island—keduanya merujuk ke pulau yang sama). Pulau inilah yang jadi pusat perhatian Beihai Park dengan White Dagoba yang menjulang di atas bukitnya. Kedua area ini dipisahkan oleh Jembatan Yong’an yang anggun berwarna putih. Jadi, saat masuk dari selatan, pengunjung biasanya melewati Round City dulu, baru menyeberang lewat Yong’an Bridge untuk menuju Qionghua/Qiongdao Island.
Aku melanjutkan langkah memutari Round City, tapi tanpa sadar perut mulai memberontak. Udara juga makin dingin, bikin badan rasanya pengen rebahan aja sambil istirahat. “Mie kayaknya enak deh… bayangin kuah panasnya mengalir ke kerongkongan,” batinku sambil celingak-celinguk mencari kios makan. Untungnya nggak sulit kujumpai penjual mie kuah di sekitar taman, dan harganya pun cukup ramah di kantong.
Tanpa pikir panjang, aku langsung beli satu. Kuahnya mengepul hangat, aroma kaldunya menyeruak, bikin aku makin nggak sabar. Aku duduk di kursi kayu sederhana di tepi danau, lalu mulai makan dengan khidmat, perlahan-lahan, sambil menikmati suasana damai di sekeliling. Rasanya sederhana, tapi nikmatnya luar biasa — apalagi ditemani angin sepoi-sepoi dan pemandangan air yang tenang.
“Liburan tuh harusnya begini,” batinku sambil menyeruput kuahnya pelan. “Bukan maraton 6–7 km tiap hari sampai kaki mau copot.” Aku nyengir sendiri membayangkan itinerary yang seringkali kelewat ambisius. Sesekali aku hembuskan napas panjang, rasa penat dan dingin pun larut bersama hangatnya mie.
Selesai makan dan merasa tenagaku cukup pulih, aku pun melanjutkan langkah menuju Yong’an Bridge, jembatan putih yang melengkung anggun di atas danau. Jembatan ini bukan hanya penghubung daratan dengan pulau Qiongdao, tapi juga punya makna simbolis: melangkah ke jembatan seolah meninggalkan hiruk pikuk dunia luar dan masuk ke ruang yang lebih tenang, tempat kaisar dulu mencari keseimbangan batin.
Setelah menyeberang, aku sampai di Qiongdao Island, sebuah pulau yang ternyata bukit buatan manusia hasil rekayasa lanskap pada masa Dinasti Yuan, Ming, dan Qing. Para kaisar Tiongkok memang suka bikin taman bergaya lanskap buatan: bukit ditimbun dari tanah galian, bebatuan hias (biasanya batu karst/limestone dari Taihu Lake) ditata untuk memberi kesan alami, dan stupa dibangun di atasnya untuk memperkuat makna spiritual. Biasanya orang datang ke pulau ini dengan tujuan utama: mendaki sampai ke White Dagoba (stupa putih) yang berdiri di puncak bukit, simbol perdamaian dan salah satu ikon Beijing. White Dagoba sendiri dibangun pada tahun 1651 atas perintah Kaisar Shunzhi (Dinasti Qing) untuk menyambut kedatangan biksu lama dari Tibet dan sebagai simbol penerimaan agama Buddha aliran Tibet (Lamaisme/gelugpa) di istana kekaisaran.
Aku pun mulai berjalan pelan di jalur menanjak. Jalannya berliku di antara pepohonan pinus tua dan batu-batu karst yang disusun artistik. Di sepanjang jalan, aku melewati beberapa bangunan penting termasuk Yong’an Temple, kompleks kuil yang memang menjadi pintu masuk utama sebelum mendaki ke arah White Dagoba. Di halaman depannya langsung mencolok sebuah wadah batu besar penuh gantungan papan doa berwarna merah. Papan-papan ini biasa ditulis oleh pengunjung dengan harapan atau doa tertentu—mulai dari kesehatan, keselamatan, rezeki, sampai urusan pribadi—lalu digantungkan sebagai simbol agar doa itu tersampaikan.
Aku tidak berhenti lama, hanya melihat-lihat sebentar suasana orang yang sibuk menulis dan menggantungkan papan doanya, sebelum melanjutkan langkah menembus halaman kuil ini. Dari sini jalannya mulai menanjak lebih curam ke arah puncak pulau tempat stupa putih berdiri.
Di perjalanan turun, aku juga sempat berhenti sejenak di paviliun terbuka (gazebo kecil bercat merah) tempat orang-orang duduk bercengkerama sambil menikmati pemandangan danau. Dari sini, jalannya mulai semakin curam, menandakan puncak dengan stupa putih sudah tidak jauh lagi. Konon, paviliun di bawah jalur ini berfungsi lebih sebagai tempat perhentian, doa, dan perenungan, semacam rest area para biksu sebelum menuju pusat utama pemujaan di White Dagoba. Biksu-biksu Tibet yang diundang ke Beijing oleh kaisar biasanya akan langsung menuju White Dagoba untuk melakukan ritual keagamaan. Sedangkan paviliun-paviliun kecil di sekitarnya dipakai pengunjung atau umat untuk menyiapkan sesajen, beristirahat, atau sekadar menikmati suasana sebelum melanjutkan perjalanan spiritual ke atas bukit.
Setelah menuruni jalur berbatu dan kembali ke tepi danau, aku memutuskan untuk memutar lewat jalan lain menuju Round City. Tak lama kemudian, aku sampai di sebuah gerbang megah penuh warna. Atapnya hijau berlapis, tiang-tiang merah kokoh menjulang, dan di atasnya ukiran kayu penuh detail cat biru, hijau, serta emas yang berkilau ketika terkena sinar matahari. Inilah salah satu paifang khas Tiongkok yang menjadi pintu menuju area penting di Beihai Park. Rasanya setiap gerbang seperti ini bukan sekadar pintu lewat, tapi semacam penanda simbolis bahwa aku akan memasuki babak baru dalam perjalanan di dalam taman.
'Oya.. aku kan belum foto yaa dari tadi. Harus ada kenang-kenangannya dong biarpun satu aja,' kataku dalam hati.
Bersamaan dengan keinginanku untuk foto, ada beberapa cowok chinese yang lewat. Dengan cepat aku meminta tolong dan untungnya dia orangnya cukup ramah menfotokan.
"Xie-xie." kataku sembari menerima kameraku lagi.
Aku melanjutkan perjalanan lagi. Di tengah perjalanan aku malah menemukan sebuah tempat yang tidak kalah menarik yang aku lihat di papan namanya Pavilion of Ancient Works. Bangunan ini didirikan pada masa Kaisar Qianlong tahun 1753, fungsinya untuk menyimpan pahatan batu yang berisi kaligrafi kuno bernama Sanxitangfatie. Jadi semacam perpustakaan batu, di mana karya-karya kaligrafi dari zaman Wei–Jin sampai Dinasti Ming dikumpulkan lalu dipahat di atas 495 lempeng batu, kemudian dipajang di sini. Kalau dipikir, ini seperti museum terbuka yang menyimpan harta intelektual Tiongkok kuno, bukan buku kertas, tapi “buku” dari batu.
Arsitektur paviliunnya sendiri berbentuk setengah lingkaran dua lantai dengan puluhan ruangan kecil yang memanjang ke samping. Warnanya dominan merah dengan jendela-jendela panjang, dan di dalamnya berjajar kaca berisi lempengan batu kaligrafi. Teks berhuruf Cina yang terlihat di balik kaca itu adalah ukiran karya para kaligrafer besar—jadi setiap panel yang aku foto bukan sekadar dekorasi, tapi betulan teks klasik yang dianggap pusaka. Rasanya seperti berjalan di antara dinding yang berisi jejak pikiran orang-orang ratusan tahun lalu.
Melangkah keluar, aku kembali dibuat terpesona. Bangunan bergaya menara dengan atap bertingkat menjulang di tepi danau tampak sangat anggun. Di bawahnya ada gerbang melengkung, seolah menjadi pintu kecil menuju dunia lain. Aku berhenti sejenak, mengangkat kamera, dan klik—hasilnya memang cantik banget. Tak jauh dari situ, aku juga menemukan sebuah komplek dengan dinding putih, jendela bulat-bulat, dan pintu kayu merah yang kontras. Entah kenapa, setiap sudut di sini terasa fotogenik; mau difoto dari sudut mana pun tetap terlihat artistik. Awhhh... China, tepatnya Beijing yang kukunjungi ini, emang cantik banget!
Setelah puas berkeliling dan menyerap keindahan Danau Beihai untuk terakhir kalinya, aku akhirnya keluar taman. Sambil meringis sedikit karena kaki yang mulai nyeri lagi, aku tersenyum kecil dalam hati: “Oke, Beihai Park checked.”
Next stop? Melihat panda! 🐼 Kaki, sabar ya.. wkwkwk...
Part Selanjutnya : DISINI
0 comments:
Posting Komentar