Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

6.18.2025

Sadar Setiap Hari (SSH) 19 : Bukan Mereka, Tapi Pikiran Kita Sendiri

 Kita buka media sosial, scroll beberapa detik, lalu...

*Ada cewek umur 20-an yang sudah punya rumah sendiri.
*Cowok-cewek dengan wajah rupawan, badan ideal, mobil mewah, liburan ke luar negeri.
*Ibu muda anak dua, badannya udah balik langsing kayak belum pernah hamil.
*Ada juga yang katanya “kerja cuma dari HP, penghasilan ratusan juta”.

Dan kita yang lagi rebahan pakai baju belel sambil ngelamun tentang cicilan atau kerjaan yang belum selesai-selesai... langsung nyesek.

“Kok hidupku gini-gini aja, ya?”

Itulah rasa insecure. Merasa diri ini tidak cukup baik, tidak sekeren orang lain.
Tapi kalau kita tarik nafas dan mulai melihat dari pandangan Dhamma, kita bisa menemukan cara untuk tidak lagi dikendalikan oleh rasa itu.

Ajaran Buddha: Penderitaan Berasal dari Perbandingan dan Kemelekatan

Salah satu akar penderitaan menurut Sang Buddha adalah tanha, yaitu keinginan yang melekat. Dan salah satu bentuk tanha yang halus tapi menyiksa adalah keinginan menjadi seperti orang lain.

“Ia cantik, kenapa aku tidak?”
“Dia sukses, kenapa aku belum?”
“Mereka bahagia, kenapa hidupku begini?”

Dari perbandingan itu, muncul iri, benci pada diri sendiri, dan rasa kurang yang nggak habis-habis. Padahal, semua itu bermula dari pikiran kita sendiri. Sang Buddha mengajarkan bahwa:

“Tidak ada penderitaan yang lebih berat daripada kebencian terhadap diri sendiri.”

Jadi ketika kita merasa insecure, sebenarnya kita sedang membenci atau menolak diri sendiri dalam bentuk halus. Kita tidak berdamai dengan siapa kita saat ini.


Bagaimana Cara Mengatasi Insecure Menurut Buddhisme?

1. Lihat Media Sosial Sebagai Ilusi (Maya)

Dalam ajaran Buddha, maya artinya ilusi atau tipuan duniawi. Kita hidup di dunia yang penuh dengan hal-hal tampak, yang seringkali tidak mencerminkan realita batin.

Di media sosial, orang-orang membagikan pencapaian terbaik mereka, wajah tercantik mereka (dengan filter), atau gaya hidup paling mewah yang mereka bisa tampilkan. Tapi apakah itu menggambarkan hidup mereka secara utuh? Belum tentu.

Buddha mengingatkan kita untuk tidak terkecoh oleh bentuk luar (rupa) karena itu hanya sementara dan tidak kekal.

Ketika kita percaya penuh pada apa yang kita lihat di media sosial, kita sedang menelan maya mentah-mentah dan membandingkannya dengan hidup kita yang nyata, utuh, dan kompleks. Inilah yang menimbulkan rasa tidak cukup.

Solusinya: Latih diri untuk melihat lebih dalam. Sadari bahwa yang kita lihat hanyalah permukaan. Belajar membatasi waktu di media sosial juga membantu menjaga batin dari racun perbandingan.


2. Latih Sati: Sadar Saat Pikiran Mulai Berbohong

Sati atau mindfulness berarti sadar penuh terhadap apa yang sedang terjadi, baik secara lahir maupun batin. Ketika rasa insecure muncul, itu biasanya dibarengi oleh suara-suara dalam kepala seperti:

“Aku nggak sepintar dia.”

“Aku harusnya lebih sukses di usia ini.”

“Kenapa aku belum kayak mereka?”

Pikiran-pikiran ini muncul otomatis karena kebiasaan batin yang suka membandingkan dan menilai. Tapi Sang Buddha mengajarkan bahwa pikiran itu bukan kebenaran. Mereka hanya arus yang lewat, bukan identitas kita.

“Pikiran adalah pendahulu dari semua keadaan. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran yang jahat, penderitaan akan mengikutinya.” - Dhammapada

Solusinya: Begitu kita menyadari bahwa pikiran mulai mengarah pada self-judgment, langsung berhenti dan amati:

“Ini hanya pikiran, bukan kenyataan. Aku tidak harus percaya pada ini.”

Dengan latihan, kita bisa belajar menjadi pengamat pikiran, bukan budaknya.


3. Ubah Fokus: Dari Membandingkan ke Menghargai Diri Sendiri

Perbandingan itu tidak pernah ada habisnya. Kamu bandingkan dirimu dengan orang kaya, lalu nanti bandingkan lagi dengan yang lebih spiritual, yang lebih bahagia, yang lebih produktif, dan seterusnya.

Buddha mengajarkan tentang mudita, yaitu sukacita atas keberhasilan orang lain, tanpa merasa iri atau kalah. Tapi itu baru bisa tumbuh kalau kita punya penghargaan pada diri sendiri.

“Orang yang mencintai dirinya dengan benar, tidak akan menyakiti dirinya sendiri dengan membandingkan dan menyalahkan diri.”

Solusinya:
Alihkan fokus ke apa yang sudah kamu jalani dengan jujur.

*Mungkin kamu belum kaya, tapi kamu bertahan hidup tanpa menipu.

*Mungkin kamu belum viral, tapi kamu merawat orangtuamu dengan sepenuh hati.

*Mungkin kamu masih berproses, tapi kamu melangkah tanpa menyakiti orang lain.

Itu adalah kebajikan. Dan kebajikan tidak butuh validasi dari like atau komentar.


4. Ingat: Semua Hal Berubah (Anicca)

Dalam dhamma, anicca adalah salah satu dari tiga karakteristik utama semua fenomena. Artinya: Semua hal yang muncul akan berlalu. Semua yang indah akan pudar. Semua yang kita kejar akhirnya akan berubah. Rasa insecure sering muncul karena kita melekat pada standar luar seperti cantik, sukses cepat, populer, viral.

Tapi semua itu sementara. Bahkan bintang pun akan mati. Kalau kita menggantungkan rasa harga diri pada hal-hal yang tidak kekal, maka kita sedang membangun pondasi hidup di atas pasir.

Solusinya: Sadari bahwa perubahan adalah hukum alam. Maka daripada mengejar standar luar, bangunlah kualitas batin: kesabaran, welas asih, kejujuran, ketenangan. Karena itulah yang bertahan dan menenangkan, bahkan saat dunia di luar berubah.


5. Latihan Metta kepada Diri Sendiri

Sering kali kita berlatih metta atau cinta kasih hanya untuk orang lain:

“Semoga dia bahagia.”
“Semoga semua makhluk bebas dari penderitaan.”

Tapi kita lupa, kita juga makhluk. Kita juga berhak atas cinta kasih yang hangat dan tanpa syarat. Buddha berkata, “Kamu bisa mencari seluruh dunia dan tidak akan menemukan orang yang lebih layak dicintai daripada dirimu sendiri.”

Kalau kita tidak menyayangi diri, siapa lagi? Dan rasa insecure itu akan terus muncul kalau kita tidak punya pondasi cinta dalam diri.

Solusinya: Luangkan waktu setiap hari, bahkan hanya 3–5 menit, untuk duduk tenang dan mengucapkan dalam hati:

“Semoga aku menerima diriku apa adanya.”

“Semoga aku terbebas dari rasa tidak cukup.”

“Semoga aku tumbuh dalam damai dan keberanian.”

Latihan ini perlahan membentuk kelekatan batin yang positif, bukan dari validasi orang lain, tapi dari kedalaman diri sendiri.