Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

8.27.2025

[2] CHINA TRIP DIARY: Hari Keberangkatan, mampir Genting Highlands!

 Trip ini merupakan rangkaian perjalanan ke China yang aku lakukan dari 23 Maret 2017 - 28 Maret 2017. Perjalanan ke Malaysia ini aku lakukan sewaktu aku mengambil penerbangan transit terpisah, Surabaya-KL dan KL-Beijing. Part selanjutnya dari setiap postingan akan aku link di bagian paling bawah setiap cerita.


Part Sebelumnya : DISINI


Surabaya, 23 Maret 2017
Bandara Internasional Juanda, Surabaya


Setelah menunggu hampir 9 bulan, akhirnya hari ini datang juga. 23 Maret 2017. Hari dimana aku akan memulai perjalanan solo backpacking lagi setelah terakhir melakukannya 4 tahun yang lalu di Singapura - Malaysia dan Filipina. Tujuan kali ini adalah China. Aku sendiri mendapatkan tiket promonya di Juni 2016 lalu dimana untuk rute KL-Beijing-KL, aku mendapatkan harga 1.5 juta PP. Harga yang murah menurutku, karena penerbangan KL-Beijing sendiri hampir 6 jam.

Sore itu, aku berangkat dari kos di Surabaya naik taksi, santai-santai saja karena merasa waktu masih cukup. Sampai di Bandara Juanda, aku langsung turun dan masuk ke Terminal 1. Eh, baru beberapa langkah masuk, aku tersadar… lah, Air Asia itu kan dari Terminal 2! SIAL. Jam sudah mepet, jantung langsung berdegup kencang. Aku buru-buru cabut ke Terminal 2 dengan perasaan setengah panik, setengah pasrah. Hhh... Memang ga bisaa ya aku tu berangkat traveling tanpa buru-buru, hampir pasti seperti ini!

Belum selesai sampai di situ, saat pemeriksaan barang di scanner, tripodku ikut tersangkut. Katanya tripod tidak boleh masuk kabin. Mas petugas sampai minta maaf berkali-kali, padahal tripodku cuma seharga seratus ribuan. Aku malah jawab santai, “nggak apa-apa mas, sita aja, demi keamanan negara.” Sebenarnya masnya nyaranin supaya aku bagasiin tripod itu, tapi setelah aku pikir-pikir, biaya wrapping + bagasi bisa lebih mahal daripada beli tripod baru. Ya sudahlah, aku ikhlaskan. Tripod kesayangan yang setia menemani perjalanan harus rela tinggal di Juanda.

Dan lucunya, setelah aku ngos-ngosan tergesa-gesa, setelah harus kehilangan tripod juga… pesawatnya malah DELAY. Rasanya cuma bisa ketawa kecil. Ada-ada saja kalau urusan perjalanan.

Tapi ya sudahlah. Ini solo backpacking pertamaku lagi setelah 4 tahun. Meski baru mulai sudah penuh drama, aku berharap langkah selanjutnya lancar. Let the journey begin!

Penerbangan Surabaya – Kuala Lumpur berjalan lancar. Tidak ada turbulensi berarti, aku bahkan bisa sedikit rileks di kursi pesawat sambil menenangkan pikiran setelah drama di Juanda tadi. Sekitar jam 6 sore aku sudah mendarat mulus di KLIA2.

Karena penerbanganku ke Beijing masih besok malam, aku sudah menyiapkan rencana untuk transit panjang di Kuala Lumpur. Malam ini aku menginap di sebuah hostel dorm sederhana di kawasan KL Sentral, yang kubooking seharga 49 ringgit per malam. Dari KLIA2 aku naik bus langsung menuju KL Sentral. Begitu turun, aku melanjutkan dengan berjalan kaki menuju hostel. Ternyata tidak sulit menemukannya, cukup ikuti petunjuk di maps dan beberapa papan arah.

Setelah meletakkan ransel, aku sempat keluar sebentar mencari makan malam. Kuala Lumpur di malam hari selalu punya suasana khas—ramai tapi tetap terasa santai. Usai makan, aku memutuskan untuk langsung kembali ke hostel dan beristirahat, karena besok pagi aku sudah punya rencana: naik bus menuju Genting Highlands.

Genting Highlands sendiri adalah kawasan pegunungan yang terletak sekitar 50 km dari Kuala Lumpur, di ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut. Tempat ini terkenal sebagai “Las Vegas”-nya Malaysia, karena di sini ada resort mewah, kasino, pusat hiburan, dan juga taman bermain. Yang paling ikonik, ada kereta gantung (cable car) Genting Skyway yang membawa pengunjung melintasi lembah dan hutan tropis. Selain untuk hiburan, Genting juga populer karena udaranya sejuk, berbeda jauh dengan teriknya kota Kuala Lumpur. Aku benar-benar penasaran kesini setelah melihat beberapa postingan di grup backpacker. Dekat KL, ada pegunungan? Kok kayaknya asik.

Malam itu aku mendapat kasur di ranjang tingkat atas. Awalnya kupikir akan langsung terlelap, tapi ternyata cukup susah tidur. Suara-suara kecil dari tamu lain, bunyi AC, dan bayangan perjalanan esok hari bikin aku gulang-guling ke kanan kiri. Setelah beberapa lama, akhirnya mataku berat juga. Perlahan aku terlelap.

Hoahhhmmm. Thank you for today!


Kuala Lumpur, 24 Maret 2017

Pagi itu setelah mandi dan sarapan sederhana di hostel, aku langsung check out. Ransel kutitipkan di resepsionis biar tidak repot, lalu aku bergegas menuju KL Sentral untuk membeli tiket bus ke Genting Highlands. Katanya, tiket bus ke sana kalau dibeli semakin siang, maka jadwal keberangkatannya juga semakin siang. Syukurlah aku datang cukup pagi, jadi masih bisa dapat keberangkatan sekitar jam 10.

Bus pun berangkat tepat waktu. Perjalanan dari KL Sentral menuju Genting memakan waktu sekitar 1 jam lebih. Jalanan mulai menanjak, berkelok-kelok, dan udara terasa semakin sejuk. Aku duduk di sebelah seorang Cece yang awalnya kukira orang Malaysia. Eh ternyata, dia sendiri yang membuka percakapan dan bertanya, “Kamu dari Indonesia ya?” Dari situlah kami mulai ngobrol panjang.

Dia cerita kalau tujuannya ke Genting untuk main di kasino. Aku agak kaget—wow, ternyata memang ada orang yang rutin bolak-balik ke sini hanya untuk berjudi. Dia dengan enteng bilang, “Sering kok ke kasino. Nanti kamu ikut aja, gratis minum di dalam. Cuma harus bawa paspor dan semua barang dititipkan.”

"Oke siap nanti aku ikut ce," kataku. 

Sampai di stasiun gondola Genting, kami - aku dan cece - langsung menuju mesin tiket otomatis. Suasananya ramai, deretan orang sudah mengular rapi menunggu giliran. Aku ikut mengantre bersama para pengunjung lain, mata sesekali melirik layar mesin yang menampilkan pilihan tiket. Setelah beberapa menit, tibalah giliranku. Aku membeli tiket pulang–pergi cable car, supaya nanti lebih mudah saat turun kembali.

Antrian untuk naik gondola lumayan panjang, tapi mengalir lancar. Orang-orang berdiri sabar menunggu, sementara di kejauhan gondola merah sudah terlihat berayun masuk ke stasiun. Begitu pintu terbuka, penumpang dipersilakan masuk bergantian.

Saat giliranku tiba, aku melangkah masuk ke kabin gondola bersama beberapa penumpang lain. Pintu menutup otomatis, dan perlahan gondola terangkat meninggalkan stasiun. Gondola perlahan naik menembus pepohonan tropis di lereng bukit Titiwangsa. Dari bawah terlihat lembah hijau yang dalam, sementara semakin tinggi kabut putih tipis mulai menyelimuti. Sensasinya seperti melayang di atas awan. Angin sejuk masuk lewat sela gondola, bikin perjalanan ini makin berkesan.


Semakin tinggi gondola menanjak, suasana perlahan berubah. Kabut putih turun menyelimuti, menutup pandangan sedikit demi sedikit. Gondola lain di depan tampak samar, muncul sebentar lalu hilang lagi ditelan kabut. Embun menempel di kaca jendela, membuat semuanya terlihat mistis, seakan aku sedang terbang menembus awan.

Beberapa menit kemudian, bayangan gedung-gedung besar mulai tampak di kejauhan. Hotel tinggi dengan tulisan Resort samar-samar muncul dari balik kabut tebal. Gondola terus bergoyang ringan dihembus angin, membawa kami mendekati kawasan puncak.

Begitu kabut agak menipis, pemandangan berganti dengan area konstruksi luas. Di bawah, atap-atap pelangi khas Genting terlihat berjejer mencolok, sementara gedung-gedung abu-abu sedang sibuk dibangun dengan crane dan alat berat di sekitarnya. Dari atas gondola, semuanya terlihat seperti miniatur.


Tak lama kemudian, gondola masuk ke stasiun atas. Pintu terbuka otomatis, dan aku melangkah turun. Sempat kuabadikan momen dengan berfoto di depan gondola merah bertuliskan Resorts World Genting. Wajahku masih terasa lelah, tapi ada rasa puas sekaligus kagum. Perjalanan singkat menembus hutan tropis, kabut, dan ketinggian ini sungguh pengalaman yang tak terlupakan.

Begitu keluar dari stasiun gondola atas, suasana langsung berubah drastis. Dari dingin berkabut di luar, aku tiba-tiba masuk ke dalam ruangan raksasa yang penuh warna dan cahaya. Di depanku terbentang sebuah area besar bertema ala Times Square, lengkap dengan replika Patung Liberty berdiri gagah di tengah keramaian. Neon-neon berwarna-warni menyala, poster besar pertunjukan “Alice in Wonderland” terpampang di panggung, dan orang-orang berlalu-lalang dengan wajah sumringah. Rasanya seperti masuk ke dunia lain.


Aku terus berjalan menyusuri koridor. Di sisi kiri dan kanan berdiri toko-toko terkenal, restoran cepat saji, dan aneka hiburan yang menggoda untuk dicoba. Di atas, atap tinggi dilukis dengan nuansa langit biru, dihiasi lampu-lampu berbentuk bintang dan ornamen unik yang menggantung. Semakin aku melangkah, suasana makin riuh. Ada area dengan dekorasi dinosaurus, mobil-mobil yang tergantung, hingga lampu neon berbentuk naga berwarna hijau terang.

Aku memutuskan untuk muter-muter dulu, menikmati atmosfer Genting Highlands Resort yang memang dibangun seperti kota hiburan dalam gedung. Setelah puas foto-foto dan jalan-jalan, aku dan cece yang tadi ku kenal di bus akhirnya sepakat untuk masuk ke Genting Casino—ikon utama dari tempat ini.

Begitu menuju pintu masuk kasino, aturannya langsung terasa ketat. Semua kamera dan tas harus dititipkan terlebih dahulu di loker penyimpanan. Hanya paspor yang boleh kubawa sebagai identitas untuk masuk. Dengan sedikit deg-degan, aku akhirnya melangkah melewati pintu besar menuju dunia kasino Genting - “Las Vegas”-nya Malaysia. Aku melihat oma-oma dan opa-opa terlihat begitu semangat di depan mesin slot dan meja permainan, wajah mereka penuh konsentrasi dan gairah. Aku sendiri hanya jadi penonton—belum paham caranya. Tapi aku mengambil beberapa kali free drink yang memang disediakan di dalam. Hehehe, lumayan!

Awalnya aku masih ikut bersama Cece itu, tapi lama-lama aku ingin menikmati suasana dengan caraku sendiri. Aku memutuskan berpisah, duduk sebentar mengamati orang-orang, lalu berjalan berkeliling area kasino. Rasanya unik, seperti masuk ke dunia lain—ramai, penuh lampu, bunyi mesin, dan orang-orang yang larut dalam permainannya.

Keluar dari kasino, aku langsung disambut suasana yang kontras. Dari ruang penuh asap rokok, lampu berkilau, dan denting mesin slot, aku kembali ke area modern Genting yang lapang dan elegan. Langkahku membawaku ke sebuah atrium cantik, dengan café melingkar berdesain unik—kursi merah marun tersusun rapi mengelilingi meja putih, lantainya berpola zig-zag hitam putih. Dari atas terlihat begitu artistik, seperti ruang istirahat mewah di tengah pusat hiburan. Banyak orang duduk santai, menyeruput kopi, bercakap-cakap, atau sekadar menikmati waktu.


Aku lanjut berjalan menuruni eskalator panjang yang menghubungkan beberapa lantai. Dari kejauhan terpampang layar digital raksasa yang melingkar, menampilkan visual indah—gambar bunga, bebatuan, hingga burung yang terbang. Warnanya begitu tajam, seolah membawa nuansa alam ke dalam gedung modern ini. Aku berhenti sejenak, hanya untuk mengagumi permainan visual yang terus berganti di layar itu.

Di sekitarnya, toko-toko brand internasional berjejer, sementara suasana tetap ramai oleh pengunjung yang hilir-mudik. Aku merasa seperti berada di sebuah “mini city” di atas awan—ada hiburan, ada belanja, ada kuliner, semua lengkap dalam satu kompleks.

Setelah puas berkeliling dan mengamati detail arsitektur serta atmosfer yang begitu hidup, aku menyadari waktu mulai beranjak sore. Aku harus segera turun kembali agar bisa ke KL Sentral dan lanjut menuju KLIA.

Aku kembali ke stasiun gondola, naik ke kabin merah yang membawaku turun menembus kabut. Dari balik jendela kaca, tetesan air hujan menempel, membuat pandangan keluar semakin dramatis. Gedung-gedung tinggi di sekitar resort terlihat samar, seperti ditelan kabut putih yang begitu tebal.

Semakin gondola meluncur turun, kabut mulai menipis, berganti pemandangan hijau hutan tropis yang membentang luas. Jalur gondola terlihat panjang, tiang-tiang tinggi berdiri kokoh, sementara kabin-kabin lain tampak melayang tenang di udara. Aku duduk diam, menikmati momen ini—antara rasa lelah, dingin, dan takjub.

Hujan masih rintik-rintik, kaca gondola basah, tapi dari celah-celahnya aku bisa melihat lembah luas dan atap rumah-rumah kecil jauh di bawah. Perjalanan ini terasa begitu syahdu, seolah gondola sedang mengantarku perlahan kembali dari dunia “atas awan” ke dunia nyata di bawah sana.

Tak lama, stasiun bawah sudah terlihat. Mobil-mobil berjajar di jalan, lampu-lampu mulai menyala, menandakan hari sudah sore. Gondola akhirnya berhenti dengan mulus. Aku turun, melangkah keluar, dan menarik napas panjang. Saatnya benar-benar kembali—perjalanan Genting Highlands selesai, dan petualangan selanjutnya menantiku di KLIA menuju Beijing.


Malamnya, Bandara Internasional Kuala Lumpur Terminal 2
Dari stasiun gondola, aku kembali naik bus ke KL Sentral. Tas yang tadi kutitipkan di hostel sejak pagi kuambil, dan aku bersiap menuju bandara. Dari KL Sentral aku naik bus menuju KLIA2. Perjalanan lancar, sekitar satu jam.

Karena tahu penerbangan Kuala Lumpur – Beijing ini akan berlangsung semalaman, aku memutuskan untuk mengisi tenaga dengan makan berat dulu di NZ Curry House. Aku pesan Nasi Goreng USA ditemani segelas teh susu panas. Pas sekali rasanya untuk bekal sebelum terbang panjang.

Selesai makan malam di NZ Curry House, aku memilih untuk duduk di ruang tunggu,  beristirahat sejenak sebelum proses check-in dibuka. Bandara KLIA2 malam itu ramai tapi tetap terasa tertib, suara roda koper beradu dengan lantai, orang-orang lalu lalang dengan tujuan masing-masing.

Begitu jam check-in dibuka, aku segera menuju konter Air Asia. Prosesnya lancar, tanpa hambatan berarti. Bagasi aman, boarding pass sudah di tangan. Lanjut menuju imigrasi—syukurlah juga berjalan lancar. Tidak ada antrean panjang, hanya pemeriksaan singkat, cap paspor, dan aku sudah resmi berada di area keberangkatan internasional.

Setelah itu aku berjalan mencari gate untuk penerbangan ke Beijing. Di sinilah rasa nostalgia tadi datang—melihat deretan gate dengan tujuan ke berbagai kota di India. Delhi, Hyderabad, Kolkata. Seketika ingatanku kembali ke Juni 2016, saat aku dan Fredo berangkat ke Kochi. Rasanya masih begitu hangat dan dekat, seolah-olah perjalanan itu baru saja terjadi. Ada desir kecil yang berkata, “Aku ingin ke sana lagi… aku ingin kembali.”

Mungkin benar, aku sudah jatuh cinta pada Hindustan. Bahkan ketika tujuanku kali ini Beijing, bayangan India tetap hadir, menemaniku melangkah menuju gerbang berikutnya. Bagaimana ya, India itu memang sulit didefinisikan dengan satu kata. Di beberapa bagian ia indah—penuh warna, budaya, dan kehidupan yang begitu kaya. Di beberapa bagian lain, ia kacau, bising, dan bisa membuat kepala pening. Bahkan ada kalanya bikin benar-benar kapok, ingin cepat-cepat pulang.

Tapi anehnya, justru dari kekacauan itulah India melekat begitu dalam di memoriku. Setiap pengalaman, baik yang manis maupun yang pahit, seolah-olah menancap lebih kuat dibanding perjalanan ke negara lain. Ada sesuatu yang magis—ketika aku menuliskannya kembali, aku bisa tersenyum sendiri, seakan-akan sedang mengulang perjalanan itu sekali lagi.

Ah, India… selalu ada ruang khusus untukmu di hatiku.

Tapi aku biarkan nostalgia itu berjalan dan berlalu. Kini aku kembali fokus ke tujuan di depanku: Beijing. Setelah menunggu beberapa saat di gate, akhirnya proses boarding dimulai. Aku masuk bersama penumpang lain, langkah demi langkah menuju pesawat. Malam itu pesawatnya cukup besar, penuh dengan penumpang berbagai wajah—ada yang tampak lelah, ada yang bersemangat, ada juga yang sibuk dengan ponselnya.

Tempat dudukku berada di barisan tengah, di tepi dekat gang. Bukan posisi favorit, tapi cukup nyaman untuk perjalanan malam. Jujur, sempat terlintas rasa ngeri ketika mengingat tragedi Malaysia Airlines tahun 2014 yang hilang dalam penerbangan Kuala Lumpur – Beijing. Rutenya sama persis dengan yang kutempuh malam ini. Tapi aku pasrah. Perjalanan adalah bagian dari hidup, dan hidup sendiri selalu mengandung risiko.

Pesawat pun lepas landas. Perjalanan terasa cukup lancar. Sesekali ada guncangan turbulensi kecil, namun segera stabil kembali. Lampu kabin diredupkan, para penumpang mulai masuk ke dunia mereka masing-masing. Aku mencoba tidur, tapi hanya bisa tidur-tidur ayam. Kepala dan leher terasa tegang karena aku lupa membawa bantal leher. Setiap kali hampir terlelap, tubuhku seperti kaget sendiri, lalu kembali terjaga.

Hingga akhirnya, saat aku merasa mulai tertidur lebih dalam, tiba-tiba suara keras roda pesawat menyentuh landasan membangunkanku. Aku terperanjat.

“Owalah… udah landing,” batinku sambil tersenyum lemas.

Malam panjang di udara telah berlalu. Aku siap memulai petualangan ku di Beijing!


Part Selanjutnya : DISINI

0 comments:

Posting Komentar