Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

8.27.2025

[3] CHINA TRIP DIARY : Mengunjungi Mutianyu Great Wall !

 Trip ini merupakan rangkaian perjalanan ke China yang aku lakukan dari 23 Maret 2017 - 28 Maret 2017. Part selanjutnya dari setiap postingan akan aku link di bagian paling bawah setiap cerita.


Part Sebelumnya : DISINI



Beijing, 25 Maret 2017
Bandara Internasional Beijing, China

“Tuan-tuan dan puan-puan, selamat datang ke Beijing. Sila kekal duduk sehingga pesawat ini berhenti sepenuhnya dan tanda isyarat pasang tali pinggang dipadamkan. Suhu di luar sekarang adalah 3 darjah Celcius. Bagi pihak kapten dan seluruh anak kapal AirAsia, kami ucapkan terima kasih kerana memilih untuk terbang bersama kami.”

Begitu pengumuman dari kabin pesawat Air Asia terdengar. Aku langsung terperanjat—wow, ini akan jadi pengalaman baruku menghadapi suhu sedingin itu. Begitu pintu pesawat terbuka dan aku melangkah keluar, udara dingin langsung menyergap. Nyesss! Rasanya seperti masuk ke dalam kulkas raksasa. Nafas yang keluar sudah berubah jadi asap tipis, dan tubuhku refleks merapatkan jaket.

Aku berjalan menuju imigrasi. Meski antreannya cukup panjang, prosesnya lancar. Petugas imigrasi hanya memeriksa paspor dan visa dengan cepat, tanpa banyak pertanyaan. Stempel mendarat di pasporku—akhirnya, aku resmi menjejakkan kaki di Tiongkok!

Aku kemudian menuju ruang tunggu, duduk sambil mengumpulkan tenaga. Rencana berikutnya adalah aku harus naik kereta menuju Dongzhimen (pusat kota). Dari Dongzhimen nanti aku akan lanjut naik bus lokal ke Mutianyu, salah satu jalur menuju Tembok Besar China.

Jujur, tubuhku terasa sangat lelah karena semalaman tidak bisa tidur di pesawat. Kepala masih berat, mata perih. Tapi aku sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini, jadi tidak terlalu masalah. Hal pertama yang paling penting justru sederhana: aku harus segera sikat gigi! Baru setelah itu perjalanan bisa dimulai lagi.

Leyeh-leyeh dulu setelah mendarat. Disitu terlihat mata pandaku khas orang kurang tidur hehehe...

Setelah bersih-bersih dan mengaktifkan internet via paket Telkomsel roaming (supaya medsos dan Google tidak terblokir), kini langkah pertamaku di Beijing benar-benar dimulai. Aku keluar dari bandara dengan semangat. Tujuanku hari ini langsung ke Mutianyu Great Wall.

Sebenarnya, ada beberapa titik populer untuk menikmati Tembok Besar China:

Sumber Gambar : DISINI

  1. Badaling – ini yang paling terkenal dan paling ramai. Aksesnya sangat mudah, bahkan ada kereta langsung dari Beijing. Tapi karena terlalu populer, suasananya sering penuh sesak dengan turis.
  2. Mutianyu – lokasinya sedikit lebih jauh, tapi katanya lebih indah dan tidak terlalu padat. Jalur tembok di sini sudah direstorasi dengan baik, pemandangan lembah dan pegunungan sangat spektakuler.
  3. Jinshanling – favorit para pendaki. Pemandangannya liar dan lebih natural, tapi letaknya lebih jauh lagi dari Beijing.
  4. Simatai – bagian yang masih asli dan belum banyak dipugar. Suasananya lebih sepi, tapi akses lebih sulit.
  5. Jiankou – bagian paling liar, penuh tebing curam dan belum direstorasi. Biasanya dikunjungi petualang sejati atau fotografer yang mencari panorama dramatis.

Menurut berbagai sumber yang kubaca sebelum berangkat, Mutianyu-lah yang menawarkan kombinasi terbaik. Pemandangan indah, jalur yang tidak terlalu padat, tapi tetap mudah dijangkau dengan transportasi umum. Jadi sejak membuat itinerary, aku sudah memutuskan untuk memilih sisi Mutianyu ini. Untuk mencapai Mutianyu dari Bandara Beijing, rute yang harus kutempuh sudah kupelajari baik-baik sejak membuat itinerary. 

1. Naik Airport Express atau bus bandara ke Dongzhimen.

2. Bus dari Dongzhimen ke Huairou Beidajie

Dari Dongzhimen Bus Station, naik Bus 916/916 Fast Express menuju Huairou Beidajie. Perjalanan sekitar 1 jam 6 menit.  

3. Transfer ke Bus H24/H23/H7 (atau seri lain)

Setiba di Huairou Beidajie, menyeberang jalan menuju pemberhentian Bus H‑series (H7/H23/H24/H35/H36) yang langsung menuju Mutianyu Roundabout, hanya sekitar 200 m dari area wisata.  

Mari mulai!

***

Dari terminal kedatangan internasional, aku menuju stasiun Airport Express yang terhubung langsung dengan Bandara Beijing Capital. Keretanya modern, nyaman, dan meluncur cepat menuju Dongzhimen.

Sepanjang perjalanan, aku menempelkan wajah ke kaca jendela. Pemandangan di luar benar-benar berbeda dengan yang biasa kulihat di Indonesia. Salju masih tebal menutupi tanah dan atap-atap bangunan. Pohon-pohon terlihat kering, berdiri tanpa daun, hanya ranting-ranting hitam yang mencuat ke udara kelabu. Jalan raya yang kulihat di kejauhan sesekali memperlihatkan mobil-mobil melintas, dengan asap putih keluar dari knalpotnya. Udara dingin benar-benar terasa sampai ke balik kaca jendela. Wow… ini Beijing musim dingin, pikirku. Ini sekaligus pengalaman yang spesial karena menjadi pengalaman pertamaku melihat salju dan (mungkin) bisa memegang salju di Tembok Besar China nanti.

Sekitar 30 menit perjalanan, kereta akhirnya tiba di Dongzhimen—salah satu simpul transportasi penting di Beijing. Perutku yang terakhir diisi makanan adalH semalam di KLIA2 mulai terasa lapar. Maka sebelum melanjutkan perjalanan ke Mutianyu, aku sempatkan sarapan sederhana di salah satu kios kecil dekat stasiun. Tak lupa, aku juga membeli beberapa snack dan air mineral di minimarket sekitar Dongzhimen. Bekal ini penting, karena perjalanan ke Mutianyu akan cukup panjang dan di sana harga makanan/minuman bisa lebih mahal. Dengan kantong plastik berisi roti, biskuit, dan sebotol air besar, aku siap melanjutkan langkah berikutnya menuju Tembok Besar China.

Dari stasiun Airport Express, aku keluar di Dongzhimen Transport Hub—salah satu terminal terbesar di Beijing. Bangunannya besar sekali, ada jalur metro, mall kecil, hingga terminal bus antarkota. Suasana pagi itu ramai oleh orang-orang lokal yang terburu-buru ke tempat kerja. Rencanaku jelas: aku harus naik Bus 916 Express ke Huairou. Dari catatan itinerary yang kubuat, bus ini berangkat dari Dongzhimen Bus Station (东直门公交枢纽站), tepatnya di sisi timur laut terminal. 

Bus 916 Express ini berangkat dari peron sebelah timur terminal, tidak jauh dari pintu masuk utara Dongzhimen Bus Station. Jadi posisinya: kalau keluar dari stasiun metro Dongzhimen, ikuti papan arah bertuliskan “公交换乘 (Bus Transfer)”, lalu naik tangga menuju area bus di permukaan tanah. Lokasi halte 916 Express ada di jalur luar, tidak di dalam gedung terminal utama.

Tidak sulit bagiku untuk menemukan stasiun bis ini setelah mencocokkan beberapa huruf bahasa Mandarin. Begitu sampai aku dihadapkan dengan beberapa bus berwarna putih hijau yang bentuknya sama semua dan sedang terlihat ngetem nunggu penumpang. Meskipun aku sudah melihat nomor bus-nya, aku tetap bertanya ke kondektur bus untuk memastikan,

"Mutianyu Great Wall?"

Mereka menjawab beberapa kata dalam Bahasa Mandarin sambil geleng-geleng kepala.

"Mutianyu?" Tanyaku sekali lagi.

Mereka tetap menjawab dalam Bahasa Mandarin. 'Duhhh masa kata Mutianyu aja ga ngerti sih,' gerutuku dalam hati. Ahsudahlah sepertinya memang benar ini busnya. Aku naik, membayar tiket sekitar 12 RMB dengan kartu transportasiku yang sudah kubeli di Stasiun Metro Bandara tadi, lalu mencari tempat duduk dekat jendela.

Bus perlahan mulai meninggalkan terminal, menyusuri sudut-sudut Kota Beijing yang di beberapa titik masih diselimuti salju. Awalnya aku duduk di kursiku sendirian. Tapi tak lama, seorang lelaki Chinese muda masuk bis dan duduk di sampingku. Sementara di seberang kursiku ada dua perempuan dengan wajah khas Amerika Latin.

“Ah, kayaknya mereka turis juga dan mau ke Great Wall juga,” batinku sambil melirik sekilas.

Awalnya aku tidak terlalu memperhatikan lelaki di sebelahku. Kupikir dia pasti orang lokal yang tidak bisa bahasa Inggris dan tidak tertarik berbasa-basi. Tapi ternyata dugaanku salah. Tiba-tiba dia menoleh dan berkata pelan,

“Where are you from?”

Aku agak terkejut sekaligus senang. Oh wow, ternyata dia bisa bahasa Inggris dan berani membuka percakapan! Dari situlah kami mulai ngobrol. Dia memperkenalkan diri sebagai Cheng Zi (begitu setidaknya yang kutangkap dari pengucapannya). Katanya, dia seorang mahasiswa dan sedang berusaha melatih kemampuan bahasa Inggrisnya.

“I want to practice my English,” ujarnya dengan semangat.

Aku tersenyum dan menjawab, “Yeah, that’s so good, because I rarely meet people here who can speak English,” aku menjawab.

“Yes, that’s true. Here in China, almost everyone only speaks Mandarin, so maybe many people don’t understand what you’re saying.”

Obrolan kami mengalir ringan—tentang kuliah, tentang perjalanan, tentang betapa susah sekaligus serunya belajar bahasa asing. Tak lama, percakapan ini ikut menyambung dengan dua perempuan Amerika Latin di seberang, yang kemudian aku tahu bahwa mereka berasal dari Meksiko. Mereka ternyata sedang dalam misi perjalanan keliling dunia. Wajah mereka antusias sekali waktu bercerita, seolah dunia ini memang rumah mereka.

Salah satu dari mereka sempat bertanya padaku,

“Kamu setelah dari bus ini mau naik apa ke Great Wall?”

Aku menjawab, “Aku rencananya naik bus lain, kayak transit gitu. How about you guys?”

Mereka menjawab, “Oh, kami mau naik taksi.”

Aku lalu menyarankan, “Mungkin bisa naik bus barengan aja," jawabku menawarkan. Well, aku cuma kuatir aja mereka bakal digetok harga tinggi kalau naik taksi. Perjalanan mereka masih jauh soalnya.

Mereka saling berpandangan, lalu mengangguk setuju. Akhirnya kami sepakat akan jalan bareng sampai ke Great Wall. Sekitar satu jam setelah bus melaju dari Beijing, akhirnya kami sampai di stasiun Huairou Beidajie yang akan menjadi titik transit kami. Cheng Zi sudah turun beberapa saaat sebelum stasiun ini setelah mengucapkan good bye dengan riang. Well, benar-benar seorang pemuda yang baik dan ramah. Ga nyangka ketemu di Beijing yang kukira orang-orangnya sekaku ini. Aku pun segera menoleh ke dua teman Meksiko di seberang dan berkata,

“Ayo turun, kita ganti ke bus nomor H7. Nanti bus ini akan langsung berhenti di area dekat Mutianyu Great Wall.”

Mereka mengangguk serentak, tersenyum sambil mengangkat bahu, seolah berkata, “Oke deh, terserah sama kamu, guide dadakan kita hari ini.” Hehe. Rasanya lucu juga, baru beberapa jam kenal tapi aku sudah jadi pemandu wisata ala-ala.

Kami naik ke bus berikutnya di seberang, dan perjalanan pun dimulai lagi. Butuh waktu sekitar 45 menit untuk menembus jalan pegunungan menuju Mutianyu. Begitu bus keluar dari kota kecil transit tadi, pemandangan langsung berubah. Jalan mulai menanjak, berliku-liku mengikuti kontur bukit, kadang menikung tajam hingga sopir bus harus menurunkan kecepatan.

Di sisi kanan dan kiri, pepohonan kering musim dingin berjajar rapat. Batang-batangnya kurus, tanpa daun, meninggalkan kesan sunyi sekaligus megah. Sesekali, dari balik pepohonan, tampak lembah hijau kecokelatan yang dalam, dengan atap-atap rumah desa kecil di bawah sana.

Udara semakin terasa dingin, bahkan kaca bus sedikit berembun. Jalanan yang terus berkelok seperti tak ada habisnya, tapi justru di situlah letak keindahannya—seolah kami sedang disuguhi teaser sebelum benar-benar melihat “mahakarya” yang jadi tujuan utama.

Dan akhirnya, setelah perjalanan panjang itu, papan penunjuk “Mutianyu Great Wall Scenic Area” pun muncul. Bus mulai menurunkan kecepatan, dan aku bisa merasakan antusiasme penumpang meningkat. Tinggal sedikit lagi, aku akan berdiri di salah satu keajaiban dunia yang selama ini hanya kulihat lewat foto dan buku. 

Akhirnya setelah menempuh kelak-kelok pegunungan, kami sampai di pintu masuk Mutianyu Great Wall. Gapura besar berwarna coklat berdiri megah dengan tulisan emas “Mu Tian Yu”. Dari titik ini aja sudah terasa aura sejarah ribuan tahun yang melekat pada tembok raksasa ini. Angin dingin langsung menusuk tulang begitu aku turun dari bus.

'Aduh... semoga aku kuat dengan dinginnya,' kataku dalam hati sambil merapatkan risleting jaket dan memakai syal di leher.

Setelahnya, kami menuju loket tiket. Saat itu (2017) harga tiket masuk Mutianyu Great Wall adalah sekitar 45 RMB (± Rp90.000), dan jika mau naik gondola langsung keatas adalah 100 RMB untuk naik dan turun (± Rp200.000). Menurutku untuk tiket masuk suatu tempat yang sudah menjadi keajaiban dunia, apalagi termasuk naik gondola dan turun gondola, ini tergolong murah.

Sedikit sejarah, Tembok Besar Tiongkok dibangun sejak abad ke-7 SM lalu disatukan pada masa Dinasti Qin di bawah Kaisar Qin Shi Huang. Mutianyu sendiri lebih banyak direstorasi pada masa Dinasti Ming, sekitar abad ke-14 sampai ke-17. Bagian ini terkenal lebih terjaga, pemandangannya indah karena dikelilingi pegunungan, dan katanya lebih tenang dibanding Badaling yang selalu sesak turis.

Begitu melangkah masuk kompleks, aku langsung disambut deretan kios oleh-oleh. Jalan panjang diapit kios-kios kecil yang penuh warna, menjual berbagai pernak-pernik mulai gantungan kunci, kipas lipat, kaos bertuliskan “I ❤️ BJ”, sampai boneka panda yang lucu-lucu. Aku jadi sering berhenti mengambil foto, ingin mengabadikan setiap detail suasana pasar turistik khas Tiongkok ini.


Beberapa kios menampilkan pakaian tradisional sutra berwarna merah menyala, ada juga topi caping khas Asia dan lukisan bergambar pemandangan klasik. Semua ditata dengan rapi, penuh warna-warni yang kontras dengan bukit kering di musim dingin. Aku terpesona, kamera di tanganku hampir tak berhenti bekerja.

Semakin ke dalam, suasana berubah agak lapang. Ada restoran besar bertuliskan “The Great Wall Restaurant”, aroma masakan Tiongkok tercium samar-samar bercampur udara dingin pegunungan. Aku lagi-lagi berhenti untuk memotret, merasa sayang kalau momen ini lewat begitu saja.


Setelah puas berkeliling area kios, akhirnya aku sampai di bagian ujung kompleks. Area parkir bus taman nasional sudah menunggu. Dari jauh sudah terlihat papan kayu besar dengan tulisan jadwal bus—mulai jam 7 pagi sampai 7 malam untuk musim ramai, dan lebih singkat saat musim sepi. Aku segera ikut antrean yang ternyata cukup mengular, orang-orang dari berbagai negara berbaris rapi menunggu giliran. Suasananya rame, tapi tetap tertib.

Bus hijau besar akhirnya datang, dan perlahan satu per satu penumpang dipersilakan masuk. Aku ikut masuk, mencari kursi kosong, sambil sesekali melirik ke luar jendela. Begitu bus mulai berjalan, suasana langsung berubah. Jalanan mulai menanjak, berkelok di antara bukit-bukit dengan pepohonan kering khas akhir musim dingin. Sesekali tampak sisa-sisa salju di sisi jalan, membuat pemandangan semakin dramatis.

Perjalanan dengan shuttle bus ini nggak terlalu lama, hanya sekitar 5–7 menit. Tapi rasanya seperti dibawa memasuki dunia yang berbeda—semakin naik, semakin terasa dingin, dan bayangan Tembok Besar yang menjulang di atas pegunungan itu seakan makin dekat. Aku benar-benar nggak sabar untuk segera sampai di stasiun gondola dan melihat sendiri salah satu keajaiban dunia ini dari dekat.


Naik Gondola... Indahnya Pemandangan..

Setelah turun dari shuttle bus, perjalanan ternyata belum selesai. Masih ada rute jalan kaki menuju stasiun gondola bawah. Jalannya menanjak ringan, dikelilingi pepohonan kering khas musim dingin bulan Maret. Aku benar-benar dibuat kagum dengan setiap sudut pemandangan di sini. Rasanya tak ada yang ingin kulewatkan begitu saja. Mulai dari batu besar bertuliskan “China Stone Museum”, jalan setapak yang bersih dengan dinding batu di sampingnya, sampai pepohonan tanpa daun yang siluetnya terlihat indah di bawah langit mendung.



Aku sering berhenti sebentar, mengeluarkan kamera, lalu memotret. Ingin sekali rasanya mengabadikan semua detail, dari suasana jalan yang sepi, nuansa pegunungan yang hening, hingga momen kecil ketika turis-turis lain lewat dengan langkah cepat. Bagiku, semuanya berharga untuk dikenang.


Akhirnya tibalah aku di stasiun gondola bawah. Dari sini, kotak gondola merah tampak berjejer rapi. Kami masuk perlahan ke gondola. Begitu gondola mulai meluncur naik, aku bisa merasakan tubuh ini perlahan meninggalkan tanah dan melayang di atas lembah-lembah pegunungan Mutianyu. Pemandangan di luar kaca benar-benar bikin takjub. Pohon-pohon masih gundul, ranting-rantingnya cokelat dan kaku, meninggalkan jejak musim dingin yang baru saja berlalu. Daun-daun kering oranye bertebaran di tanah, sesekali terselip pohon cemara hijau yang menambah kontras di tengah lanskap pucat. Salju-salju sisa musim dingin masih bertahan di beberapa sudut, menempel di lereng-lereng curam dan di antara batang pepohonan. Seperti sisa-sisa dingin yang enggan pergi, menunggu musim semi datang sepenuhnya.


Aku benar-benar terpesona, hampir setiap menit ingin mengabadikan pemandangan itu dengan kameraku. Dari balik gondola, terlihat Tembok Besar yang membentang di puncak bukit, gagah tapi samar tertutup kabut tipis. Rasanya seperti masuk ke dalam lukisan tinta ala Tiongkok kuno.



Di gondola, aku duduk bersama dua orang traveler dari Meksiko yang tadi kutemui di bus. Mereka bercerita dengan antusias tentang perjalanan panjangnya, backpacking keliling dunia. Katanya mereka baru saja dari Jepang, lalu melanjutkan ke China, rencananya setelah ini ke Thailand, Myanmar, Malaysia dan Singapura. Aku mendengarkan sambil kagum, karena keliling dunia dengan cara itu memang butuh keberanian besar. Apalagi mereka dari Benua Amerika sana, di belahan bumi yang lain.

Aku sempat nyeletuk, "You should also visit Bali. There’s a direct flight from Kuala Lumpur to Denpasar."

Mereka berdua langsung menoleh, dan si cewek berambut pirang tersenyum lebar, "We need sun, so cold here."

Aku spontan tertawa kecil dan menjawab, "Oh, Bali have a lot of sun."

Mereka mengangguk-angguk senang, sambil bilang akan memasukkan Bali ke itinerary perjalanan mereka. Mendengar itu, hatiku ikut hangat. Rasanya seperti membawa secuil tanah airku untuk mereka kenal, di tengah dingin pegunungan China.

Sambil terus berbincang, aku juga menyempatkan selfie bersama mereka di dalam gondola. Senyum kami bertiga terlihat bahagia, dengan latar belakang gondola oranye lain yang melayang di udara dan pegunungan bersalju yang memanjang. Momen itu seakan mengikat kami, tiga orang asing dari tiga benua berbeda, bertemu secara kebetulan tapi merasa dekat karena perjalanan.


Tembok Besar China! (Mutianyu Great Wall)
Benar-benar luar biasa….

Begitu gondola sampai di stasiun atas dan aku melangkah keluar, angin dingin langsung menusuk tulang. Aku sempat googling sebentar dan ternyata suhu waktu itu 1 derajat celcius. Bayangkan, aku yang biasanya hidup di Surabaya dengan suhu 32 derajat, langsung kaget menghadapi hawa sedingin ini. Jaket yang kupakai rasanya kurang proper untuk menahan angin pegunungan. Tanganku mulai beku, napas juga terasa berembun.

Awalnya aku masih berusaha jalan bareng dua teman Meksiko-ku menyusuri jalur tembok. Kami bertiga naik beberapa anak tangga, tapi kurasa belum spot paling indah untuk foto. Tubuhku makin gemetar, aku akhirnya menyerah.

Mereka sempat menoleh. “You’re not coming?” tanya mereka.

“I will take tea first. So cold. You can go first,” jawabku.

“Okay,” mereka mengangguk sambil tersenyum, lalu melanjutkan perjalanan.

Aku belok ke sebuah kedai teh di sudut tembok. Dari luar, suasananya terlihat sederhana tapi hangat. Ada meja dan kursi kayu dengan pagar bambu seadanya, dan view langsung ke hutan serta perbukitan Mutianyu yang masih berselimut salju tipis. Terlihat tanah coklat bercampur putih salju, pepohonan kering dengan ranting yang meranggas, seakan semua tertidur panjang menunggu musim semi.

Aku duduk di salah satu meja, meletakkan kameraku, dan menghela napas panjang. Pemandangannya indah sekali. Dari balik pagar kayu itu, terlihat perbukitan berlapis-lapis, Great Wall mengular di punggungan, dan di bawahnya hamparan pepohonan kering. Teh yang datang disajikan dalam poci cantik khas Tiongkok, dengan cangkir-cangkir kecil di sisinya.

Hangatnya teh yang mengalir ke tenggorokan benar-benar jadi penyelamat. Setiap tegukan membuat tubuhku terasa sedikit lebih hangat. Aku berlama-lama di sana, memandang keluar, menikmati pemandangan dingin yang sunyi, sambil mencoba menenangkan diri. Momen yang kontras, aku kedinginan sampai menggigil, tapi hatiku hangat oleh keindahan Mutianyu.

Sayangnya, di balik kenyamanan itu ada satu hal yang bikin wajahku mendadak kecut. Waktu hendak membayar, aku kaget setengah mati. Segelas teh itu dihargai 100 RMB, hampir 240 ribu rupiah! What the… rasanya seperti tertampar. Inisih namanya... aku kena scam! Huhuhu... mulai aja lo belum!

Mau protes juga percuma. Akhirnya aku hanya bisa menghela napas panjang, memaksa tersenyum getir, dan menenangkan diri. Ya sudahlah, paling tidak aku punya cerita unik untuk dikenang. 

Namun uang tetaplah uang. Rasanya aku nyesel banget sama keputusanku yang tiba-tiba berhenti di kedai teh itu. Kenapa aku nggak mikir dulu ya, kalau pasti bakal mahal banget? Aku sampai ngomel-ngomel sendiri dalam hati. Tapi aku juga sadar, ini kan momen langka. Aku udah jauh-jauh ke sini, masa iya cuma gara-gara segelas teh mahal aku harus merusak mood dan melewatkan kesempatan menikmati Tembok Raksasa ini. Jadi aku tarik napas dalam-dalam, bilang ke diriku sendiri, “udah, ayo lanjut, jangan sampai kebodohan kecil ini ngalahin pengalaman besar.”

Aku terus melangkah menyusuri jalan setapak berbatu yang meliuk naik. Angin dingin tetap menusuk, tapi aku paksa kakiku bergerak. Sesekali aku menoleh ke belakang, melihat jalur panjang yang sudah kulewati. Sepi, sunyi, dan semakin jauh dari kedai teh tadi. Semakin tinggi aku berjalan, aku menemukan gumpalan salju yang masih bertahan di tepi jalan. Aku jongkok sebentar, menyentuhnya dengan rasa kagum. Salju beneran. Ini pertama kali aku menyentuhnya. Dingin, lembut, meleleh di jari. Aku ketawa kecil sendiri, membandingkan dengan es batu di kulkas rumah yang biasa kulihat sehari-hari.

Jalur makin menanjak sampai aku tiba di pelataran luas. Angin bertiup lebih kencang, turis-turis berseliweran sibuk dengan kamera masing-masing, anak kecil berlarian main salju. Di sisi lapangan ada batu besar bertuliskan National Tourist Attraction of Mutianyu Great Wall, seakan mengingatkanku kalau aku sedang berada di salah satu situs warisan dunia paling terkenal.


Perjalananku berlanjut menyusuri sisi tembok batu yang gagah membentang mengikuti lekuk pegunungan. Dari titik itu, pemandangan mulai terasa magis. Dinding abu-abu tua kontras dengan bukit yang ditaburi salju tipis, seakan lukisan hidup terbentang di depan mata. Aku terus jalan hingga sampai ke salah satu menara pengawas untuk menghangatkan diri terlebih dahulu sebelum eksplor lebih jauh. 

Sepanjang langkahku menapaki tembok ini, rasa dingin benar-benar jadi musuh utamaku. Angin berhembus kencang, menusuk wajahku sampai perih, jari-jariku terasa kaku meskipun sudah kugenggam erat di dalam sarung tangan. Setiap beberapa meter aku selalu berharap ada menara—dan benar saja, itulah fungsi menara jaga di Great Wall yaitu selain sebagai pos pengintai dan tempat berlindung prajurit pada zamannya, bagiku sekarang menara itu jadi semacam “ruang darurat” untuk sekadar menghangatkan diri sebentar sebelum melanjutkan perjalanan.

Keluar dari menara, pandangan langsung disuguhi pemandangan tembok raksasa yang meliuk di punggung pegunungan, memanjang tak ada ujungnya. Batu-batu kokoh yang tersusun sejak ratusan tahun lalu masih berdiri menantang cuaca, membentuk jalur setapak yang kini kulalui bersama ratusan turis lain. Tingginya memang sengaja dibuat begitu—untuk menghalangi pasukan berkuda yang mencoba menyerang. Batu dipilih sebagai material utama karena daya tahannya, mampu bertahan dari musim panas, dingin ekstrem, hingga gempuran musuh.



Sedangkan menara-menara yang berdiri tiap jarak sekitar 500 meter berfungsi sebagai titik sinyal dan komunikasi. Dulu, tentara menyalakan api atau asap di menara untuk memberi tanda bahaya yang bisa diteruskan ke menara berikutnya. Bayangkan, sebuah sistem komunikasi kuno yang bisa mengirim peringatan ratusan kilometer hanya dalam hitungan jam.

Namun di balik semua kekaguman itu, tubuhku masih berperang dengan rasa dingin. Setiap hembusan angin membuatku ingin segera berlari masuk menara lagi, tapi di sisi lain aku tak mau melewatkan kesempatan melihat langsung pemandangan ini. Jadi aku berjalan pelan, berhenti beberapa kali, lalu kembali mengangkat kamera untuk mengabadikan tembok yang melintang di punggung bukit, tampak gagah sekaligus sunyi dengan hamparan salju tipis di sekitarnya.





Aku menahan napas sejenak, menatap jauh ke depan. Bahagia banget rasanya bisa sampai di titik ini, melihat langsung apa yang dulu cuma kulihat di buku sejarah dan layar televisi. Aku jadi ingat dulu pernah menuliskan Great Wall of China sebagai salah satu destinasi impian di piopi, bukuku untuk menulis mimpi-mimpi. Dan kini, mimpi itu nyata. Rasa dingin yang menusuk ini pun terasa layak, seolah jadi bagian dari ujiannya. Aku hanya bisa berbisik dalam hati, “Terima kasih Tuhan… Mutianyu Great Wall… so happy.”





Part Selanjutnya : DISINI

0 comments:

Posting Komentar