Trip ini merupakan rangkaian perjalanan ke China yang aku lakukan dari 23 Maret 2017 - 28 Maret 2017. Part selanjutnya dari setiap postingan akan aku link di bagian paling bawah setiap cerita.
Qianmen Street, Beijing, China di malam hari..
Beijing, 25 Maret 2017
Selesai eksplor Mutianyu, aku balik lagi naik bus 2x dengan rute yang sama sampai akhirnya turun lagi di Dongzhimen. Di situ rasa lapar langsung menyerang, asli perut udah kosong banget. Setelah mikir cukup lama mau makan apa, ujung-ujungnya aku mutusin yang paling aman aja: KFC. Setidaknya udah pasti doyan, nggak perlu mikir keras.
Aku jalan kaki ke KFC terdekat, masuk, terus pesan. Dan percayalah… bisa dapetin tiga makanan ini di Beijing tuh rasanya udah pencapaian besar banget! Wkwk. Saking ribetnya komunikasi, aku sampai pesen hot Milo tapi malah dikasih hot water! Katanya “chicken” sama “french fries” aja pegawainya nggak ngerti. Mungkin translatetan sistemnya lagi sowak kali ya.
Beneran deh, tingkat ketidakbisaan bahasa Inggris di sini menurutku parah banget. Kayaknya cuma 10% orang yang bahasa Inggrisnya lancar. Beberapa kali aku coba nanya orang di jalan, malah dicuekin. Bukan karena nggak sopan, tapi kemungkinan besar mereka bahkan nggak ngerti aku lagi nanya apa.
Dan di sinilah penyelamatku: Google Translate. Setiap kali mau tanya sesuatu, aku ketik dulu di aplikasi, terus aku sodorin HP ke orang. Konyol sih kelihatannya, tapi sumpah ini nyelametin hidupku banget di Beijing. Dari bisa turun di bus stop yang tepat, bisa cari toilet pas darurat, sampai akhirnya bisa makan KFC ini… semua gara-gara Google Translate. Wkwk.
Akhirnya makananku datang. Satu box ayam goreng, kentang goreng, sama minuman panas. Comfort food yang rasanya luar biasa nikmat setelah seharian ngos-ngosan di Great Wall.
Aku makan dengan cepat, seakan-akan ayam dan kentang itu bisa langsung mengisi ulang tenagaku yang sudah habis sejak pagi. Begitu habis, aku hanya duduk diam, memandang pelanggan lain yang datang dan pergi, lalu sesekali mataku melirik ke jendela. Dari lantai atas KFC itu, aku bisa melihat arus manusia yang ramai sekali di bawah sana. Beijing sore itu terasa sibuk, padat, dan berisik—kontras sekali dengan kesunyian Mutianyu yang baru saja kutinggalkan.
Sesuai itinerary yang sudah kususun jauh-jauh hari, malam ini seharusnya aku akan naik kereta sleeper (hard sleeper) menuju kota Zhengzhou, lalu esoknya melanjutkan perjalanan ke Yuntaishan Global Geopark. Tujuan itu memang indah sekali—aku sudah lihat fotonya di internet, tebing-tebing merah, jurang dalam, air terjun, semuanya terlihat seperti dunia lain. Tapi entah kenapa sore itu aku mulai galau.
Seperti kuceritakan sebelumnya, sejak semalam di pesawat Kuala Lumpur–Beijing, tidurku kacau. Rasanya aku nggak benar-benar bisa deep sleep, hanya tidur-tidur ayam. Ditambah lagi seharian penuh aku sudah ngos-ngosan eksplor Great Wall dengan suhu 1 derajat yang benar-benar menguras energi. Tubuhku sekarang rasanya minta rebah, minta istirahat yang proper.
“Kalau nanti aku nggak bisa tidur juga di kereta gimana? Apa aku malah makin capek dan perjalanan jadi nggak nikmat?” Pikiran itu terus berputar di kepalaku, bikin aku makin bimbang.
Aku menatap keluar jendela lagi, lalu dalam hati bergumam, “Ah… apa aku coba ke Stasiun Beijing dulu aja deh. Lihat situasi di sana, siapa tahu aku bisa mutusin lebih jelas.” Dengan itu, aku segera merapikan barang-barangku, membereskan tray makananku, dan bersiap meninggalkan KFC.
Aku naik metro sambil tetap menenteng tasku yang sejak pagi nggak pernah kulepas. Barang bawaanku penuh, rasanya pundak udah pegal, kaki juga mulai menjerit minta istirahat. Tepat pukul enam sore aku akhirnya tiba di Stasiun Beijing.
Awalnya semangatku sempat naik lagi. Melihat orang-orang berlalulalang dengan koper besar, wajah-wajah bersemangat menunggu kereta malam, aku merasa, “Oke, kayaknya aku bisa nih lanjut malam ini ke kota Zhengzhou.” Ada sedikit optimisme dalam hatiku.
Tapi begitu aku benar-benar masuk ke dalam stasiun… wow. Stasiun Beijing itu luas banget, bener-bener kayak lautan manusia. Dari segala arah orang bergerak, ada yang terburu-buru, ada yang sibuk mengangkat koper, ada yang duduk lesehan menunggu. Petunjuk-petunjuk terpampang di mana-mana, huruf Mandarin mendominasi, angka-angka jadwal kereta bergantian muncul di papan digital. Semakin lama kulihat, kepalaku semakin penuh.
Di satu sisi, aku kagum dengan megahnya stasiun ini, tapi di sisi lain, aku mulai merasa lelah luar biasa. Lebih tepatnya… malas berpikir. Aku bayangin harus cari jalur kereta, masuk ke antrean panjang, lalu naik kereta sleeper berjam-jam malam ini… rasanya otakku langsung menolak.
Belum lagi pikiran lain muncul. “Eh, aku udah dua hari nggak BAB loh… gimana kalau nanti kebeletnya pas di kereta? Cebok cuma bisa pakai tissue? Bisa ribet banget kan?” Wkwk. Pikiran receh tapi nyata, bikin aku tambah malas.
Akhirnya aku terduduk di salah satu sudut stasiun. Kubuka ponsel, lihat-lihat aplikasi booking hotel. Jari-jariku menggulir layar sambil hati kecilku semakin yakin: aku udah terlalu capek buat ngejar Yuntaishan. Dan tiba-tiba keputusanku mengalir begitu saja.
“Aku batalkan perjalanan ke Yuntaishan. Aku akan menghabiskan tiga hari ini di Beijing aja.”
Ada rasa lega, meski juga sedikit sayang. Tapi yang jelas, tubuhku akhirnya menang melawan ambisi. Aku butuh istirahat, aku butuh rebah, dan aku butuh menikmati Beijing dengan ritme lebih santai.
Masih duduk di sudut stasiun dengan suasana hiruk pikuk orang yang lalu-lalang, akhirnya aku membuka aplikasi booking hotel. Mataku berhenti di satu pilihan, Joy King Hotel. Aku segera booking untuk dua malam, harga sekitar 400 ribu per malam. Lumayan menguras, tapi melihat foto kamarnya langsung bikin aku yakin. Ada dua kasur twin bed, kamar mandi pribadi, dan yang paling penting… aku bisa BAB dengan tenang, pakai air, nggak perlu drama tissue kayak di kereta sleeper. Wkwk. Karena perjalanan ini singkat, aku memang sengaja memilih hotel yang bagus menurut standarku.
Begitu klik book now, rasa lega langsung mengalir. Seolah seluruh beban pikiran yang tadi menumpuk di kepalaku mendadak menguap. Lega nggak harus naik kereta semalaman, lega nggak perlu mikirin toilet kereta, lega karena aku bisa menurunkan ritme perjalananku sejenak. Tiga hari di Beijing aja rasanya cukup. Toh kota ini juga masih banyak banget yang bisa kulihat.
Dengan hati yang lebih ringan, aku berdiri, meraih tasku, lalu melangkah ke arah metro lagi. Kali ini bukan untuk mengejar kereta panjang yang melelahkan, tapi untuk menuju tempat rebah yang nyaman. Rasanya kayak keputusan paling tepat yang kubuat hari itu.
Aku kembali naik metro dan turun di stasiun metro Qianmen. Begitu keluar stasiun, udara malam langsung menyergap, dingin sekali sampai membuat tanganku kaku meski sudah berlapis sarung tangan. Rasanya menusuk tulang, tapi aku memaksa langkah tetap mantap. Aku masih belum ingin langsung ke hotel, karena ada satu tempat lagi yang masuk daftar eksplorasi yaitu Qianmen Street. Kebetulan jalurnya searah dengan hotelku, jadi sekalian saja aku nikmati suasana malam Beijing.
Baru beberapa saat keluar dari stasiun, tiba-tiba seorang cewek mendekat dengan gestur agak gelisah. Dengan bahasa Inggris patah-patah ia bertanya, “You know where is the nearest metro station?” Mungkin karena aku keliatan bukan orang China, jadi satu-satunya harapan bisa diajak ngomong Bahasa Inggris. Aku pun menunjukkannya dengan isyarat arah, semoga cukup jelas buatnya. Wajahnya terlihat lega, mungkin dia memang sudah berputar-putar mencari dari tadi.
Berjalan lebih jauh, aku disambut pemandangan gedung-gedung tua yang megah dengan pencahayaan kuning keemasan. Lampu-lampu jalan berjejer rapi, membuat suasana terasa elegan sekaligus hangat. Suasananya ramai, tapi bukan ramai yang bikin sumpek. Lebih ke arah turis dan warga lokal yang sedang menikmati malam, sebagian sibuk foto-foto, sebagian lagi hanya berjalan santai.
Aku melewati bangunan gerbang kota tua yang menjulang tinggi, Qianmen Gate. Wah, megah banget! Batu bata kokohnya terasa membawa ke masa lalu, saat gerbang ini benar-benar jadi pintu masuk utama Beijing. Di malam hari, lampu-lampu sorot membuat setiap detail ukiran dan atap bertingkatnya terlihat dramatis. Rasanya aku kecil sekali berdiri di depannya.
Tak jauh dari situ, mataku tertuju pada bangunan lain yang juga berarsitektur klasik, dengan lampu-lampu yang disusun cantik di setiap sisinya. Dari kejauhan aku juga bisa melihat gedung-gedung lain dengan atap tradisional yang dihiasi lampu putih, seakan membingkai langit malam yang gelap. Jujur, aku tidak menyangka kalau Beijing di malam hari bisa secantik ini.
Langkahku terus membawaku melewati jalan-jalan yang penuh dengan sejarah, sambil sesekali berhenti untuk memotret. Pohon-pohon yang mulai bertunas di pinggir jalan juga menambah kesan syahdu. Rasanya seperti berjalan di antara perpaduan dua dunia yaitu kejayaan masa lalu yang kokoh berdiri lewat bangunan-bangunan bersejarah, dan kehidupan modern yang hadir lewat orang-orang yang lalu-lalang.
Dan akhirnya, aku sampai di seberang Qianmen Street, terlihat dari gerbang besar yang seakan-akan menyambut. Aku menyeberang bersama kerumunan orang lain akhirnya aku sampai juga di gerbang megah Qianmen Street. Gerbangnya menjulang tinggi, penuh warna biru, merah, dan emas yang menyala terkena lampu malam. Dari jauh saja sudah kelihatan ikonik, seolah menjadi pintu masuk ke dunia lain di tengah Beijing modern. Pohon-pohon di sepanjang jalan terlihat hanya ranting-ranting kering, belum ada daun sama sekali. Ciri khas musim dingin yang membuat suasana jadi semakin dramatis. Udara malam itu terasa menusuk. Tanganku sudah kaku, bahkan meski kuselipkan ke saku jaket, dinginnya tetap menembus.
Aku melangkah masuk ke Qianmen Street, jalan panjang dengan bangunan-bangunan klasik bergaya Tiongkok yang dipenuhi cahaya lampu kuning temaram. Suasana malam itu ramai, kebanyakan orang berjalan bersama keluarga, pasangan, atau teman-temannya. Tawa mereka, obrolan kecil, hingga keramaian anak-anak yang berlarian membuat suasana terasa hangat. Justru itulah yang membuatku semakin sadar bahwa aku sedang solo traveling. Ada rasa sepi yang pelan-pelan menyusup. Dalam hati aku sempat membatin, “Duh, coba aja aku ada travelmate. Bisa lebih PD, bisa ada temen gibah, temen ngeluh bareng, temen bilang kok dingin banget sih ayo cepet biar sampe hotel.” Hehe. Tapi ya, apa boleh buat. Aku tetap berjalan pelan, mencoba menikmati tiap sudut, sambil mengabadikan momen lewat kameraku.
Sedikit penjelasan, jalan ini sudah ada sejak Dinasti Ming dan Qing, dulunya menjadi pusat perdagangan dan jalur utama menuju kota terlarang. Pedagang dari berbagai daerah datang ke sini, menjadikannya jantung ekonomi dan budaya Beijing pada masanya. Sampai sekarang, auranya masih terasa. Meski kini toko-toko modern, restoran, dan butik sudah berjejer rapi di kiri-kanan jalan, tapi nuansa klasik dengan arsitektur gaya lama tetap dipertahankan.
Di sepanjang jalan banyak sekali toko-toko dengan lampion merah yang menggantung cantik, restoran dengan aroma masakan yang menggoda, dan beberapa patung perunggu yang jadi spot foto turis. Ada juga gedung-gedung tua dengan arsitektur khas yang masih terawat. Semua itu membuatku merasa seperti berjalan di masa lalu tapi dengan sentuhan modern, karena di sela-sela bangunan klasik itu ada juga toko-toko brand modern lengkap dengan papan neon mereka.
Oya, ada satu jajanan yang berkali-kali kulihat di pinggir jalan. Buah yang dilumuri gula hingga mengeras, ditusuk panjang seperti sate. Cahaya lampu membuat lapisan gulanya berkilau, benar-benar menggoda. Aku berjanji pada diriku sendiri, nanti aku harus coba jajanan ini. Entah rasanya kayak apa, tapi aku yakin itu akan jadi salah satu pengalaman khas Beijing yang sulit dilupakan.
Aku berjalan terus sampai ke ujung Qianmen Street, lalu keluar ke akses jalan yang suasananya mulai agak sepi dan gelap. “Seharusnya di deket sini hotelnya,” gumamku sambil melongok ke kiri-kanan, mencari tulisan “JOY KING” di antara deretan papan nama yang ada. Tidak butuh waktu lama, akhirnya mataku menangkap huruf yang kucari. Lega sekali rasanya.
Aku segera masuk. Dari luar bangunannya tidak terlihat terlalu besar, tapi jelas memanjang vertikal ke atas, seperti hotel-hotel modern yang efisien memanfaatkan lahan. Saat hendak check in, ada momen yang cukup membuatku tidak nyaman. Seorang satpam, atau mungkin penjaga di dekat pintu, sempat menatapku dari atas ke bawah. Tatapannya seperti meremehkan. Entahlah, mungkin hanya perasaanku, mungkin juga karena wajahku benar-benar kusut. Aku belum tidur semalaman, siang penuh mendaki Mutianyu Great Wall di udara satu derajat, dan baru malam ini sampai di sini. Wajar kalau tampangku sudah tak karuan.
Sebenarnya ada rasa sedih dan tersinggung, seperti diremehkan hanya dari penampilan. Tapi aku memilih untuk tidak terlalu memikirkan itu. Toh aku ke sini bukan untuk mencari pengakuan siapa pun. Saat registrasi dengan pasporku selesai, resepsionis yang ramah menyerahkan kunci kamar sambil berkata, “Ini kunci kamarmu ya, ada di Lantai 4.” Senyum hangatnya menutup perasaan tidak enak barusan, membuatku sedikit lega.
Aku segera naik lift menuju lantai 4, sambil menahan rasa tidak sabar ingin segera mandi air hangat dan rebahan di kasur. Begitu pintu lift terbuka, aku disambut lorong hotel yang agak remang. Sepi, sunyi, lampunya pun temaram. “Hotelnya kok sepi banget ya,” batinku sambil bergidik kecil. Kaki melangkah pelan, mataku sibuk mencari nomor kamar.
Sesekali samar-samar kudengar suara TV dari balik pintu, juga obrolan manusia tipis-tipis. Rasanya sedikit lega, berarti memang ada orang lain yang nginep di sini. “Moga-moga aja nggak cuma aku sendiri ya,” gumamku dalam hati, berusaha menenangkan pikiran.
Langkahku terus berlanjut melewati kamar-kamar lain, sampai akhirnya aku sadar nomorku berada di ujung lorong. “Huft… ujung banget ternyata,” kataku sambil menghela napas. Dengan sedikit ragu tapi juga lega, kutempelkan kartu kunci ke pintu, siap masuk ke ruang kecil yang akan jadi tempatku beristirahat malam ini.
Begitu pintu kamar terbuka, aku langsung disambut dengan suasana yang sederhana tapi cukup nyaman. Dua kasur twin bed berdiri sejajar, sprei putihnya masih rapi tertata, bantalnya terlihat empuk siap untuk ditiduri. Ada meja kecil di samping tempat tidur dengan lampu dinding kuning temaram, memberi kesan hangat di tengah dinginnya Beijing malam itu. Di sisi lain ada meja kayu dengan teko listrik, gelas, dan beberapa perlengkapan sederhana—cukup untuk membuat teh hangat kalau aku mau. Sebuah kursi aluminium diletakkan di samping, mungkin lebih sering dipakai untuk meletakkan barang ketimbang diduduki. Jendela besar menutup rapat dengan tirai krem tebal, tapi samar-samar aku tahu dari baliknya ada pemandangan kota Beijing yang malam ini sudah tenggelam dalam gelap. Lantai kayunya memberi sedikit nuansa hangat, berbeda dengan dinginnya jalanan yang barusan kulewati. Meskipun sempat merasa agak ketakutan karena hotel terasa sepi, aku menguatkan hati. Inilah yang kuinginkan. Tempat tenang untuk menurunkan ritme setelah perjalanan panjang.
Setelah rebahan sebentar, aku akhirnya menyeret tubuhku ke kamar mandi untuk mandi air panas. Rasanya luar biasa.....lelah di badan sedikit demi sedikit luruh bersama uap hangat yang menyelimuti. Aku sempat membayangkan, kalau malam ini aku jadi naik kereta, pasti nggak bisa mandi, susah tidur, dan repot kalau tiba-tiba kebelet BAB. Hehe, betapa nyamannya pilihan menginap di hotel.
Namun suasana hotel yang terlalu sepi membuatku kembali takut dan sedikit was-was. Untuk menenangkan diri, aku menyalakan TV. Kebetulan yang tayang acara olahraga, mungkin sepakbola, dengan suara komentator yang mengalun konstan. Entah kenapa itu cukup membuatku merasa ditemani. Perlahan, rasa kantuk semakin berat, mataku mulai tertutup, dan akhirnya aku pun terlelap. Dalam hati aku berdoa, semoga besok aku bisa bangun lebih segar, lebih semangat, dan siap menjalani hari baru di Beijing.
Part Selanjutnya : DISINI
0 comments:
Posting Komentar