Trip ini merupakan rangkaian perjalanan ke Singapura - Vietnam yang aku lakukan dari 30 Januari 2023 - 18 Februari 2023. Part selanjutnya dari setiap postingan akan aku beri pada link di bagian paling bawah setiap cerita.
Part Sebelumnya : DISINI
Singapura, 1 Februari 2023
Semalam ane sampai hotel Spacepod@Lavender sekitar jam 23.30, dan setelah bersih-bersih sejenak ane bersiap tidur. Ane yakin malam ini akan bisa tidur nyenyak karena hari ini lumayan capek jalan kaki berkilo-kilo meter kan. Eehh... Nyatanyaaa... Jam bergerak dari jam 1, jam 2, jam 3 bahkan sampai jam 4 ane belum bisa tidur.... Ahhhh menyebalkan banget! Mana udah bayar kamar mahal lagi 700k/malam, dan besok ane masih butuh tenaga ektra untuk lanjut menjelajah Singapore lagi, ehh malah ga iso tidur!
Ane akhirnya baru terlelap sekitar jam 04.30, dan kemudian terbangun jam 07.30 dengan mood yang agak buruk khas orang kurang tidur. Tapi yaudahlah.. ane harus menerima keadaan, berusaha mengumpulkan mood baik dan kemudian mendorong badan untuk bangun dan segera mandi air panas supaya agak segeran. 'Yang penting udah tidur... Udah deep sleep, biarpun cuma 3 jam. Hari ini ane akan bersemangat!' itulah yang ane tanamkan ke mindset hari ini.
Hari ini jadwal penerbangan ane dari Singapore ke Ho Chi Minh City masih jam 6 sore jadi ane masih punya waktu hampir 6-7 jam untuk lanjut eksplor Singapore. Ane emang udah ke Singapore beberapa kali, namun masih ada beberapa tempat yang belum pernah ane kunjungin seperti Fort Canning dan Henderson Waves yang rencana akan ane kunjungin hari ini. Semoga aja waktunya cukup untuk mengunjungi keduanya. Kalau semisal waktunya ga cukup, Fort Canning aja cukup.
Sekitar jam 9 kita sudah siap dan siap eksplor. Karena jam 12 udah harus check out, jadi pas mau berangkat ane sekalian check out dan titipin tas ransel ke resepsionis untuk diambil lagi nanti sore. Jadi hari itu cuma membawa tas kecil yang berisi dompet serta air minum. Sangat ringaaann..
Seperti hari kemarin, kami kembali sarapan di Stasiun MRT Lavender, lagi-lagi dengan nasi dan lauk Chinese Food. Emang seenak itu sih rasa dan porsinya hehe.. kelar urusan perut, kami segera naik MRT kembali untuk menuju tujuan pertama, Fort Canning. Dari Lavender, kami naik jalur hijau turun di Stasiun City Hall. Dari Stasiun City Hall, kami sempat berjalan kaki +- 650 meter melewati bangunan berwarna putih orange yang ternyata merupakan Stasiun Pemadam Kebakaran Singapura. Yah inilah salah satu hal yang ane suka dari traveling, bisa jalan kaki banyak sekalian lihat bangunan-bangunan sekitar yang historik.
Berjalan sesaat, akhirnya kami menemukan pintu masuk Fort Canning. Dari situ kalau mau masuk kompleks utamanya, ternyata harus naik anak tangga yang lumayan tinggi. Wah.. olahraga pagi-pagi ni😁. Napas mulai ngos-ngosan pas naik, tapi pas sampai atas, ane langsung ngerasain suasana adem karena tempat ini benar-benar dikelilingi pepohonan yang banyak dan rindang.
Sebelum naik, aku melihat papan informasi bertuliskan Fort Canning Park. Dari situ aku baru tahu kalau bukit ini dulunya dikenal sebagai Government Hill, tempat para gubernur Inggris tinggal sejak tahun 1819. Bahkan di puncaknya dulu sempat ada bendera Union Jack pertama kali dikibarkan waktu Inggris datang ke Singapura. Ternyata di sinilah juga dulu berdiri benteng pertahanan Inggris, lengkap dengan bunker bawah tanah yang sempat jadi pusat komando militer Asia Tenggara saat Perang Dunia II. Setelah perang berakhir, kompleks militernya diubah jadi taman rekreasi yang hijau seperti sekarang. Ada juga cerita menarik di papan itu tentang momen tahun 1981, ketika Lee Kuan Yew sendiri menanam pohon jelutung dan meresmikan nama Fort Canning Park.
Beberapa langkah dari situ, aku nemuin papan lain bertuliskan Munshi Abdullah. Di situ dijelasin kalau Munshi Abdullah (1797–1854) adalah seorang penulis dan penerjemah yang jadi guru bahasa Melayu bagi Sir Stamford Raffles. Ia banyak menulis tentang keadaan Singapura awal abad ke-19 dalam karyanya Hikayat Abdullah. Dari deskripsinya, aku bisa bayangin gimana waktu itu bukit ini masih liar, penuh semak belukar, pohon rhododendron, sampai bambu hutan. Bayangkan aja, yang sekarang jadi taman rapi ini dulu adalah hutan tropis lebat yang baru mulai dijelajahi manusia.
Aku mulai naik tangga selangkah demi selangkah dan akhirnya sampai diatas. Dari sini kelihatan jelas perpaduan unik antara alam dan gedung-gedung tinggi di kejauhan. Rasanya kayak dua dunia yang berbeda tapi hidup berdampingan. Udara pagi yang lembap, suara burung, dan hijaunya daun-daun bikin suasana hati pelan-pelan membaik, meski tadi pagi sempat bad mood karena kurang tidur.

Akhirnya aku sampai di titik utama taman, dengan tulisan besar RAFFLES GARDEN di depan halaman bulat yang dihiasi tiang bendera. Raffles Garden ini dibuat untuk mengenang jejak langkah Sir Stamford Raffles waktu pertama kali mendarat di Singapura pada tahun 1819. Ternyata Raffles bukan cuma pendiri kota modern ini, tapi juga seorang pecinta alam dan kolektor tanaman. Ia sempat membangun rumah pemerintah pertama di puncak bukit ini pada tahun 1822, lengkap dengan taman bergaya Inggris. Di sinilah Raffles dan timnya meneliti berbagai spesies tumbuhan tropis — bayangin aja, dari sinilah sejarah botani modern di Singapura dimulai.

Di puncak bukit Fort Canning yang hijau dan tenang ini berdiri sebuah tiang bendera besar yang terlihat sederhana, namun menyimpan kisah penting dari masa awal perdagangan Singapura. Struktur ini dikenal sebagai The Fort Canning Flagstaff, replika dari tiang kayu asli yang sudah ada sejak tahun 1825. Pada masa itu, Fort Canning menjadi titik strategis di Singapura — bukan hanya secara militer, tetapi juga maritim.
Bendera-bendera warna-warni yang berkibar di sini bukan sekadar hiasan. Dahulu, tiap bendera memiliki makna tersendiri. Mereka digunakan untuk mengirim pesan dan informasi kepada kapal-kapal yang sedang berlayar menuju pelabuhan Singapura — seperti pemberitahuan kedatangan kapal, asal negara, perusahaan pemilik, hingga kondisi cuaca di pelabuhan. Dengan sistem komunikasi visual ini, para pelaut dan pedagang bisa menyiapkan diri bahkan sebelum kapal mereka berlabuh.
Pada masa kolonial Inggris, tiang bendera ini juga sering dihiasi untuk merayakan hari ulang tahun raja atau ratu Inggris. Fungsinya kemudian berubah menjadi simbol kehormatan dan komunikasi resmi antara benteng dan pelabuhan.
Kini, replika Fort Canning Flagstaff ini menjadi bagian dari Fort Canning Park, berdiri gagah di antara taman yang rapi dan tenang — sebuah pengingat bahwa Singapura modern pernah lahir dari denyut perdagangan laut yang ramai dan cerdas dalam berkomunikasi.
“The flagstaff of Fort Canning today is a faithful replica of the wooden structure that had played such an important role in Singapore’s burgeoning maritime trade.”
— National Archives of Singapore

Dari situ, ane jalan ke arah Raffles' House. Ane sempat baca kalau dulu tempat ini jadi kediaman Sir Stamford Raffles, bapaknya Singapura modern. Bukit ini dulu dikenal sebagai Bukit Larangan sama penduduk lokal, karena dipercaya tempat raja-raja Melayu kuno. Di sini juga pernah ditemukan makam dan artefak dari abad ke-14, bukti kalau dulunya pusat kerajaan Temasek ada di sini.
Pas sampai di bekas Lighthouse, ane berhenti sebentar. Walaupun bangunannya udah nggak ada, tempat ini penting banget di masa kolonial. Dulu ada mercusuar yang bantu kapal-kapal lewat, karena bukit ini strategis banget buat navigasi. Setelah Inggris masuk, mereka juga bangun benteng di sini sekitar tahun 1860-an, jadinya dinamain Fort Canning. Benteng ini bahkan jadi pusat komando Inggris waktu Perang Dunia II, sebelum akhirnya mereka nyerah ke Jepang di tahun 1942.
Ane lanjut jalan ke taman-tamannya yang rapi banget. Di beberapa titik, ada sisa-sisa sejarah kayak meriam kecil, bunker Battle Box, dan bangunan tua. Jalurnya nyaman buat jalan, dan ketemu beberapa orang yang jogging atau foto-foto. Tapi ane lebih milih nikmatin suasana sambil ngebayangin gimana dulu tempat ini jadi pusat pertahanan Inggris.
Setelah sekitar satu setengah jam jalan, ane balik ke jalur keluar dengan rasa puas. Fort Canning bukan cuma tempat buat santai, tapi juga ngasih pengalaman jalan-jalan sambil belajar sejarah. Ane pasti bakal balik lagi kalau ada kesempatan.
Puas berkeliling Fort Canning, karena jam masih sangat cukup, kami melanjutkan ke tempat selanjutnya, Henderson Waves. Henderson Waves sendiri adalah jembatan pejalan kaki yang terletak di Singapura, menghubungkan Mount Faber Park dan Telok Blangah Hill Park. Dibuka pada tahun 2008, jembatan ini terkenal karena desainnya yang unik dan menarik, dengan bentuk bergelombang yang menyerupai gelombang laut. Kami kesana menggunakan bus, dan memang jaraknya lumayan jauh sampai butuh 1 jam perjalanan.
Turun dari bis, perasaan udah ga enak aja nih. Jembatannya kok kayaknya diatas banget ya. Artinya apa? Harus trekking via tangga. Ahhhh males banget wkwkwk....mana tinggi banget.
Jembatan ini memiliki panjang sekitar 274 meter dan terletak 36 meter di atas tanah, menawarkan pemandangan indah dari sekitarnya. Henderson Waves juga dilengkapi dengan area bersantai dan tempat duduk, sehingga menjadi tempat yang populer untuk berjalan-jalan, bersepeda, dan menikmati alam. Selain itu, jembatan ini juga memiliki pencahayaan malam yang indah, menjadikannya lebih menarik saat malam hari.
Sekitar jam 12 siang setelah puas berfoto-foto dengan Henderson Waves, kami pun memutuskan harus segera balik ke penginapan di Lavender untuk mengambil ransel yang kami titipkan dan segera beranjak ke bandara. Perjalanan dengan bis dan MRT berlangsung cukup lama, hampir 1 jam.
Setelah mengambil tas dan koper yang dititipkan, kami langsung beranjak ke stasiun MRT untuk ke bandara. Karena kami sudah mendapatkan boarding pass sejak dari Bali, sampai bandara ane langsung cari papan yang menunjukkan gate keberangkatan. Proses boarding dan penerbangan berjalan dengan lancar. Jujur feel ane kalau naik Scoot ini emang bagus banget sih. Take off - penerbangan - landing berjalan super mulus. Sekitar pukul 6 sore, kami sudah mendarat di Tanh Son Nath Airport di Ho Chi Minh City. Ane udah mempelajari tranportasi publik yang harus diambil, dan kami mengambil minibus dengan tarif 15.000 Vietnam Dong (VND) perorang ke pusat kota.
###
Ho Chi Minh City, Vietnam, 1 Februari 2023
Dentam musik dari pub-pub yang berjajar di sepanjang Bui Vien Walking Street benar-benar memekakkan telinga kami, sampai mau ngomong pun harus teriak-teriak. Suasana malam ini benar-benar ramai.
Berjalan sejenak, akhirnya kita memutuskan makan nasi goreng pinggir jalan seharga 40.000 VND (Rp 25.000); dan sesuai kebiasaan orang Vietnam, dimana kalau makan di pinggir jalan bakal duduk di kursi rendah dan meja rendah. Hehehe. Padahal posisinya di dekat perempatan jalan, jadi berasa diliatin orang di sepanjang jalan dan diberi bumbu polusi asap motor.
Selesai makan kami kembali melewati riuhnya Bui Vien Walking Street untuk kembali ke penginapan. Para pekerja pub beberapa kali menawari kami untuk singgah dan duduk di pub-pub terbuka mereka. Sebenarnya tertarik juga, cuma ane udha kenyang dan ga mau terlalu boros di hari pertama, jadi ane hanya bikin story-story aja para penarinya dan melangkah kembali ke penginapan. Sebelumnya ane sempet mampir ke minimarket untuk jajan bir dan snack cumi. Finnaly take a rest, besok siap eksplor Ho Chi Minh City!
0 comments:
Posting Komentar