Cerita ini merupakan bagian dari perjalananku backpacking ke India dan Nepal dari 29 Juni 2016 - 11 Juli 2016. Part selanjutnya dari setiap cerita akan aku beri link di bagian bawah.
Bandara Internasional Adi Sucipto,
29 Juni 2016
Menaiki kereta lokal Prameks dari Solo, aku sampai Bandara Internasional Adi Sucipto (Yogyakarta) sekitar jam 8 pagi. Pagi itu, akhirnya bisa melihat suasana bandara lagi setelah sekian lama, rasanya hatiku begitu bersemangat. Melihat orang-orang yang sibuk dengan koper dan tiket mereka, mendengar panggilan keberangkatan dengan tujuan berbagai kota dan negara di speaker, entahlah....ada rasa antusias yang sulit dijelaskan. Bagiku, bandara seperti tempat di mana segala mimpiku terasa begitu dekat. Mimpi yang menjadi realita dan membuat cerita baru dalam hidupku yang bisa kutuangkan dalam blog ini.
Bandara Internasional Adi Sucipto, Yogyakarta
Aku sampai bandara kepagian karena penerbangan Jogja ke KL masih jam 12 siang. Aku menunggu Fredo dan jam check in buka di kursi sudut bandara sembari mengecek itinerary dan memastikan informasi beberapa hal. Di perjalanan kali ini memang aku yang menyusun semua itinerary-nya, menentukan kota-kota yang dikunjungi, dan rute keseluruhannya. Well, seperti udah kujelaskan sebelumnya, sebenarnya sewaktu pertama kali ngajak Fredo, aku cuma ngajak eksplor Nepal. India tidak karena aku udah pernah mengunjunginya di tahun 2012.
"India sekalian lah Luh.. Aku belum pernah," katanya.
Aku berpikir sejenak. Well, sepertinya tidak masalah. Tahun 2012 aku memang sudah ke India tapi rutenya dari Jaisalmer (barat) ke timur (Kolkata). Bagaimana kalau kali ini mulai dari India Selatan ke Utara? Siap menggila lagi di India wkwkwk... Entahlah, aku malah jadi semangat!
Rute 'menggapai Himalaya' dari selatan ke utara anak Benua India. Garis kuning adalah rute perjalananku backpacking di India tahun 2012 dari Jaisalmer di Barat sampai Kolkata di Timur (Perjalanan tersebut sudah selesai kutulis dengan judul "Tinta Hindustan")
"Oke, tapi kita mulai dari Kochi (India Selatan) ya. Nanti dari selatan kita jalan ke utara lewat Mumbai, Jaipur, Agra sebelum ke Nepal," jawabku.
"Siaap, aku ngikut ajaa."
Jadilah Kochi aku pilih sebagai tempat memulai petualangan. Well, sebenarnya karena dia posisinya di India Selatan (aku belum pernah eksplor India Selatan yang katanya punya budaya dan bahasa yang berbeda dengan India Utara), dan tiket pesawat dari Kuala Lumpur ke Kochi murah, cuma 700ribuan hehehehe...
Beberapa saat kemudian, aku udah bertemu Fredo. Proses check-in berjalan dengan lancar. Kami boarding penerbangan ke KL sekitar jam 12 siang dan sampai jam 15.30.
Boarding ke Kuala Lumpur..
Bandara Internasional Kuala Lumpur,
15.30 pm
Cekrik....cekrik....", aku sibuk menfoto suasana Bandara KLIA2 Malaysia sesaat setelah mendarat dari Yogyakarta, tepatnya sebelum masuk imigrasi. Perasaanku begitu senang dan bahagia.
Foto resmi di bandara KLIA, foto disini sudah tidak dilarang
Akhirnya aku backpackeran ke luar negeri lagi!
Rasanya seperti mimpi, setelah perjuanganku mengatasi ketakutan naik pesawat A*r A**a karena peristiwa mengerikan di akhir 2014, perjuanganku mengumpulkan lembar demi lembar rupiah, perjuanganku menunggu setahun lebih demi perjalanan ini.
Semua sudut menarik aku foto, tidak terkecuali. Bandara KLIA2 Malaysia begitu besar dan bersih. Begitu penuh petualang-petualang berduit cekak seperti kami. Rasanya begitu menyenangkan melihat ini semua. Kami terus melangkahkan kaki menuju konter imigrasi untuk mendapatkan cap masuk Malaysia.
"PLEASE DELETE YOUR PHOTOS," kata seorang perempuan berseragam bertubuh besar. Nadanya tegas dan tajam. Seakan aku melakukan pelanggaran hebat yang tidak kuduga sebelumnya.
"Sorry, what?" tanyaku.
"Photos in your handphone," katanya sembari menunjuk HPku.
Lidahku kelu. Ada apa ini? Aku baru tahu kalau foto disini dilarang. Ingin rasanya bertanya, 'Why?'
Aku menunjukkan galeri fotoku dan dia menyuruhku menghapus semua foto yang sudah kuambil di sekitar bandara KLIA sebelumnya. Aku menurut, semua foto segera kuhapus. Sebelum pergi dia sempat melihat HPku lagi. Setelah puas dia beranjak pergi tanpa mengucapkan apapun.
Aku cukup tertegun dengan suara tajamnya. Ternyata memang dilarang mengambil foto di sekitar area imigrasi, well, mungkin karena alasan keamanan. Aku sendiri baru tau aturan itu disini wkwkwk ndesonyaa. Setelah itu aku baru tersadar, ternyata di bagian atas loket imigrasi, banyak banget terpasang larangan dilarang menfoto wkwkwk....
Fredo cuma ketawa-ketawa liat aku dibentak petugas wkwk..
Aku hanya menanggapinya dengan kepala dingin dan melanjutkan perjalanan. Well, itu bukan hal serius yang patut kuratapi.
Selanjutnya kami menuju konter Air Asia untuk check-in penerbangan KL - Kochi. Kami menunjukkan Evisa India dan mendapatkan boarding pass tanpa halangan. Well, next?
Kebodohan selanjutnya...Membuang 77 Ringgit ke KL Sentral..
17.10
Merasa aman karena sudah pegang boarding pass ke Kochi, kami melakukan kebodohan fatal yang hampir saja membuat semua rencana berantakan. Saat jam sudah menunjukkan pukul 17.10, dengan boarding penerbangan ke Kochi jam 20.00, kami malah sempet-sempetnya mau ke KL Sentral dulu! Bayangkan! Kebodohan macam apa ini?? Kalau traveler normal lainnya, mestinya sudah masuk ke gate dan duduk leyeh-leyeh. Tapi kami malah mengambil pilihan super bodoh ini, pergi ke KL Sentral yang berjarak 55 km dari bandara, naik bus pula! Padahal itu jam pulang kantor yang macetnya minta ampun.
***
Kemacetan sepanjang jalan Bandara KLIA2 - KL Sentral
Seperti sudah kuduga. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.15 WM (waktu Malaysia), tapi bus yang kami tumpangi masih bergerak merayap. Kemacetan tak terhindarkan. Mobil berjajar panjang, seakan tak ada celah untuk menyalip mereka. Antrian mengular sampai ratusan meter ke depan.
'Gawat, kami harus boarding penerbangan ke Kochi jam 20.00! Bagaimana mungkin kami bisa terjebak dengan situasi semacam ini, benar-benar kebodohan diawal perjalanan,' gerutuku dalam hati.
'Bagaimana pula aku masih berpikiran mengunjungi Batu Caves segala? Di saat pesawat kami dari Yogyakarta ke Kuala Lumpur sudah delay, kami masih berleha-leha di bandara KLIA2 sampai setengah lima, sekarang masih mau ke KL Sentral entah apa tujuannya. Tidak mungkin mengunjungi Batu Caves, keluar KL Sentral pun tidak mungkin. Waktu terlalu mepet. Kami sama sekali tidak memperhitungkan faktor kemacetan.'
Bus kembali bergerak merayap, belum ada tanda-tanda kemacetan ini akan berakhir. Waktu semakin berputar. Kami - aku dan Fredo - mengusir kegusaran dengan bercerita, saling berbagi pengalaman setelah sekian lama tidak berjumpa. Menggunakan Bahasa Jawa dengan volume suara yang cukup keras, aku rasa hanya kamilah satu-satunya penumpang di dalam bus yang berbicara terus sepanjang jalan. Hahaha
'Well, daripada menyesali pilihan yang sudah kita lakukan, lebih baik kita ambil sisi positifnya dan terus memikirkan solusinya wkwk.'
Perlahan tapi pasti, kemacetan mulai mereda. Bus mulai berjalan dengan lancar, walau supir - seorang lelaki keturunan India berperawakan tegap - tetap menggunakan kecepatan sedang. Papan petunjuk arah ke KL Sentral mulai terlihat.
'Semoga sudah dekat,' ujarku dalam hati, sembari mengotak-atik google offline yang daritadi tidak berfungsi. 'Masak baru mulai perjalanan udah ketinggalan pesawat. Gak lucu banget.'
Bus kami meluncur melewati kawasan perkotaan yang cukup padat. Tiba-tiba, bus menepi. Ah, ternyata kami sudah sampai KL Sentral! Waktu sudah menunjukkan pukul 18.45. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain berjalan tergesa-gesa, mencari makan, dan segera kembali ke KLIA2 secepatnya.
KL Sentral. Disini kami sudah tidak fokus dan terburu-buru membungkus makanan dan segera kembali ke KLIA2 naik kereta ekspress.
Selesai membungkus makanan seharga 11 ringgit - sebuah nasi kari ayam - kami segera berjalan cepat ke konter kereta ekspres KL Sentral - KLIA2. Tidak ada pilihan lain, kami tidak mau mengambil resiko naik bus kembali. Lebih baik kehilangan sedikit uang ringgit daripada harus kehilangan tiket pesawat ke India malam ini.
"110 ringgit untuk 2 tiket," kata wanita di loket penjualan kereta ekspress.
Perkataan yang membuat kami menelan ludah. Apa?? 110 ringgit hanya untuk tiket kereta? Benar-benar pemborosan dan kebodohan di awal perjalanan. Bagaimana kami bisa memutuskan hal seperti ini? Bagaimanapun aku paling benci pemborosan uang untuk hal tidak berguna di awal perjalanan. Tapi sudahlah, ini sudah terjadi. Aku hanya bisa berpasrah mengambil sisi positifnya.
11 Ringgit (tiket bus KLIA2 - KL Sentral), 11 ringgit (makan), 55 ringgit (tiket kereta ekspress). 77 ringgit hanya untuk makan. Jika uang sebesar itu digunakan untuk makan di Bandara KLIA2, tentulah sudah mendapatkan menu lezat.
OMG....
Perjalanan dengan kereta ekspress dari KL Sentral kembali ke KLIA2 hanya membutuhkan 30 menit. Perjuangan belum berhenti disitu. Aku cuma bisa mohon-mohon dalam hati,
'SEMOGA LOKER EXIT IMIGRASI DAN PEMERIKSAAN BARANG TIDAK ANTRE MENGULAR!!'
Syukurlah.... syukurlah... syukurlah.. Doaku terkabul. Loket exit imigrasi sore itu tidak terlalu ramai. Dengan cekatan kami membawa backpack melaluinya. Proses pemeriksaan barang berjalan dengan lancar dan akhirnyaa.... kami sudah duduk manis menunggu penerbangan ke Kochi. Harusnya dari landing dari Jogja tadi udah begini ya.. auk ah... bodohnya.. membuang 77 ringgit ke KL Sentral!
Penerbangan Air Asia KL - Kochi
3100 km, 4 jam penerbangan
Penerbangan dari Kuala Lumpur ke Kochi akan ditempuh selama 4 jam. Aku dan Fredo masuk pesawat dengan perlahan setelah peristiwa mendebarkan tadi, termasuk membawa nasi kari ayam yang kami bungkus dari KL Sentral tadi.
"Eh ini beneran gpp ini bawa makanan? Ga enak aku sama pramugarinya. Soalnya mereka juga jualan makanan," kataku ke Fredo.
"Gpp.. udah santai aja makan aja."
Pesawat belum take off, tapi karena sudah kelaparan akibat andrenalin mengucur deras takut ketinggalan pesawat tadi, aku langsung menghabiskan nasi kari itu dengan cepat. Tidak menunggu lama proses boarding selesai dan proses take off berjalan dengan lancar. Di pesawat, aku mencoba memejamkan mata. Harapannya, tidur bisa membantu waktu terasa lebih cepat berlalu. Tapi, seperti biasa, bagiku tidur di pesawat/mode transportasi lainnya bukan hal yang mudah. Suara dengung mesin, lampu kabin yang tidak terlalu redup, dan posisi duduk yang kurang nyaman (terlalu tegak dan sempit jaraknya dengan kursi depan) membuat tidurku hanya setengah berhasil. Beberapa kali aku melirik ke arah Fredo yang terlihat lebih santai. Sesekali kami mengobrol ringan untuk menghabiskan waktu.
Menjelang akhir penerbangan, perasaan lelah bercampur antusias mulai muncul. Pukul 23.30 waktu India (1,5 jam lebih lambat dari KL), pesawat akhirnya mendarat di Bandara Internasional Kochi. Walau hari sudah larut, bandara terlihat masih ramai dengan hiruk-pikuk penumpang dari beberapa pesawat yang baru saja landing. Dengan rasa lega, kami mengambil barang bawaan dan melangkah menuju imigrasi.
Mengamati situasi sejenak, aku menemukan tanda ini, E-Tourist Visa. Karena setauku aku dan Fredo memegang visa ini untuk masuk India, kami mengikuti tanda tersebut ke loket imigrasi khusus pemegang ETV. Di dalam loket tersebut sudah ada petugas yang dengan sigap langsung meminta paspor, ETV dan bukti penginapan malam pertama kami di India. Petugas itu melakukan verifikasi data lewat komputernya selama 20 menit, setelah itu meminta cap kesepuluh jari dan foto wajah sebelum memberikan cap masuk selama 30 hari di India
Konter ETV di Bandara Internasional Kochi
Selesai urusan imigrasi, kami segera melangkah keluar bandara. Di pintu keluar aku tiba-tiba melihat antrian pria dan wanita yang mengular ke belakang. Mereka terlihat antre dibatasi oleh tali gesper, dimana yang ane salut, itu sudah jam 12 malam lo dan mereka tetap antri dengan tertib dan sabar! Dugaanku mereka pasti menunggu anggota keluarganya yang landing dari luar negeri setelah bekerja merantau sekian lama.
Menunggu keluarga di pintu keluar Bandara Internasional Kochi
Mungkin, momen menunggu kedatangan keluarga tercinta ini menjadi salah satu momen yang paling krusial bagi mereka. Kuperhatikan, antrian mengular sampai 10 meter ke belakang, melebar ke kanan dan kiri. Setiap ada orang keluar dari dalam bandara, dengan penuh rasa ingin tahu mereka akan langsung melongok lewat atas, samping kanan, samping kiri, berharap itu adalah keluarga tercinta yang sudah mereka tunggu-tunggu. Kami hanya terkagum dan tersenyum dengan pemandangan ini.
Kami melangkah keluar bandara, disambut udara malam Kochi yang hangat. Untuk alasan keamanan, kami memutuskan naik prepaid taxi bandara untuk ke hotel kami malam itu, Hotel Srinivas. Tarifnya cukup mahal, lebih dari 1000 rupee, tapi itu adalah pilihan satu-satunya kami malam itu karena sudah hampir jam 1 pagi.
Ternyata kami harus mengantri untuk mendapatkan taksi kami. Supir kami seorang pria India paruh baya yang cukup ramah. Di sepanjang perjalanan, taksi melaju melewati jalanan yang masih dipenuhi motor, mobil, auto rickshaw (seperti bajai/tuk-tuk), cycle rickshaw (yang dikayuh pakai sepeda). Klakson menjadi suara dominan, saling sahut menyahut antara satu kendaraan dengan kendaraan lain seakan-akan tidak ada yang mau kalah. Bahkan di suatu persimpangan, kendaraan-kendaraan itu terlihat saling memotong, tidak ada yang mau mengalah jadi membentuk kemacetan di perempatan wkwkwk.
"Welcome to India," kataku ke Fredo dengan meringis.
"Buseeet," kata Fredo sambil terheran-heran dengan kondisi didepannya ini.
Sopir taksi kami cukup cekatan, memotong jalan di sela-sela kendaraan lain dengan gerakan yang sangat licin. Menjauh dari stasiun, jalanan yang tadinya ramai mulai lancar. Lampu-lampu jalan terlihat memantul di genangan kecil di tepi jalan, warung-warung pinggir jalan masih buka, melayani pelanggan yang mungkin juga baru tiba dari perjalanan panjang. Sepanjang perjalanan, aku merasa seperti di tengah-tengah adegan film. Ramai, riuh, tapi penuh kehidupan. Wkwkwk.. Ini merupakan perasaan yang khusus kurasakan kalau pas traveling ke India.
Setelah setengah jam berkendara, akhirnya kami tiba di Hotel Srinivas yang terletak di Kawasan Ernakulam, hotel yang sudah kubooking sebelumnya.
"Jadi, total semuanya 950 Rupee (Rp 200.000)," kata lelaki resepsionis Hotel Srinivas. Perawakannya tegap, berkacamata dengan kumis yang lebat.
"Tetapi di internet dikatakan totalnya 800 Rupee," protesku.
"Tidak, tidak. Itu belum termasuk pajak," kata lelaki itu lagi.
"Hmmmm....baiklah," kataku dengan pasrah.
Kami memesan sebuah kamar ekonomi dengan dua kasur terpisah (twin bed). Menurutku kondisi kamar cukup bersih dan bagus. Fasilitas yang kami dapatkan meliputi dua kasur dengan sprei, bantal dan selimut bersih; kamar mandi dalam dengan kondisi air lancar, ada air panas, dapat dua buah sabun juga; air panas untuk minum; fasilitas check in 24 jam; televisi.
Hotel Srinivas, Ernakulam, Kochi
WI-FI? Tidak ada. Sarapan? Tidak dapat. Mengecewakan sih dengan ketidakhadiran Wi-Fi, tetapi kekurangan itu ditutupi dengan fasilitas check in yang 24 jam, jadi jika check in jam 12 malam, maka bisa check out keesokan harinya jam 12 malam juga. Cukup adil kan?
Kenapa memilih Hotel Srinivas? Well, sebenarnya aku memilih hotel ini karena lokasinya yang berada di Ernakulam. Coba lihatlah peta wilayah Kochi di bawah ini, dengan bentuk wilayah yang berpulau-pulau (ada Ernakulam, Panangad, Kochi, Willingdon, Vypin), maka jarak tempuh dari satu tempat ke tempat lain memang cukup jauh. Hotel Srinivas di Ernakulam kami pilih karena kami memang mempunyai rencana mengikuti paket tour mengunjungi Pulau Kochi dengan perahu esok pagi. Kebetulan titik keberangkatan perahunya ada di Ernakulam Boat Jetty yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari hotel ini (lokasinya di peta dekat dengan Panampilly Nagar). Jadi rencana besok kami akan berjalan kaki kesana.
Malam itu sudah tidak ada aktivitas yang kami lakukan selain sesegera mungkin beristirahat. Siap eksplor Kota Kochi esok hari!
0 comments:
Posting Komentar