Pagi-pagi sekitar jam 8 aku dan Fredo sudah keluar dari Hotel Srinivas untuk menuju Ernakulam Boat Jetty. Menurut Google Maps jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 1,5 kilometer, jadi kami jalan santai saja. Pagi itu suasana Kochi terlihat mendung, jalanan masih basah. Sepertinya semalam habis diguyur hujan deras.
Dalam perjalanan, langkah kami terhenti di sebuah kuil India Selatan. Dari luar, gerbang kuil ini sudah tampak megah dengan patung-patung dewa berwarna-warni yang berdiri di atas gapura. Begitu masuk halaman, kami langsung melihat suasana khas kuil Hindu—seekor demi seekor merpati beterbangan, sementara seorang pendeta bersarung putih memberi makan gerombolan burung yang bergerombol di tanah. Orang-orang berlalu lalang, ada yang baru datang untuk bersembahyang, ada juga yang sibuk dengan ritual pagi.
"Eh masuk yuk mas, penasaran aku," kataku ke Fredo.
Nah, setelah melewati gerbang, tanpa sadar kami sebenarnya memotret sebuah papan pengumuman yang ternyata berisi aturan resmi masuk kuil. Karena waktu itu kami jalan tanpa internet, ya kami foto saja semua hal menarik di sekitar. Baru setelah kulihat lagi, ternyata papan itu menjelaskan tata tertib: pria wajib memakai mundu atau dhoti (sarung tradisional), wanita harus mengenakan saree, dan pakaian modern seperti celana panjang atau jaket tidak diperkenankan di area dalam. Ada juga larangan membawa alas kaki, kamera, dan tentu saja merokok.
Lucunya, dari kostum kami saat itu—aku dengan kemeja kotak-kotak, Fredo dengan kaos kasual ala backpacker—jelas banget sebenarnya kami nggak memenuhi syarat untuk masuk ke kuil. Tapi karena suasananya pagi, agak sepi, dan mungkin orang-orang juga maklum kami turis, akhirnya kami bisa masuk cukup jauh tanpa ada yang menegur. Kalau beneran dipelototin penjaga, mungkin kami sudah dilarang sejak gerbang, wkwk. Soalnya hampir semua peraturan kami langgar, kecuali tentu aja larangan merokok. Wkwkwk..
Kami pun masuk lebih dalam ke area kuil. Di tengah bangunan berjajar pilar-pilar, terdapat sebuah Deepa Aradhana besar—semacam lampu minyak ritual dari logam bertingkat. Bentuknya menyerupai menara dengan cawan-cawan melingkar di setiap tingkatnya. Di atas meja, puluhan lampu minyak kecil menyala, apinya berkelip-kelip dan menebarkan rasa hangat. Beberapa orang tampak kusyuk berdoa di hadapan api tersebut. Api dalam kepercayaan Hindu melambangkan pemurnian dan kehadiran ilahi.
Di sisi lain kuil, aku sempat melihat dinding dengan gambar dewa-dewi serta ruang luas dengan lampu-lampu gantung yang siap dinyalakan saat upacara. Ada juga patung dewa berdiri di sudut, berwarna cerah dan dipuja dengan persembahan. Suasananya hening sekaligus khidmat, meski sesekali terdengar denting bel besar yang digantung di salah satu tiang.
Tidak ingin terlalu lama mengganggu suasana ibadah, aku dan Fredo hanya berjalan mengitari kuil sambil mengambil beberapa foto sebagai kenang-kenangan. Setelah puas menikmati atmosfer spiritual di sana, aku pun menoleh ke Fredo, “Yok, lanjut ke arah pantai,” kataku. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Boat Jetty, meninggalkan jejak kecil pagi itu di sebuah kuil penuh warna di Kochi.
Aku sempat berhenti di sebuah papan ungu besar yang kasih peringatan buat turis—supaya hati-hati sama agen yang ngajak belanja ke toko-toko tertentu. Ternyata di sini banyak ‘toko palsu’ yang ngaku sebagai toko pemerintah, padahal bukan. Kaget juga, tapi menarik. Artinya tempat ini saking turistiknya sampai ada yang manfaatin celah buat ngibulin turis. Wkwk.
Setelah jalan beberapa blok, aku nyasar ke dalam satu bangunan antik yang ternyata adalah Lulu International Heritage & Museum. Tempat ini bukan cuma toko oleh-oleh biasa, tapi juga memamerkan benda-benda seni dan sejarah India Selatan, khususnya dari Kerala. Di dalamnya adem dan bersih, dengan lantai tegel merah dan display yang ditata rapi.
Begitu melangkah masuk, mataku langsung dimanjakan oleh deretan rak kaca berisi patung-patung perunggu, ukiran kayu dewa-dewi, miniatur alat musik tradisional, sampai aneka patung Ganesha dan Buddha dengan berbagai pose. Rasanya kayak tiba-tiba nyasar ke ruang tengah kuil Hindu dan Buddha sekaligus. Aku dan Fredo jalan pelan-pelan, bolak-balik saling nyeletuk, “Eh mas, lihat ini!,” “Wah, ini kayak yang di film India!”
Yang paling menarik perhatian tentu aja... cawan besar dari perunggu yang super gede! Ini bukan cawan minum ya, haha. Cawan ini disebut “Uruli”, dan dulunya digunakan untuk memasak dalam skala besar pada upacara kerajaan atau kuil di Kerala. Sekarang biasanya diisi air dan bunga lotus buat dekorasi. Cawan ini juga tercatat di Limca Book of Records karena ukurannya yang luar biasa. Bayangin aja, buat masak kari bisa buat satu RT. 😂
Masih di dalam museum, aku lihat banyak patung-patung kecil dari perunggu dan tembaga—ada yang berbentuk Dewa Ganesha, Shiva Nataraja, Dewi Saraswati, dan figur-figur musisi yang memainkan alat tradisional. Semuanya detail banget, dan menurutku jadi salah satu cara paling keren buat ngenalin seni tradisi India ke pengunjung.
Lalu... kami sampai di tengah ruangan, dan di sanalah benda ini berdiri megah.
Sebuah lampu minyak bertingkat raksasa, yang tingginya bisa jadi selevel manusia dewasa! Warnanya hitam legam, terbuat dari logam berat, dan setiap tingkatnya punya lekukan seperti piring lebar yang ditumpuk-tumpuk. Di bagian atasnya ada patung kecil berbentuk burung (kemungkinan burung Garuda atau merpati).
Aku sempat nanya ke petugasnya, “What is this used for?”
Dia menjawab, “It’s a vilakku, a traditional oil lamp. Used during temple rituals. It can be fully lit during festivals.”
Aku dan Fredo langsung mengangguk-angguk gaya ngerti. Padahal dalam hati, “Wah keren juga ya, ini kalau dinyalain semua pasti kayak pohon natal versi India.”
Jadi ternyata ini namanya kuthuvilakku, sejenis lampu minyak besar yang biasa dipakai di kuil-kuil Hindu di India Selatan. Biasanya tiap tingkat diisi minyak dan sumbu, lalu dinyalakan satu per satu. Simbolis banget—melambangkan terang yang mengusir kegelapan, pengetahuan yang mengusir kebodohan. Aku jadi mikir... kalau hidup lagi gelap, mungkin yang kita butuh cuma "dinyalakan" dari dalam. Hehehe..
Selesai dari museum, kami lanjut lagi jalan ke destinasi paling bersejarah hari itu yaitu Sinagoga Paradesi. Ini adalah sinagoga Yahudi tertua di India, didirikan tahun 1568 oleh komunitas Yahudi Sephardic dari Eropa. Letaknya ada di ujung Jew Town, dan bangunannya masih kokoh dengan dominasi warna putih-biru.
Sebelum masuk, aku sempat foto dulu di depan pintunya yang klasik. Di bagian dalam, suasananya sunyi, tenang banget. Lantainya disusun dari ubin biru-putih bergaya China, dan di tengahnya ada Bimah, semacam mimbar berpagar emas tempat pembacaan kitab Taurat. Di langit-langitnya menggantung puluhan lampu gantung kaca antik dari Belgia. Rasanya kayak masuk ruang sakral yang udah berdiri selama ratusan tahun.
Di sinilah aku merasa... betapa India itu bukan cuma tentang kuil Hindu dan masjid megah. Tapi juga tentang komunitas kecil yang hidup berdampingan, seperti Yahudi di Kochi ini, yang berhasil membawa tradisinya sejauh ribuan kilometer dari tanah leluhur mereka.
Setelah puas muter-muter di sekitaran Jew Town, aku dan Fredo lanjut jalan kaki menyusuri jalanan kecil menuju Dutch Palace. Tapi, sebelum sampai ke gerbangnya, kami sempat berhenti di salah satu kios yang langsung menarik perhatian. Bukan karena ada diskon atau suvenir lucu, tapi karena... tumpukan bubuk warna-warni yang disusun kerucut tinggi dalam mangkok-mangkok logam. Warna-warnanya ngejreng banget. Merah, kuning kunyit, hijau terang, ungu, biru elektrik, sampai pink fanta. Aku spotan menfotonya.
Aku nyeletuk, “Eh mas, ini bubuk apaan ya?”
Dia jawab, “Kayaknya ini bubuk yang dipakai waktu Holi Festival itu deh.”
Aku manggut-manggut sok ngerti. Tapi jujur ya, aku baru lihat yang sebanyak dan sekeren ini. Selama ini tahunya dari foto-foto di Instagram orang India pas festival warna itu, tapi kali ini aku lihat sendiri bubuknya sebelum dilempar-lempar ke orang. Hehe.
Setelah aku browsing, bubuk gulal ini memang umum dijual di tempat-tempat turis, karena selain dipakai buat perayaan Holi, banyak juga yang beli buat oleh-oleh atau dekorasi. Di sampingnya juga dijual dupa dan minyak aroma terapi, jadi aromanya campur antara harum dan menyengat.
Penasaran sih sebenernya pengen beli dan coba, tapi mikir juga, “Ini kalo nyimpen di tas, ntar tas gue isinya pelangi semua.” Wkwkwk... Akhirnya cuma kami abadikan lewat kamera. Jepret, dan lanjut jalan lagi.
Tidak terlalu lama, kami sampai juga di sebuah bangunan tua berwarna kuning pudar dengan papan petunjuk besar bertuliskan: Archaeological Museum – Mattancherry Palace. Aku langsung celingak-celinguk dan nyeletuk ke Fredo, "Eh, tempat apaan ini ya." Fredo cuma nyengir sambil balas, “Masuk aja dulu, ntar juga tahu.”
Kami pun menaiki tangga batu yang mengarah ke pintu masuk museum. Dari luar, bangunannya tampak sederhana, kayak rumah tua zaman kolonial, tapi begitu masuk... wow, ternyata tempat ini dulunya adalah istana! Namanya Mattancherry Palace, tapi lebih sering disebut Dutch Palace (meskipun justru yang membangunnya itu Portugis pada tahun 1555). Katanya, istana ini dulunya dikasih ke Raja Kochi sebagai "hadiah penenang" karena Portugis sempat ngerusak kuil di sekitar situ. Hadiah yang cukup niat sih, bentuknya istana.
Setelah diambil alih oleh Belanda, istana ini direnovasi besar-besaran dan akhirnya disebut Dutch Palace. Tapi meskipun dibangun oleh orang Eropa, unsur arsitekturnya kental banget unsur lokalnya. Ada atap genteng merah, lorong-lorong kayu, dan mural-mural khas India yang penuh warna
Salah satu hal paling menarik di dalamnya adalah mural-mural epik yang menggambarkan kisah dari Ramayana, serta berbagai dewa seperti Krishna, Durga, dan Shiva. Gaya lukisannya beda dari yang biasa aku lihat di Indonesia, penuh detail dan ceritanya kuat banget. Ada satu ruangan khusus tempat dilangsungkannya upacara penobatan raja. Aku dan Fredo sempat berdiri lama di situ sambil ngebayangin. “Bayangin mas, dulu di sini ada raja duduk kayak maharaja, rakyatnya ngantri bawa persembahan.” Fredo pun nyeletuk, “Iya, trus kita yang sekarang malah ngantri buat foto doang.” Kami tertawa bareng, tapi ya memang itulah realitas traveler zaman now. Sayang di bagian dalamnya tidak boleh difoto.
Museum ini juga memajang berbagai artefak kerajaan Kochi, kayak kursi takhta, tandu istana, senjata, lukisan raja-raja, dan bahkan kostum upacara lengkap dengan payung kebesaran dan payet emas. Aku sempat terpaku di satu pojok ruangan yang memajang berbagai patung logam dewa-dewi Hindu. Ada juga etalase khusus yang menampilkan ukiran kayu rumit dan instrumen musik kuno.
Oh iya, di area museum ini juga ada kuil Hindu, namanya Pazhayannoor Bhagavathy Temple. Tapi karena hanya boleh dimasuki oleh umat Hindu, aku cuma bisa melihat dari luar. Menarik juga karena dalam satu kompleks bisa ada istana, museum, dan tempat ibadah yang masih aktif sampai sekarang.
Selesai mengelilingi Dutch Palace, aku sadar waktu sudah mendekati jam 1 siang, yaitu batas terakhir kami bisa eksplor Pulau Kochi. Aku dan Fredo pun mulai balik jalan kaki ke dermaga tempat boat menurunkan kami tadi pagi. Kami mengikuti jalan ke arah pelabuhan dengan sesekali masih mengambil foto untuk mengabadikan momen. Begitu sampai, rombongan lain ternyata juga sudah berkumpul. Ada satu keluarga India berjumlah lima orang yang dari awal sering melakukan kontak mata, kemungkinan penasaran kami darimana dan ingin ngajak ngobrol hehe. Selain itu ada keluarga kecil—ayah, ibu, dan anak mereka—serta dua orang lain yang ikut trip.
Pas semua sudah duduk di boat, sembari menunggu nahkoda menjalankan kapal, sesuai perkiraanku, salah satu anggota keluarga tersebut menanyai kami.
"Are you from China, Japan, Korea, Taiwan?"
Aku dan Fredo saling lirik, lalu jawab, “Indonesia, of course.” Dari situ suasana langsung cair. Mereka ketawa, kami ketawa, lalu mulai ngobrol ngalor-ngidul. Mereka tanya, “Ngapain kalian ke sini? Mau ke mana aja setelah Kochi? Berapa lama di India?”
Kami pun cerita rencana perjalanan. Setelah dari Kochi mau lanjut ke Mumbai, Jaipur, Agra, Gorakhpur, lalu terus menyeberang ke Nepal. Mendengar itu, mereka kelihatan kagum, lalu berharap perjalanan kami lancar. Dengan ramah mereka juga berpesan supaya kami selalu hati-hati selama di India.
Kami akhirnya jadi cukup akrab. Mereka cerita kalau mereka juga lagi jalan-jalan ke Kochi, sekadar liburan keluarga. Aku merasa, bagian paling menyenangkan dari trip ini justru bukan cuma soal tempat-tempat bersejarah yang kami lihat, tapi momen-momen kecil kayak gini. Ketemu orang baru, ngobrol ringan, dan merasa disambut meski datang dari jauh. Kami terus ngobrol sampai akhirnya tidak terasa kapal sudah sampai kembali di Ernakulam Boat Jetty dan kami sudah harus berpisah.
"Sampai jumpa ya, kalian berdua hati-hati," pesan mereka.
"Yes sir, kalian juga ya," aku dan Fredo menjawab serempak.
Sungguh keluarga yang baik hati.
0 comments:
Posting Komentar