Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

7.13.2016

[PART 3] Menggapai Himalaya: Eksplore Kochi, Kota Pelabuhan di India Selatan !

Cerita ini merupakan bagian dari perjalananku backpacking ke India dan Nepal dari 29 Juni 2016 - 11 Juli 2016. Part selanjutnya dari setiap cerita akan aku beri link di bagian bawah.

Part Sebelumnya: DISINI



Kochi, 30 Juni 2016

Pagi-pagi sekitar jam 8 aku dan Fredo sudah keluar dari Hotel Srinivas untuk menuju Ernakulam Boat Jetty. Menurut Google Maps jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 1,5 kilometer, jadi kami jalan santai saja. Pagi itu suasana Kochi terlihat mendung, jalanan masih basah. Sepertinya semalam habis diguyur hujan deras.

Dalam perjalanan, langkah kami terhenti di sebuah kuil India Selatan. Dari luar, gerbang kuil ini sudah tampak megah dengan patung-patung dewa berwarna-warni yang berdiri di atas gapura. Begitu masuk halaman, kami langsung melihat suasana khas kuil Hindu—seekor demi seekor merpati beterbangan, sementara seorang pendeta bersarung putih memberi makan gerombolan burung yang bergerombol di tanah. Orang-orang berlalu lalang, ada yang baru datang untuk bersembahyang, ada juga yang sibuk dengan ritual pagi.

"Eh masuk yuk mas, penasaran aku," kataku ke Fredo.


Nah, setelah melewati gerbang, tanpa sadar kami sebenarnya memotret sebuah papan pengumuman yang ternyata berisi aturan resmi masuk kuil. Karena waktu itu kami jalan tanpa internet, ya kami foto saja semua hal menarik di sekitar. Baru setelah kulihat lagi lewat aplikasi translate, ternyata papan itu menjelaskan tata tertib yaitu pria wajib memakai mundu atau dhoti (sarung tradisional), wanita harus mengenakan saree, dan pakaian modern seperti celana panjang atau jaket tidak diperkenankan di area dalam. Ada juga larangan membawa alas kaki, kamera, dan tentu saja merokok.

Lucunya, dari kostum kami saat itu - aku dengan kemeja kotak-kotak, Fredo dengan kaos kasual ala backpacker - jelas banget sebenarnya kami nggak memenuhi syarat untuk masuk ke kuil. Tapi karena suasananya pagi, agak sepi, dan mungkin orang-orang juga maklum kami turis, akhirnya kami bisa masuk cukup jauh tanpa ada yang menegur. Kalau beneran dipelototin penjaga, mungkin kami sudah dilarang sejak gerbang, wkwk. Soalnya hampir semua peraturan kami langgar, kecuali tentu aja larangan merokok. Wkwkwk..

Kami pun masuk lebih dalam ke area kuil. Di tengah bangunan berjajar pilar-pilar, terdapat sebuah Deepa Aradhana besar—semacam lampu minyak ritual dari logam bertingkat. Bentuknya menyerupai menara dengan cawan-cawan melingkar di setiap tingkatnya. Di atas meja, puluhan lampu minyak kecil menyala, apinya berkelip-kelip dan menebarkan rasa hangat. Beberapa orang tampak kusyuk berdoa di hadapan api tersebut. Api dalam kepercayaan Hindu melambangkan pemurnian dan kehadiran ilahi.

Di sisi lain kuil, aku sempat melihat dinding dengan gambar dewa-dewi serta ruang luas dengan lampu-lampu gantung yang siap dinyalakan saat upacara. Ada juga patung dewa berdiri di sudut, berwarna cerah dan dipuja dengan persembahan. Suasananya hening sekaligus khidmat, meski sesekali terdengar denting bel besar yang digantung di salah satu tiang.

Sepertinya tempat didepan Fredo inilah bagian kuil utamanya, yang terletak di bagian tengah

Tidak ingin terlalu lama mengganggu suasana ibadah, aku dan Fredo hanya berjalan mengitari kuil sambil mengambil beberapa foto sebagai kenang-kenangan. Setelah puas menikmati atmosfer spiritual di sana, aku pun menoleh ke Fredo, “Yok, lanjut ke arah pantai,” kataku. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Boat Jetty, meninggalkan jejak kecil pagi itu di sebuah kuil penuh warna di Kochi.

Acara kami pagi ini adalah mengikuti lokal tour yang bernama "Metro Backwater Tour" jam 9 pagi. Dengan morfologi area Ernakulam dan sekitarnya yang berbentuk pulau-pulau, maka untuk menuju Pulau Kochi kita memang harus naik kapal. Sewaktu booking tour, terdapat keterangan bahwa kami diminta ke Ernakulam Boat Jetty dan menemui Mr. Ajay.

Tidak lama berjalan, kami sampai di kawasan Marine Drive. Marine Drive ini merupakan bangunan yang dibangun memanjang di sepanjang perairan antara Daratan Ernakulam dan Pulau Willingdon (pulau buatan). Sewaktu sedang jalan santai, tiba-tiba kami melihat plang bertuliskan Ernakulam Boat Jetty. tidak seperti perkiraanku yang tempatnya bakalan ramai dengan banyak boat, ternyata tempatnya sepi dan hanya ada beberapa boat yang bersandar. Kami segera bertanya kepada penjaga yang kebetulan ada di pos dermaga. Untunglah dia mengenal Mr. Ajay dan kami disuruh menunggu sampai jam 09.30 untuk memulai trip.


Sambil menunggu jam 10 kami sempatkan jalan-jalan di sepanjang Marine Drive Kochi. Pagi itu udara terasa lembab, dan cuaca mendung menciptakan nuansa sedikit suram tapi cukup nyaman untuk berjalan santai. Sepanjang jalan, kami melewati beberapa toko kecil yang masih baru membuka pintu, menjual barang-barang kerajinan tangan dan cendera mata khas Kerala. Di sisi lain, banyak bapak-bapak lokal duduk di kursi panjang menghadap laut, ada yang sekadar bengong, ada yang sambil dengar musik pakai earphone, ada juga yang ngobrol pelan sambil melipat tangan di dada. Suasananya tenang banget. Melihat itu mulut usiku nggak tahan komentar,

"Kok bapak-bapaknya santai banget ya, apa pada nggak kerja wkwk…”



Di tepian, ada beberapa perahu nelayan kecil yang terombang-ambing pelan oleh ombak, dan air laut terlihat agak keruh, senada dengan langit yang mendung di atasnya. Beberapa pria India duduk di bangku-bangku taman, bercakap-cakap dengan santai, sebagian merokok, sebagian lagi hanya menatap jauh ke laut, mungkin sedang memikirkan sesuatu. Beberapa dari mereka menatap kami sesaat dengan senyuman ramah, membuat kami merasa disambut di tempat ini.

Aku dan Fredo terus berjalan, menyusuri tepian yang dihiasi pepohonan rindang, hingga menemukan sebuah restoran kecil yang sudah buka dan menjual nasi briyani. Menghirup bau nasi briyani yang hangat tiba-tiba aku merasa sedikit lapar lagi wkwk..Sebenarnya tadi pagi kita sudah mendapatkan sarapan di hotel. Berupa setangkup roti dan kari. Namun aku merasa itu belum cukup mengenyangkan.

"Aku mau makan lagi ya, kita masuk dulu" kataku ke Fredo.

Aku memesan sepiring nasi briyani, segelas teh chai, dan segelas jus nanas. Dan sewaktu pesanan datang... busettt porsinya besar banget 😁😁. Aku jadi merasa serakah sudah memesan kebanyakan seperti ini. Suapan persama nasi briyani, langsung terasa rempah India yang lezat. Sambil sarapan, aku menikmati pemandangan perairan Kochi yang tenang. Rasanya perutku benar-benar full... Dan sewaktu membayar OMG semua makanan yang ane pesen itu nggak sampai 30ribu rupiah...benar-benar worth it dan murah.


Selesai makan kami lamgsung standby di Ernakulam Boat Jetty untuk menunggu trip dimulai. Sekitar pukul 10.00 setelah teman serombongan trip kami sudah datang semua - sekelompok keluarga India dan sepasang keluarga kecil - akhirnya kami dipersilahkan juga naik boat dan siap untuk memulai aktivitas berkeliling kanal menggunakan boat (backwater boating). Yah well, sebenarnya pemandangan awalnya biasa aja sih. Airnya coklat dan sampah kecil-kecil mengapung. Tapi sejarah tempat inilah yang membuatnya menarik. 

Sedikit cerita sejarah, Kochi, yang juga dikenal sebagai Cochin, adalah sebuah kota pelabuhan yang terletak di negara bagian Kerala, India Selatan. Terletak di pesisir Laut Arab, kota ini memiliki sejarah panjang sebagai pusat perdagangan rempah-rempah, yang membuatnya dijuluki sebagai "Queen of the Arabian Sea." Sejak abad ke-14, Kochi telah menjadi titik pertemuan budaya, mulai dari Tiongkok,  Portugis, Belanda, hingga Inggris, karena lokasinya yang ideal untuk perdagangan rempah-rempah. 

Kedatangan bangsa Tiongkok ke wilayah ini terjadi sekitar abad ke-14, terutama melalui ekspedisi maritim yang dipimpin oleh Laksamana Zheng He selama Dinasti Yuan dan awal Dinasti Ming. Pada masa itu, Kochi sudah menjadi pelabuhan penting dalam perdagangan internasional, khususnya rempah-rempah seperti lada hitam, yang menarik perhatian pedagang dari Tiongkok. Mereka memperkenalkan Chinese Fishing Nets dan menjalin hubungan dagang yang erat dengan kerajaan lokal di Kochi. Bangsa Tiongkok lebih berfokus pada perdagangan dan hubungan damai dengan wilayah setempat tanpa membawa ambisi kolonial.

Portugis pada 1498 melalui Vasco da Gama tiba di Calicut (Kerala) dalam pencarian rute laut menuju India. Kochi segera menjadi perhatian karena lokasinya yang strategis dan ketersediaan rempah-rempah. Pada 1503 Portugis mendirikan benteng pertama mereka, Fort Emmanuel, di Kochi, menjadikannya koloni Eropa pertama di India. Kochi berkembang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah, khususnya lada hitam, di bawah kendali Portugis. Mereka juga membawa pengaruh Kristen ke wilayah tersebut, mendirikan gereja seperti Santa Cruz Basilica dan St. Francis Church (di mana Vasco da Gama awalnya dimakamkan).

Pada 1663, Portugis kehilangan kendali atas Kochi ketika Belanda menyerang dan mengambil alih wilayah tersebut. Belanda memperkuat kota dengan membangun kembali benteng dan memperluas sistem kanal untuk meningkatkan transportasi. Mereka juga memugar gereja-gereja Portugis, mengubah beberapa menjadi tempat ibadah Protestan, seperti St. Francis Church. Fokus utama Belanda adalah mempertahankan perdagangan rempah-rempah, tetapi mereka tidak terlibat terlalu banyak dalam kehidupan sosial atau budaya masyarakat lokal.

Pada 1795 Inggris merebut Kochi dari Belanda selama Perang Revolusi Prancis, setelah itu Kochi menjadi bagian dari British Raj. Di bawah Inggris, Kochi tetap menjadi pelabuhan penting, tetapi mereka juga mulai membangun infrastruktur modern seperti jalan, kereta api, dan pelabuhan baru. Kochi menjadi kota yang lebih terhubung dengan dunia luar, memperkuat posisinya sebagai pusat perdagangan global. Inggris juga mengizinkan raja-raja lokal dari Kerajaan Kochi untuk tetap berkuasa sebagai penguasa nominal, meskipun kendali sebenarnya ada di tangan pemerintah kolonial.

Begitulah sejarah singkat tentang kedatangan dan peran Bangsa Eropa di Kochi. Jadi bisa terlihat jelas perbedaan antara kedatangan Bangsa Tiongkok dan Bangsa Eropa. Bangsa Tiongkok lebih berfokus pada perdagangan dan hubungan damai dengan wilayah setempat, sementara bangsa Eropa, seperti Portugis, Belanda, dan Inggris, memiliki ambisi kolonial. Pengaruh Tiongkok bersifat teknis dan praktis, seperti pengenalan teknologi Cheena Vala (jaring ikan Cina), yang masih digunakan hingga kini. Sementara itu, pengaruh Eropa mencakup perubahan besar dalam sistem politik, ekonomi, dan budaya Kochi.

***

Eksplore Pulau Kochi
Kapal yang membawa kami tour berjalan melewati pesisir utara lepas Pulau Willingdon. Tujuannya adalah Pelabuhan Pulau Kochi bagian timur, dimana kita akan diberikan waktu bebas selama beberapa jam untuk eksplore pulau secara mandiri. Di perjalanan ini sebenarnya ada sebuah keluarga India yang juga ikut dalam tour yang sama. Dari awal aku merasa mereka beberapa kali memperhatikan kami, seperti ingin mengajak ngobrol tapi masih malu-malu. Sesekali tatapan kami bertemu, lalu mereka cepat-cepat tersenyum tipis dan berpaling lagi.


Tidak terasa, kami sampai di Pulau Kochi bagian timur. Kami diberi pesan nahkoda kapal bahwa nanti untuk kepulangan bertemu lagi di titik ini jam 1 siang. Kami mulai masuk ke area yang dikenal dengan nama Jew Town—sebuah kawasan tua bersejarah di kota Kochi (Cochin), Kerala. Kawasan ini dulunya dihuni komunitas Yahudi yang datang dari Timur Tengah dan Eropa sejak abad ke-15. Sampai sekarang, walaupun jumlah mereka sudah sangat sedikit, jejak mereka masih kuat terasa.

Di kiri-kanan jalan, berjajar toko-toko kecil yang jual berbagai macam barang: dari sandal, kain sari, baju linen, sampai gantungan kunci dan dupa. Suasananya teduh, banyak pohon rindang, dan jalanan sempit yang tenang—nggak kayak pasar India pada umumnya yang biasanya penuh klakson dan keramaian. Disini suasananya jauh lebih tenang.

Pulau Kochi

Aku sempat berhenti di sebuah papan ungu besar yang kasih peringatan buat turis—supaya hati-hati sama agen yang ngajak belanja ke toko-toko tertentu. Ternyata di sini banyak ‘toko palsu’ yang ngaku sebagai toko pemerintah, padahal bukan. Kaget juga, tapi menarik. Artinya tempat ini saking turistiknya sampai ada yang manfaatin celah buat ngibulin turis. Wkwk.

Peringatan SCAM

Setelah jalan beberapa blok, aku nyasar ke dalam satu bangunan antik yang ternyata adalah Lulu International Heritage & Museum. Tempat ini bukan cuma toko oleh-oleh biasa, tapi juga memamerkan benda-benda seni dan sejarah India Selatan, khususnya dari Kerala. Di dalamnya adem dan bersih, dengan lantai tegel merah dan display yang ditata rapi. 

Begitu melangkah masuk, mataku langsung dimanjakan oleh deretan rak kaca berisi patung-patung perunggu, ukiran kayu dewa-dewi, miniatur alat musik tradisional, sampai aneka patung Ganesha dan Buddha dengan berbagai pose. Rasanya kayak tiba-tiba nyasar ke ruang tengah kuil Hindu dan Buddha sekaligus. Aku dan Fredo jalan pelan-pelan, bolak-balik saling nyeletuk, “Eh mas, lihat ini!,” “Wah, ini kayak yang di film India!”

Yang paling menarik perhatian tentu aja... cawan besar dari perunggu yang super gede! Ini bukan cawan minum ya, haha. Cawan ini disebut “Uruli”, dan dulunya digunakan untuk memasak dalam skala besar pada upacara kerajaan atau kuil di Kerala. Sekarang biasanya diisi air dan bunga lotus buat dekorasi. Cawan ini juga tercatat di Limca Book of Records karena ukurannya yang luar biasa. Bayangin aja, buat masak kari bisa buat satu RT. 😂

Cawan besar dari perunggu atau sering disebut 'URULI'

Masih di dalam museum, aku lihat banyak patung-patung kecil dari perunggu dan tembaga—ada yang berbentuk Dewa Ganesha, Shiva Nataraja, Dewi Saraswati, dan figur-figur musisi yang memainkan alat tradisional. Semuanya detail banget, dan menurutku jadi salah satu cara paling keren buat ngenalin seni tradisi India ke pengunjung.


Lalu... kami sampai di tengah ruangan, dan di sanalah benda ini berdiri megah.

Sebuah lampu minyak bertingkat raksasa, yang tingginya bisa jadi selevel manusia dewasa! Warnanya hitam legam, terbuat dari logam berat, dan setiap tingkatnya punya lekukan seperti piring lebar yang ditumpuk-tumpuk. Di bagian atasnya ada patung kecil berbentuk burung (kemungkinan burung Garuda atau merpati). 

Aku sempat nanya ke petugasnya, “What is this used for?”

Dia menjawab, “It’s a vilakku, a traditional oil lamp. Used during temple rituals. It can be fully lit during festivals.”

Aku dan Fredo langsung mengangguk-angguk gaya ngerti. Padahal dalam hati, “Wah keren juga ya, ini kalau dinyalain semua pasti kayak pohon natal versi India.”

Jadi ternyata ini namanya kuthuvilakku, sejenis lampu minyak besar yang biasa dipakai di kuil-kuil Hindu di India Selatan. Biasanya tiap tingkat diisi minyak dan sumbu, lalu dinyalakan satu per satu. Simbolis banget—melambangkan terang yang mengusir kegelapan, pengetahuan yang mengusir kebodohan. Aku jadi mikir... kalau hidup lagi gelap, mungkin yang kita butuh cuma "dinyalakan" dari dalam. Hehehe..

Selesai dari museum, kami lanjut lagi jalan ke destinasi paling bersejarah hari itu yaitu Sinagoga Paradesi. Ini adalah sinagoga Yahudi tertua di India, didirikan tahun 1568 oleh komunitas Yahudi Sephardic dari Eropa. Letaknya ada di ujung Jew Town, dan bangunannya masih kokoh dengan dominasi warna putih-biru.

Sebelum masuk, aku sempat foto dulu di depan pintunya yang klasik. Di bagian dalam, suasananya sunyi, tenang banget. Lantainya disusun dari ubin biru-putih bergaya China, dan di tengahnya ada Bimah, semacam mimbar berpagar emas tempat pembacaan kitab Taurat. Di langit-langitnya menggantung puluhan lampu gantung kaca antik dari Belgia. Rasanya kayak masuk ruang sakral yang udah berdiri selama ratusan tahun.

Bimah. Semacam mimbar berpagar emas tempat pembacaan kitab Taurat

Di sinilah aku merasa... betapa India itu bukan cuma tentang kuil Hindu dan masjid megah. Tapi juga tentang komunitas kecil yang hidup berdampingan, seperti Yahudi di Kochi ini, yang berhasil membawa tradisinya sejauh ribuan kilometer dari tanah leluhur mereka.

Setelah puas muter-muter di sekitaran Jew Town, aku dan Fredo lanjut jalan kaki menyusuri jalanan kecil menuju Dutch Palace. Tapi, sebelum sampai ke gerbangnya, kami sempat berhenti di salah satu kios yang langsung menarik perhatian. Bukan karena ada diskon atau suvenir lucu, tapi karena... tumpukan bubuk warna-warni yang disusun kerucut tinggi dalam mangkok-mangkok logam. Warna-warnanya ngejreng banget. Merah, kuning kunyit, hijau terang, ungu, biru elektrik, sampai pink fanta. Aku spotan menfotonya.

Aku nyeletuk, “Eh mas, ini bubuk apaan ya?”

Dia jawab, “Kayaknya ini bubuk yang dipakai waktu Holi Festival itu deh.”

Aku manggut-manggut sok ngerti. Tapi jujur ya, aku baru lihat yang sebanyak dan sekeren ini. Selama ini tahunya dari foto-foto di Instagram orang India pas festival warna itu, tapi kali ini aku lihat sendiri bubuknya sebelum dilempar-lempar ke orang. Hehe.

Setelah aku browsing, bubuk gulal ini memang umum dijual di tempat-tempat turis, karena selain dipakai buat perayaan Holi, banyak juga yang beli buat oleh-oleh atau dekorasi. Di sampingnya juga dijual dupa dan minyak aroma terapi, jadi aromanya campur antara harum dan menyengat. 

Penasaran sih sebenernya pengen beli dan coba, tapi mikir juga, “Ini kalo nyimpen di tas, ntar tas gue isinya pelangi semua.” Wkwkwk... Akhirnya cuma kami abadikan lewat kamera. Jepret, dan lanjut jalan lagi.

Tidak terlalu lama, kami sampai juga di sebuah bangunan tua berwarna kuning pudar dengan papan petunjuk besar bertuliskan: Archaeological Museum – Mattancherry Palace. Aku langsung celingak-celinguk dan nyeletuk ke Fredo, "Eh, tempat apaan ini ya." Fredo cuma nyengir sambil balas, “Masuk aja dulu, ntar juga tahu.”

Kami pun menaiki tangga batu yang mengarah ke pintu masuk museum. Dari luar, bangunannya tampak sederhana, kayak rumah tua zaman kolonial, tapi begitu masuk... wow, ternyata tempat ini dulunya adalah istana! Namanya Mattancherry Palace, tapi lebih sering disebut Dutch Palace (meskipun justru yang membangunnya itu Portugis pada tahun 1555). Katanya, istana ini dulunya dikasih ke Raja Kochi sebagai "hadiah penenang" karena Portugis sempat ngerusak kuil di sekitar situ. Hadiah yang cukup niat sih, bentuknya istana.

Setelah diambil alih oleh Belanda, istana ini direnovasi besar-besaran dan akhirnya disebut Dutch Palace. Tapi meskipun dibangun oleh orang Eropa, unsur arsitekturnya kental banget unsur lokalnya. Ada atap genteng merah, lorong-lorong kayu, dan mural-mural khas India yang penuh warna

Salah satu hal paling menarik di dalamnya adalah mural-mural epik yang menggambarkan kisah dari Ramayana, serta berbagai dewa seperti Krishna, Durga, dan Shiva. Gaya lukisannya beda dari yang biasa aku lihat di Indonesia, penuh detail dan ceritanya kuat banget. Ada satu ruangan khusus tempat dilangsungkannya upacara penobatan raja. Aku dan Fredo sempat berdiri lama di situ sambil ngebayangin. “Bayangin mas, dulu di sini ada raja duduk kayak maharaja, rakyatnya ngantri bawa persembahan.” Fredo pun nyeletuk, “Iya, trus kita yang sekarang malah ngantri buat foto doang.” Kami tertawa bareng, tapi ya memang itulah realitas traveler zaman now. Sayang di bagian dalamnya tidak boleh difoto.

Museum ini juga memajang berbagai artefak kerajaan Kochi, kayak kursi takhta, tandu istana, senjata, lukisan raja-raja, dan bahkan kostum upacara lengkap dengan payung kebesaran dan payet emas. Aku sempat terpaku di satu pojok ruangan yang memajang berbagai patung logam dewa-dewi Hindu. Ada juga etalase khusus yang menampilkan ukiran kayu rumit dan instrumen musik kuno. 

Oh iya, di area museum ini juga ada kuil Hindu, namanya Pazhayannoor Bhagavathy Temple. Tapi karena hanya boleh dimasuki oleh umat Hindu, aku cuma bisa melihat dari luar. Menarik juga karena dalam satu kompleks bisa ada istana, museum, dan tempat ibadah yang masih aktif sampai sekarang.

Selesai mengelilingi Dutch Palace, aku sadar waktu sudah mendekati jam 1 siang, yaitu batas untuk keliling Kochi bagian timur. Kami diminta kembali ke kapal untuk melanjutkan perjalanan, dan akan diturunkan di Kochi bagian barat. Di sana nantinya kami akan diturunkan, lalu diberi kesempatan lagi untuk eksplor secara mandiri. Aku dan Fredo pun mulai balik jalan kaki ke dermaga tempat boat menurunkan kami tadi pagi. Kami mengikuti jalan ke arah pelabuhan dengan sesekali masih mengambil foto untuk mengabadikan momen. Begitu sampai, ternyata rombongan lain ternyata juga sudah berkumpul.  Pas semua sudah duduk di boat, sembari menunggu nahkoda menjalankan kapal, sesuai perkiraanku, salah satu anggota keluarga India tersebut menanyai kami. 

"Are you from China, Japan, Korea, Taiwan?"

Aku dan Fredo saling lirik, lalu jawab, “Indonesia, of course.” Dari situ suasana langsung cair. Mereka ketawa, kami ketawa, lalu mulai ngobrol ngalor-ngidul. Mereka tanya, “Ngapain kalian ke sini? Mau ke mana aja setelah Kochi? Berapa lama di India?”

Kami pun cerita rencana perjalanan. Setelah dari Kochi mau lanjut ke Mumbai, Jaipur, Agra, Gorakhpur, lalu terus menyeberang ke Nepal. Mendengar itu, mereka kelihatan kagum, lalu berharap perjalanan kami lancar. Dengan ramah mereka juga berpesan supaya kami selalu hati-hati selama di India.

Kami akhirnya jadi cukup akrab. Mereka cerita kalau mereka juga lagi jalan-jalan ke Kochi, sekadar liburan keluarga. Aku merasa, bagian paling menyenangkan dari trip ini justru bukan cuma soal tempat-tempat bersejarah yang kami lihat, tapi momen-momen kecil kayak gini. Ketemu orang baru, ngobrol ringan, dan merasa disambut meski datang dari jauh. Obrolan ringan membuat perjalanan di kapal terasa cepat. Sampai akhirnya, kapal merapat di Pelabuhan Kochi bagian barat, titik akhir dari tour ini.

“Di sini kalian akan diturunkan ya, batas tournya sampai sini. Nanti untuk kembali ke tempat masing-masing kalian bisa naik transportasi umum atau taksi,” jelas nahkoda kapal.

Dari pelabuhan ini, kami bisa melanjutkan eksplorasi mandiri ke beberapa tempat ikonik di Kochi barat, seperti Chinese Fishing Nets yang jadi ikon kota, Santa Cruz Basilica dengan arsitektur Eropa yang megah, serta St. Francis Church yang dikenal sebagai salah satu gereja Eropa tertua di India. Tak jauh dari sana juga ada jalanan sempit penuh toko antik dan kafe kecil, yang sering disebut bagian dari kawasan wisata Fort Kochi.

Kami sempat basa-basi sebentar dengan keluarga India itu sebelum akhirnya berpisah jalan, karena masing-masing ingin mengeksplor sisi Kochi barat dengan cara sendiri. 

"Sampai jumpa ya, kalian berdua hati-hati," pesan mereka.

"Yes sir, kalian juga ya," aku dan Fredo menjawab serempak.

Sungguh keluarga yang baik hati.



Part Selanjutnya : DISINI

0 comments:

Posting Komentar