Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

9.02.2025

[9] CHINA TRIP DIARY : Sate Kalajengking dan Kepulangan ! (FINISHED)

 Trip ini merupakan rangkaian perjalanan ke China yang aku lakukan dari 23 Maret 2017 - 28 Maret 2017. Part selanjutnya dari setiap postingan akan aku link di bagian paling bawah setiap cerita.

Part Sebelumnya : DISINI 

Sate kalajengking di Wangfujing Night Market.. Kalajengkingnya masih hidup pas posisi ditusuk itu, kasian....

Setelah perjalanan panjang di Summer Palace, butuh waktu sekitar satu jam bagiku untuk akhirnya kembali ke penginapan Happy Dragon Hostel. Aku sempat mampir sebentar di kedai kecil dekat stasiun metro buat makan siang—bukan karena lapar banget, tapi lebih karena butuh tenaga tambahan biar bisa sampai hostel tanpa ambruk di jalan, wkwk.

Begitu sampai, resepsionis dengan ramah bilang kalau kasurku sudah siap. Dorm, kasur bawah. Syukurlah! Aku langsung merasa lega karena nggak perlu repot-repot naik ke atas ranjang bunk bed. Rasanya itu sudah jadi kemewahan tersendiri buat kaki yang seharian dipaksa jalan tanpa kompromi.

Dan ya, tanpa pikir panjang: sepatu kulepas, jaket kulepas, aku langsung meringkuk di balik selimut. "Wuaaah, nyamannya," batinku sambil mengurut-urut betis dan telapak kaki yang rasanya pedas terbakar sisa langkah. Nikmat banget rasanya bisa rebahan setelah seharian penuh eksplorasi.

Aku punya waktu sekitar tiga jam untuk tiduran, recharge energi sebelum petualangan berikutnya. "Nanti jam tujuh malam baru aku jalan ke Wangfujing… sekarang, tidur dulu," gumamku dalam hati. Ah, momen-momen kecil seperti ini justru yang bikin traveling terasa sempurna—perpaduan antara lelah, puas, dan bahagia.

Zzzz...zzzz ...

***

Aku terbangun dari tidur-tidur ayam setelah sekitar tiga setengah jam. Rasanya tubuh dapat sedikit tenaga, tapi tetap nggak bisa benar-benar terlelap. Udara dingin menembus selimut tebal yang sudah disediakan di kasur dorm—dan aku baru benar-benar paham betapa repotnya hidup di negara empat musim, terutama saat musim dingin. Dinginnya itu beda, menusuk sampai tulang. Hadeuhhh.

Dengan malas aku menyeret kaki ke kamar mandi. Air panas terakhir sebelum kembali ke bandara, pikirku. Tapi tentu aku sudah merencanakan satu pemberhentian lagi: Wangfujing Night Market. Katanya, pasar malam ini terkenal dengan deretan sate-sate unik—mulai dari kalajengking, kelabang, sampai kepompong. Aku nggak tahu apakah aku bakal berani makan atau tidak, tapi minimal aku pengen lihat langsung.

Setelah selesai mandi, packing akhir beres, aku check-out. Langkahku menembus gelapnya gang depan penginapan. Siang tadi, gang ini terasa syahdu, biasa saja. Tapi sekarang? Astaga, atmosfernya berubah total. Gelap, sepi, dan agak bikin merinding. “Duh, perasaan tadi siang enak banget, kok sekarang serem ya,” aku membatin.

Meski begitu, aku tetap percaya diri. Ini sudah kali kedua aku melewati area ini, jadi aku cukup yakin dengan arahku. Dalam pikiranku, kalau jalan lurus dan belok sedikit, aku bakal langsung tembus ke jalan raya besar lalu bertemu stasiun metro. Tapi semakin aku melangkah, kok nggak ketemu-ketemu ya jalan raya itu? Yang ada justru gang lagi, gang lagi. Dan gelapnya makin terasa menusuk—seolah menelan keberanian kecilku perlahan.

Aku berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, lalu berpikir logis. “Hmm, ini bukan jalannya. Sepertinya aku salah,” gumamku dalam hati, mencoba merunut kembali arah keluar siang tadi. Beberapa detik kemudian aku berhenti, menepuk jidat sambil mendesis pelan, “Astagaaaa, aku salah belok!”

Baru sadar, sejak keluar penginapan tadi aku malah belok ke kanan, padahal seharusnya ke kiri. Pantesan nggak ketemu-ketemu jalan raya, malah makin mblusuk masuk ke gang-gang sempit dan gelap. Wkwk, yaudah lah ya, pengalaman juga.

Aku tetap berusaha tenang. Meski jalanan gelap dan sesekali bayangan pepohonan bikin suasana makin mencekam, aku melangkah mantap sambil sesekali melirik sekitar. Akhirnya, setelah muter-muter sedikit, aku menemukan jalan yang benar. Begitu melihat cahaya lampu jalan yang lebih terang dan mobil lalu-lalang dari kejauhan, rasanya seperti lega banget. “Yesss, ini dia jalan raya!”

Langkahku jadi lebih ringan, meski tetap dengan sedikit kewaspadaan. Soalnya walaupun ini sudah jalan raya, tetap saja suasananya lumayan sepi karena malam. Tapi setidaknya sekarang aku sudah yakin arahku benar menuju stasiun metro.

Hatiku langsung plong ketika akhirnya sampai di stasiun metro. Begitu keluar dari stasiun metro dan masuk ke area Wangfujing Night Market, aku langsung disambut dengan lautan manusia dan deretan stan makanan yang super heboh. Lampu neon berwarna-warni menerangi jalan, aroma masakan bercampur jadi satu, dan pedagang berteriak-teriak menawarkan dagangan mereka. Rasanya chaotic tapi seru banget.

Makanannya? Benar-benar aneh sekaligus menarik. Ada mie dingin dengan topping daun bawang segar yang ditumpuk tinggi seperti gunung kecil. Ada sate aneka daging dan seafood—dari cumi panggang, sate udang, sampai ceker ayam yang dibumbui merah pedas. Lalu ada yang ekstrem: sate kalajengking, kelabang, kepompong, ulat sutra, sampai kuda laut yang ditusuk rapi menunggu digoreng. Rasanya antara ngeri dan penasaran.


Tapi bukan cuma makanan ekstrem saja. Ada juga yang lebih “aman” dan manis-manis, seperti churros dengan es krim warna-warni, buah kering dilapisi gula (tánghúlu) yang berkilau seperti permen kaca, hingga dumpling goreng yang menggoda. Cumi besar isi nasi dan bumbu juga jadi salah satu menu andalan yang dipajang rapi dengan tampilan menggugah selera.


Melihat semua itu, aku cuma bisa geleng-geleng sambil takjub. Coba bayangin gimana rasanya makan kelabang yang panjang itu coba wkwkwk..Gimanapun aku terus menikmati suasanany yang ramai banget, wisatawan berebut foto, ada yang nekat coba makanan ekstrem sambil histeris, ada juga yang ketawa-tawa geli sambil jalan. Rasanya benar-benar khas pasar malam Asia. Penuh warna, penuh suara, dan penuh rasa penasaran.

Beberapa saat kemudian aku mulai merasa lapar juga, dan timbul keinginan untuk membeli sesuatu. Tapi bingungnya minta ampun… dengan segala hal aneh yang dijual di Wangfujing ini—sate kalajengking, kelabang, sampai kepompong—aku pengen cari makanan “normal” ajaaaaa! Wkwkwk..

Aku keliling sebentar, memperhatikan satu per satu stan. Ada beberapa kandidat yang menarik: sate cumi yang kelihatan kenyal, udang yang dibungkus telur lalu digoreng, tumis cumi dengan daun bawang yang aromanya bikin perut bergejolak, serta satu jenis sate berwarna cokelat yang menurut interpretasiku itu daging sapi.

Setelah menimbang-nimbang dengan penuh pertimbangan (dan agak deg-degan takut salah beli), akhirnya aku memutuskan pilih yang paling aman: sate daging cokelat itu. Aku beli beberapa tusuk, lalu si penjual dengan cekatan melumuri semuanya dengan saus kecokelatan yang tampak kental.

Awalnya aku makan tanpa mikir panjang. Tapi baru beberapa gigitan, tiba-tiba muncul pikiran usil di kepalaku: “Eh… ini saus apa ya? Jangan-jangan saus kalajengking?” Wkwkwk. Sejak detik itu, aku langsung kehilangan selera makan. Tusukan yang tadi terlihat menggoda jadi terasa meragukan. Ya sudahlah, daripada overthinking, aku simpan sisanya dan lebih memilih menikmati suasana pasar malam yang riuh dengan tawa dan teriakan para wisatawan lain.

Aku sempat duduk di salah satu sudut pasar malam itu, bergabung dengan beberapa orang lain yang juga tampak sedang istirahat sejenak. Dari tempat duduk sederhana itu, aku menikmati momen-momen akhir di Beijing. Mataku sibuk merekam suasana: orang-orang lalu-lalang dengan tangan penuh jajanan, suara pedagang yang tak henti-henti menawarkan dagangan, tawa para wisatawan yang saling bercanda setelah nekat mencoba makanan aneh—semuanya hidup, ramai, dan penuh warna.

Aku biarkan diriku hanyut dalam atmosfer itu. Rasanya seperti menyerap energi terakhir sebelum harus benar-benar meninggalkan kota ini. Setelah beberapa saat, ketika kurasa cukup, aku mengangkat badan, menepuk-nepuk celana, lalu melangkahkan kaki kembali menuju stasiun metro.

Kali ini aku memilih rute yang sama seperti kemarin: naik metro, lalu transit ke Airport Express. Setiap hentakan roda kereta di rel seakan menandai babak penutup dari petualangan yang sangat memorable ini. Hatiku hangat—antara puas karena sudah bisa melihat dan merasakan sendiri pesona Beijing, sekaligus berat karena harus mengucapkan selamat tinggal.

Terima kasih, Beijing. Terima kasih, China. Perjalanan ini akan selalu menempel di ingatanku sebagai salah satu kenangan paling berkesan dalam hidupku.

***

Bandara Internasional Beijing

27 Maret 2017

Malam ini.... Di tengah dinginnya Kota Beijing (9 derajat celsius), aku terduduk merenung di sebuah kursi restoran fast food legendaris (KFC) di Beijing Airport. Tuntas sudah perjalananku ke Beijing kali ini. Hanya 3 hari. Cepat memang, tapi tak terlupakan. 

Semangkup sup panas meluncur mulus ke kerongkonganku. Sedikit mengurangi rasa dingin yang menyengat. Aku mulai menulis, menulis semua yang kualami selama disini, menulis setiap detail, pengalaman lucu, pengalaman menyebalkan, pengalaman yang membuatku marah, kecewa, semuanya kutulis. Hanya satu yang tidak kutulis: pengeluaran. Aku tidak pernah suka menulis pengeluaran. Kenapa? Simpel, aku tidak mau berpikir kalau ternyata pengeluaran banyak. Bagiku, sebuah perjalanan adalah sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan uang.

Pesawatku masih berangkat 05.40 besok pagi, alias aku akan bermalam "ngemper" di airport. Setiap akan pulang, aku selalu teringat sewaktu mendarat pertama disini. Bagaimana menggiggilnya (biasanya di surabaya 32 derajat celsius) tiba2 menjadi 1 derajat celsius, bagaimana gak ngerti dan bingungnya dengan semua hal di depanku, tulisan kanji dimana-mana, orang-orang yang tidak bisa berbahasa inggris, orang-orang yang selalu tergesa-gesa kemana-mana (entah kenapa orang2 di Beijing kok kesannya selalu tergesa2 spt dikejar sesuatu), bus-bus dengan berbagai nomor yang entah pergi kemana. Aku pusing, pusing dan pusing. Setiap aku merasa depresi, aku menenangkan diri. Aku berbisik, ' hey ini adalah apa yang kamu inginkan, jangan menyerah'. Ternyata itu semua sudah kulalui. Huruf kanji, aku mengalahkanmu! Hehe.

Aku sempat harus membatalkan perjalanan ke kota Zhengzhou dan Jiaozuo (berjarak 7-8 jam perjalanan dari Beijing). Kuakui aku terlalu ambisius. Dengan waktu hanya 3 hari, rencanaku adalah Beijing - Zhengzhou - Jiaozuo - Beijing. Hari pertama keliling Beijing, malamnya langsung naik kereta ke Zhengzhou, dari Zhengzhou langsung ke Jiaozuo, malamnya balik naik kereta ke Beijing. Hari ketiga keliling Beijing lagi. Itu seperti kamu hanya punya waktu 3 hari di Indonesia dan rutemu adalah Jakarta - Jogja - Jakarta. Ambisius. Ternyata kondisi tubuhku yang hampir 2 hari tidak tidur menolak. Aku memutuskan membatalkan perjalanan dan menghabiskan waktu 3 hari di Beijing.

Kakiku rasanya luar biasa lelah sekarang. Sudah jalan berkilo-kilo meter mungkin. Ah, aku sudah kangen dengan keramahan negaraku hehehe.

***

Bandara Internasional Kuala Lumpur

28 Maret 2017

Setelah menempuh enam jam penerbangan dari Beijing, aku akhirnya mendarat di Kuala Lumpur, tepatnya di KLIA2, sekitar pukul 12 siang. Kontras sekali rasanya: tubuhku yang tadi membeku oleh dinginnya Beijing langsung kegerahan. Dengan buru-buru aku melepas jaket, rasanya lega sekali bisa kembali merasakan hawa Asia Tenggara.

Aku mencari tempat makan siang. Akhirnya bisa menikmati masakan yang lebih akrab dengan lidahku. Tidak ada agenda berat hari ini, hanya menghabiskan sisa waktu transit dengan makan, ngemil, dan leyeh-leyeh di bandara. Malam harinya aku sudah bersiap untuk penerbangan terakhir menuju Surabaya.

Proses imigrasi dan pemeriksaan barang berjalan lancar. Tak lama kemudian boarding dimulai. Penerbangan dari KL ke Surabaya cukup mulus, meski sempat diuji dengan turbulensi parah saat mendekati pendaratan. Ada momen ketika pesawat terasa seperti anjlok beberapa meter, membuat jantungku hampir copot. Tapi syukurlah, tak lama kemudian lampu-lampu kota Surabaya mulai terlihat dari jendela, dan pesawat pun mendarat mulus di Bandara Juanda.

Aku melanjutkan perjalanan dengan bus dan ojek, hingga akhirnya tiba kembali di kos. Perjalanan selesai, dan esok aku kembali pada rutinitas kerja seperti biasa. Namun, sejuta kenangan dari Beijing akan selalu tersimpan di hatiku: dinginnya udara musim semi, hiruk pikuk pasar malam, keindahan istana, hingga rasa lelah yang membuat tidur jadi begitu berharga. Tapi satu yang pasti, perjalanan ini membuatku makin yakin bahwa dunia terlalu luas untuk hanya didiami di satu tempat....

Next journey? SOON! Beberapa bulan lagi, dimana kali ini aku akan solo backpacking ke tempat paling jauhku yaitu EROPA.


--.FINISHED --

0 comments:

Posting Komentar