Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

9.01.2025

[8] CHINA TRIP DIARY : Summer Palace!

Trip ini merupakan rangkaian perjalanan ke China yang aku lakukan dari 23 Maret 2017 - 28 Maret 2017. Part selanjutnya dari setiap postingan akan aku link di bagian paling bawah setiap cerita.

Part Sebelumnya : DISINI

Berpose di Summer Palace.. tempat ini indah sekali..

Meskipun semalam aku sempat mendapat pengalaman yang agak aneh—yang kuharap hanya kebetulan dan salah lihat aja—pagi ini aku bangun dengan cukup segar karena semalam meskipun sedikit ketakutan, aku bisa tidur dengan nyenyak. Mungkin karena kakiku terlalu lelah hehe.. Pagi ini lagi-lagi udara dingin yang masuk melalui celah-celah ventilasi membuatku malas bergerak, malah merapatkan selimut lebih rapat.  Aku merenung sebentar, betapa cepatnya perjalanan ini berlalu. Besok aku udah harus terbang ke Kuala Lumpur, kemudian kembali ke Surabaya. Ada rasa puas karena hampir semua tempat utama yang kucatat di itinerary sudah berhasil kukunjungi (setidaknya sampai hari ini), tapi di sisi lain juga ada rasa sayang, kenapa waktunya terasa secepat itu. Perasaan baru kemarin lusa sampai, besok udah balik aja..

Sambil masih rebahan, pikiranku melayang ke banyak hal. Sebelum kesini, aku sempat mengkhawatirkan banyak hal, terutama karena ini solo traveling pertamaku ke tempat yang jauh (sebelumnya hanya di Asia Tenggara aja). Aku khawatir tentang bahasa, internet, keramahan orang, sampai soal toilet di Beijing. Ternyata setelah dijalani, aku bisa melalui semuanya dengan baik-baik aja. Justru di situ letak serunya, aku merasa jadi lebih berani menghadapi ketidakpastian. Itu membuatku tidak mudah menyerah..

Sesuai list tempat yang ingin kukunjungi di Beijing (yang kubuat sebelum berangkat), masih ada beberapa tempat yang rencana akan kukunjungi hari ini yaitu Summer Palace, Temple of Heaven, Lama Temple dan Wangfujing Night Market. Well masih 4 lokasi dengan kondisi kaki yang masih sedikit nyut-nyutan karena dipakai banyak jalan 2 hari terakhir. Sanggupkah diriku? Wkwkwk..

Setelah puas bermalas-malasan dan meringkuk di balik selimut, aku paksakan diri untuk bangun dan segera mandi. Kalau ingin mengunjungi keempat tempat tersebut, aku memang harus mulai lebih awal. 

'Ke Summer Palace dulu lah tujuan pertama. Kayaknya ini salah satu ikon utama di Beijing setelah Great Wall dan Forbidden City,' kataku dalam hati sambil menikmati mandi air panas. Tidak lupa juga selain mandi, sebelum keluar kamar selalu kupastikan aku udah BAK dan BAB di hotel. Karena well you know lah selentingan kondisi toilet umum di China, ditambah ceboknya pakai tisue, nggak ada bidet. Aku yang nggak biasa dengan itu jujur masih merasa jijik, terutama untuk BAB.

Selesai mandi aku lanjutkan packing semua barangku karena akan langsung check out. Penerbanganku Beijing - Kuala Lumpur adalah besok pagi jam 05.40, jadi untuk sore-malam ini aku udah booking penginapan lain lagi yang lebih murah dan lebih di pusat kota, namanya Happy Dragon Courtyard Hostel Dongsishitiao. Rencana Hostel Happy Dragon ini hanya akan kugunakan untuk ngedrop tas ransel besar (kutitipin sampe nanti sore check in), mandi, leyeh-leyeh, sebelum malamnya aku lanjut naik metro ke bandara. Jadi aku rencana akan tidur di bandara dan tidak disini karena nggak mau pusing mikirin transport buat pagi-pagi butanya.

***

Selesai check out, aku melangkahkan kaki keluar Hotel King Joy dengan perasaan ringan. Dua hari terakhir bangunan ini sudah jadi rumah sementarakubangunan hotel, lalu dalam hati berbisik “terima kasih ya, sudah menemaniku selama dua malam di Beijing.”

Perjalananku belum selesai. Berbekal Google Maps, aku menuju Happy Dragon Hostel. Naik metro sebentar, lalu jalan kaki beberapa menit melewati gang-gang kota Beijing. Tak sulit menemukannya. Begitu masuk, aku disambut resepsionis perempuan muda yang ramah dan sopan. Aku bilang kalau aku hanya ingin menitipkan tasku dulu, karena baru akan check-in sore nanti sepulang jalan-jalan. Dia mengangguk, tersenyum, dan dengan cekatan membawa tasku ke sebuah ruangan penyimpanan.

Rasanya lega sekali. Badan jadi lebih ringan tanpa harus menenteng barang bawaan. Aku segera naik metro lagi untuk ke Summer Palace. Perjalanan dengan metro membutuhkan waktu 45 menit, dan begitu turun aku sudah disambut oleh Gerbang Timur Summer Palace (Summer Palace East Gate), yang merupakan gerbang masuk utama untuk turis.

'Here we go again, saatnya nyiksa kaki lagi. Kayaknya bakal luas banget tempat ini,' kataku dalam hati sambil meringis wkwk..

Begitu berjalan mendekati loket, aku sadar belum sarapan. Padahal kalau langsung masuk dan keliling Summer Palace pasti butuh banyak tenaga. Pas banget di sebelahku ada minimarket kecil. 'Dingin-dingin gini enaknya makan mie rebus. Mungkin kalau beli mie rebus di sini harganya masih normal, nggak semahal kalau udah di dalam area wisata.'

Aku pun masuk, memilih satu cup mie instan, lalu minta air panas ke kasir. Harganya cuma 5 yuan. Dengan mie panas mengepul di tanganku, aku menuju loket, membeli tiket masuk seharga 30 RMB (sekitar Rp60 ribu saat itu). Untungnya pagi itu antrian loket tiket dan antrian masuk tidak terlalu ramai. Begitu masuk, aku langsung mencari sudut yang agak tenang. Duduk, membuka tutup cup, dan aroma kuah kaldu panas langsung naik ke hidungku. Aku menyeruput perlahan, dan sensasi hangatnya mengalir sampai ke kerongkongan. Enaknya....

***

Sedikit cerita, Summer Palace sendiri adalah taman kekaisaran terbesar dan terindah yang masih tersisa di Tiongkok. Dibangun pertama kali pada tahun 1750 oleh Kaisar Qianlong dari Dinasti Qing, sebagai tempat peristirahatan musim panas sekaligus hadiah untuk ibunya. Namun, kompleks ini sempat hancur parah ketika pasukan gabungan Inggris-Perancis menyerang Beijing pada tahun 1860Kemudian, di era Kaisar Guangxu, istana ini dibangun kembali pada akhir abad ke-19, terutama atas perintah Permaisuri Cixi yang menjadikannya tempat tinggal favoritnya. Jadi, Summer Palace bukan sekadar taman hiburan, tapi juga simbol kekuasaan dan tempat istirahat keluarga kekaisaran dari hiruk-pikuk politik di Forbidden City.

Kompleksnya sangat luas, terdiri dari tiga elemen utama yaitu Danau Kunming, yang luasnya menempati hampir tiga perempat area; Longevity Hill, bukit buatan setinggi sekitar 60 meter dengan kuil, paviliun, dan aula berlapis ke atas; serta Istana, taman, dan jembatan-jembatan indah yang tersebar mengelilingi danau. Semua dirancang dengan filosofi taman klasik Tiongkok yaitu memadukan air, tanah, bangunan, pepohonan, dan batu, sehingga menciptakan suasana seimbang antara manusia dan alam.

Peta Summer Palace
Sumber : Disini

Begitu melewati East Palace Gate, aku langsung disambut suasana istana yang megah. Dari depan sudah tampak bangunan besar dengan pilar-pilar merah menjulang, itulah Hall of Benevolence and Longevity, aula utama tempat kaisar Qing dulu menerima tamu penting dan pejabat. Aku membayangkan ruangan itu pasti pernah jadi pusat kekuasaan di musim panas, padahal sekarang hanya dipenuhi wisatawan yang lalu-lalang dengan kamera.

Aku melangkah lebih jauh, melewati taman berbatu dengan pepohonan kecil yang baru saja mulai bersemi. Susunannya rapi tapi tetap alami, tipikal taman klasik Cina yang memadukan batu, air, dan vegetasi. Aku sempat berhenti sejenak, menghirup udara dingin bercampur wangi dedaunan segar.

Jalan setapak kemudian menurun, rindang oleh pepohonan pinus dan willow. Dari balik dahan, samar-samar mulai terlihat kilau air Danau Kunming. Suasana semakin ramai, orang-orang berkerumun, banyak yang sibuk selfie, sebagian lagi berjalan pelan menikmati bayangan pepohonan yang jatuh di atas jalan batu. Aku ikut larut dalam keramaian itu, merasa seakan-akan ditarik menuju danau.

Begitu melangkah lebih dalam, aku tiba di depan Wenchang Tower, menara besar yang berdiri megah di tepi danau. Di depannya terbentang sebuah jembatan merah yang anggun, menambah kesan klasik khas arsitektur Tiongkok. Aku berhenti sejenak, menatap pantulan menara, jembatan, dan pepohonan willow di permukaan air yang tenang. Wenchang Tower (文昌阁) adalah salah satu bangunan gerbang besar di kompleks Summer Palace, Beijing. Menara ini pertama kali dibangun pada tahun 1750 di masa Kaisar Qianlong dari Dinasti Qing.

Fungsinya bukan hanya sebagai gerbang pertahanan, tetapi juga tempat pemujaan Dewa Wenchang, yaitu dewa literatur dan pendidikan dalam tradisi Tiongkok. Di dalamnya dulu ada patung perunggu Wenchang bersama pengiringnya yaitu “celestial boy” (anak surgawi) dan seekor kuda perunggu. Karena itu, Wenchang Tower dianggap simbol dukungan kaum cendekia dan sarjana bagi kekaisaran.

Menara ini pernah dibakar pada tahun 1860 oleh pasukan gabungan Inggris-Prancis saat Perang Candu Kedua, lalu dibangun kembali pada masa Kaisar Guangxu. Bangunannya bertingkat dua, berbentuk paviliun megah yang menghadap Danau Kunming.

Dari titik itu, mataku langsung disuguhi pemandangan yang mungkin paling ikonik dari Summer Palace yaitu Longevity Hill dengan bangunan bertingkat, Hall of Buddhist Incense, yang berdiri gagah di puncaknya. Bangunan berlapis-lapis itu tampak agung, seolah mengawasi seluruh kompleks taman. Aku terpaku cukup lama di sini, merasa kecil di hadapan sejarah dan keindahan yang masih lestari.

Longevity Hill dengan bangunan Hall of Buddhist Incense. Sangat indah..

Langkahku kemudian membawaku ke sebuah paviliun kecil diapit pepohonan willow yang daunnya menjuntai lembut tertiup angin. Ada wisatawan yang duduk santai di bangku sekitar, sebagian lain sibuk berfoto, tapi aku memilih untuk berjalan perlahan, menikmati suasana yang syahdu. Dari sini aku menyeberangi jembatan batu bercat merah menuju Zhichun Ting, atau Heralding Spring Pavilion. Dibangun di sebuah pulau kecil di depan Hall of Jade Ripples, di tepi timur Danau Kunming. Bagian belakang paviliun menempel ke bukit di utara, sedangkan bagian selatannya menghadap matahari, sehingga tempat ini lebih dulu merasakan hangatnya musim semi — karena itulah dinamakan Paviliun Menyambut Musim Semi. Dari sini, pengunjung bisa menikmati pemandangan terbaik Bukit Panjang Umur (Longevity Hill) dan Danau Kunming, serta panorama indah dari Jade Spring Hills dan Western Hills.



Aku benar-benar berjalan dengan santai, tidak terburu-buru. Setiap sudut terasa indah, penuh detail, dan bikin aku pengen berhenti lebih lama. Udara dingin dan segar khas Beijing awal musim semi membuat pengalaman ini terasa begitu sempurna. Di tepi danau, aku melihat perahu-perahu kecil bergerak perlahan, membawa wisatawan menikmati panorama dari atas air. Semuanya tampak damai, harmonis, dan menenangkan.


Di sela-sela langkah, aku sadar bahwa besok aku sudah harus pulang. Perjalanan yang terasa begitu cepat ini mendadak membuatku ingin merekam setiap pemandangan indah sebanyak mungkin, bukan hanya lewat kamera, tapi juga di otakku. Aku ingin benar-benar mengingat sensasi udara dingin ini, bayangan pepohonan willow di air, suara riang wisatawan yang bercampur dengan ketenangan danau. Semua detail kecil itu ingin kusimpan, supaya suatu saat nanti, ketika aku rindu, aku bisa memejamkan mata dan kembali ke momen ini.

Aku kembali berjalan mengelilingi paviliun, mencari sudut-sudut indah untuk kuamati dan kufoto. Tiang-tiang merahnya yang gagah, ukiran penuh detail, dan atap berlapis khas arsitektur Tiongkok seakan mengundang siapa pun untuk duduk sebentar. Dan benar, aku akhirnya memilih duduk, membiarkan angin musim semi yang sejuk menyapa wajahku, sambil menatap air danau yang tenang berkilau diterpa matahari.




Di momen itu, aku sempat berpikir dalam. Ini adalah pengalaman solo traveling keduaku. Meskipun sangat sangat melelahkan, anehnya aku justru semakin jatuh cinta pada kegiatan ini. Ada rasa candu, seakan aku nggak sanggup berhenti. Setiap perjalanan solo selalu menghadirkan ruang untuk mengenal diri sendiri lebih dalam. Pikiranku langsung melayang jauh. Aku ingin melanjutkan eksplorasi, nggak hanya di Tiongkok, tapi juga lanjut ke India, Nepal, ke padang luas Asia Tengah, menembus alam liar Mongolia, hingga menyentuh sejarah agung Mesir.

Aku sadar, mimpi ini besar. Tapi suatu saat, aku ingin sekali berani mengambil langkah ini : resign dari pekerjaanku sekarang dan memulai wirausaha sendiri. Supaya aku bisa bekerja sambil tetap traveling, menggabungkan dua hal yang paling kusukai yaitu kebebasan dan perjalanan. Rasanya dunia begitu luas, dan aku nggak mau lagi hanya sekadar melihatnya lewat buku atau layar kaca. Aku ingin benar-benar hadir di dalamnya. Aku benar-benar tidak mau hidupku hanya kuhabiskan dengan bekerja. Aku ingin membuat cerita sebanyak mungkin yang bisa kutulis disini.

Aku kembali melanjutkan perjalanan menyusuri Long Corridor, lorong panjang yang dipenuhi orang-orang berjalan santai sambil menikmati pemandangan. Lorong ini memang ikonik, dengan dinding berornamen lukisan warna-warni yang seolah menceritakan kisah masa lalu. Suasananya ramai, tapi tetap nyaman untuk dinikmati. Begitu keluar dari lorong, aku sampai di sebuah halaman luas. Ada batu-batu besar yang bentuknya unik, dikelilingi pepohonan berbunga putih. Orang-orang berhenti untuk berfoto, sementara aku hanya berdiri sejenak, mengamati kontras antara bunga yang bermekaran, bebatuan, dan arsitektur kuno yang jadi latar belakangnya.

Perjalananku berlanjut melewati taman teduh dengan banyak pepohonan tinggi menjulang di kanan kirinya. Aku menemukan jembatan batu kecil melengkung di atas sungai yang tenang, bayangannya tercermin indah di air. Tempat ini seolah menyuguhkan ketenangan di tengah hiruk-pikuk wisatawan. Aku berhenti sejenak, mengabadikan momen, lalu lanjut lagi menapaki jalur setapak yang mulai menanjak.



Langkahku terasa makin berat ketika jalan setapak berubah menjadi tangga berbatu yang menanjak. Aku beberapa kali berhenti, sekadar mengatur napas dan mengistirahatkan kaki. Tapi setiap kali menoleh ke belakang, pemandangan semakin indah, membuat rasa lelah itu terbayar lunas. Aku sendiri yakin ini adalah jalan menuju puncak Longevity Hill, tepatnya untuk menuju Hall of Buddhist Incense (Foxiang Ge).

Perkiraanku benar, melanjutkan mendaki terus ke atas, akhirnya aku sampai di puncak area yang dituju yaitu Hall of Buddhist Incense (Foxiang Ge), bangunan ikonik bertingkat di Longevity Hill. Dari bawah, bangunan ini sudah tampak megah dengan detail ukiran dan tiang-tiang merahnya. Tapi ketika aku berdiri lebih dekat, kemegahannya terasa berkali lipat. 

Sedikit penjelasan, Hall of Buddhist Incense adalah bangunan paling ikonik di Summer Palace (Yiheyuan), Beijing. Inilah menara besar bertingkat yang berdiri megah di atas Longevity Hill (Wanshou Shan), setinggi sekitar 41 meter dengan empat lantai. Dari kejauhan, bangunan ini langsung mencuri perhatian karena ukurannya yang monumental dan letaknya yang menjulang di bukit. Bangunan ini dulunya dipakai sebagai tempat ibadah utama bagi keluarga kekaisaran, khususnya untuk memuja Guanyin (Avalokitesvara Bodhisattva), dewi welas asih dalam ajaran Buddha. Di dalam hall memang ada patung Guanyin berukuran besar, salah satu pusat spiritual Summer Palace. Selain itu, Foxiang Ge juga berfungsi sebagai tempat meditasi dan upacara keagamaan yang melibatkan kaisar dan keluarga istana.

Sejarahnya menarik. Pada masa Dinasti Ming, bukit ini sebenarnya sudah digunakan untuk aktivitas religius, meski belum ada bangunan besar yang berdiri di sini. Baru pada masa Dinasti Qing, sekitar tahun 1750-an, Kaisar Qianlong memerintahkan pembangunan paviliun megah ini sebagai bagian dari perluasan Summer Palace. Fungsinya bukan hanya untuk menyimpan patung Buddha, tapi juga sebagai simbol kemakmuran dinasti.

Namun perjalanan waktu tidak selalu ramah. Foxiang Ge sempat hancur dua kali.  Pertama pada tahun 1860 saat Perang Candu II, ketika tentara sekutu Inggris-Perancis menyerbu Beijing. Lalu hancur lagi pada tahun 1900 akibat invasi pasukan aliansi Delapan Negara. Bangunan ini kemudian dipulihkan besar-besaran oleh Kaisar Guangxu dan Permaisuri Cixi, hingga bentuknya yang megah seperti sekarang bisa kita saksikan.

Kenapa bangunan ini ditaruh di puncak bukit? Ada banyak alasan. Secara spiritual, tempat tinggi dipercaya mendekatkan manusia dengan semesta dan para dewa. Dari sisi feng shui, Longevity Hill dianggap punya energi (qi) yang baik untuk mendirikan bangunan suci. Selain itu, lokasinya yang tinggi membuat Foxiang Ge terlihat dari jauh, menjadi landmark utama Summer Palace dan simbol kekuasaan kekaisaran. Dan tentu saja, dari sini terbentang panorama yang luar biasa yaitu Danau Kunming berkilau di bawahnya, sementara di kejauhan tersusun pegunungan sebagai latar. Kombinasi bukit dan air ini sangat pas dengan filosofi keseimbangan Yin-Yang.

Guanyin Seribu Tangan (千手观音, Qianshou Guanyin), atau dalam bahasa Sanskerta dikenal sebagai Avalokitesvara Bodhisattva.Ciri khasnya jelas: sosok bertangan banyak, melambangkan welas asih tanpa batas yang sanggup menjangkau dan menolong semua makhluk di segala penjuru. Setiap tangan biasanya digambarkan membawa mata atau atribut tertentu, simbol kemampuan melihat penderitaan dunia sekaligus memberikan pertolongan.

Berdiri di sini, aku bisa merasakan bahwa mendaki tangga demi tangga bukan hanya soal fisik, tapi juga semacam perjalanan batin kecil. Ada rasa lelah yang langsung sirna begitu melihat pemandangan luas terbuka di depan mata. Seolah-olah aku sedang ikut mengalami apa yang dulu dirancang oleh para kaisar yaitu sebuah tempat yang bukan hanya indah, tapi juga penuh makna spiritual dan simbol kekuasaan.

Aku duduk cukup lama di Hall of Buddhist Incense (Foxiang Ge). Dari tempat ini, aku tidak hanya menikmati panorama Danau Kunming yang berkilau, tapi juga memperhatikan setiap detail di sekitarku. Ukiran-ukiran pada tiang dan dinding benar-benar menawan, penuh warna merah, hijau, emas, dan biru yang meski sudah berusia ratusan tahun masih terlihat megah. Setiap garis dan motif seolah bercerita tentang kejayaan masa lalu kekaisaran.

Sambil duduk, aku juga memperhatikan para wisatawan yang hilir mudik. Ada yang sibuk berfoto, ada yang duduk di lantai tangga sambil mengatur napas, jelas kelelahan setelah mendaki. Wajah-wajah capek itu justru membuat suasana terasa lebih manusiawi—bahwa di balik kemegahan bangunan sejarah ini, kita semua sama-sama manusia yang butuh jeda. Aku pun ikut larut dalam ritme itu, menikmati istirahat sejenak, membiarkan angin sejuk musim semi menyapu wajah, sambil memulihkan kaki yang lagi-lagi merasa nyeri karena kelelahan.

Setelah cukup lama duduk beristirahat di Hall of Buddhist Incense (Foxiang Ge), aku pun mulai berjalan turun. Jalanku melewati sebuah gerbang indah dengan atap berwarna hijau-kuning yang berkilau di bawah sinar matahari. Inilah Paiyun Gate, atau yang dikenal juga sebagai Gate of Dispelling Clouds.

Gerbang ini bukan sekadar pintu masuk biasa. Pada masa Dinasti Qing, Paiyun Gate dipakai sebagai jalur sakral menuju Foxiang Ge. Dari sinilah para kaisar, permaisuri, dan bangsawan akan melangkah sebelum sampai ke paviliun utama di puncak Longevity Hill. Nama “Paiyun” sendiri berarti “menghalau awan”, seakan-akan melambangkan kejernihan batin sebelum memasuki ruang suci.

Aku berhenti sebentar, memperhatikan detail ukiran pada pintu kayu merah yang dipenuhi ornamen emas. Naga, awan, dan motif klasik Tiongkok terpahat begitu anggun. Sementara di sekitar, para wisatawan juga lalu-lalang, beberapa berhenti untuk berfoto, beberapa hanya berjalan cepat melewati gerbang ini. Aku memilih menikmati momen itu lebih lama. Rasanya seperti berdiri di pintu peralihan antara dunia profan dan dunia penuh simbol spiritual.

Tak jauh dari gerbang itu, aku tiba di kompleks besar bernama Hall of Dispelling Clouds (Paiyun Dian). Inilah aula utama di bawah Foxiang Ge yang dulu dipakai kaisar untuk menggelar upacara ulang tahun permaisuri. Dari luar saja sudah luar biasa. Dindingnya dilapisi keramik kuning dan hijau dengan ratusan patung Buddha kecil berjajar rapi. Dari dekat, detailnya membuatku terpana. Setiap Buddha seperti punya tatapan sendiri, seolah ikut menyaksikan langkah-langkah para peziarah dan wisatawan yang datang silih berganti.

Dari kompleks Paiyun Dian aku terus menuruni tangga batu. Langkahku pelan, mengikuti jalur yang berliku ke bawah. Tak lama, suasana di sekitarku mulai berubah. Jalan setapak kini dikelilingi pepohonan tinggi yang rindang. Cahaya matahari menembus di sela-sela dedaunan, menciptakan bayangan yang menari-nari di tanah. Suasana terasa lebih teduh dan tenang, kontras dengan hiruk-pikuk di area puncak tadi. Aku berjalan santai, sesekali menoleh ke belakang, melihat atap-atap paviliun megah yang perlahan tampak semakin jauh.


Langkahku berlanjut menuruni bukit, dan akhirnya aku tiba di sebuah jembatan indah yang melengkung tinggi. Lengkungannya tercermin sempurna di air yang tenang, menciptakan bayangan lingkaran utuh yang seakan jadi simbol keseimbangan. Dari dekat, jembatan ini tampak begitu megah—batu-batu tuanya sudah dilewati ribuan, bahkan jutaan kaki wisatawan, tapi tetap kokoh berdiri. Aku ikut menyeberang pelan-pelan, sambil sesekali berhenti untuk memandang ke bawah, menikmati bayangan pepohonan willow yang tergerai di air.


Selepas melewati jembatan, suasana taman kembali terasa damai. Jalan setapak yang rindang membawaku ke pintu keluar. Di kejauhan terlihat gerbang sederhana dengan pagar besi kuning, tanda bahwa petualanganku di Summer Palace hampir selesai. Dari sini, langkah kakiku semakin santai. Aku menoleh sebentar, memberi salam perpisahan pada istana musim panas yang cantik ini.

Aku melihat HP-ku. Padahal sebenarnya ini masih jam dua siang, sebenarnya aku bisa saja lanjut ke destinasi lain. Tapi tubuhku sudah terasa benar-benar lelah. Kakiku seperti menolak kompromi, seakan berkata "Cukup, ayo pulang dulu." Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke penginapan dulu aja. Rasanya lebih bijak begitu. Di penginapan aku bisa leyeh-leyeh, recharge tenaga, sebelum nanti malam aku mampir ke Wangfujing Night Market dan langsung lanjut menuju bandara.

Hatiku ringan dan hangat ketika melangkah ke arah stasiun metro. Ada rasa puas, rasa syukur, sekaligus perasaan tak ingin berpisah. Summer Palace memberiku pengalaman indah yang sulit dilupakan. Perpaduan sejarah, keindahan alam, dan refleksi pribadi. Terima kasih, Summer Palace, hari ini kau sudah membuat perjalananku jauh lebih berwarna!


Part Selanjutnya : DISINI

0 comments:

Posting Komentar