Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

8.21.2025

Boyolali, 21 Agustus 2025 : Hewan Peliharaan sebagai Teman Jiwa

 Ada satu fase hidup yang sering bikin kita merasa kosong, yaitu usia dewasa di rentang akhir dua puluhan sampai lima puluhan. Pada fase ini, apalagi kalau kamu masih single, rasa kesepian sering datang tanpa permisi. Atau mungkin jika menikah dengan 'orang yang dirasa tidak tepat', rasa kesepian juga datang tiap hari, kalau ini bahkan dibalut ekspetasi.

Di masa ini, kepala kita biasanya dipenuhi banyak hal. Soal pekerjaan, target yang katanya harus segera tercapai, standar keberhasilan versi orang lain, kesehatan orangtua yang menurun, sampai soal kesehatan mental. Kadang kita membandingkan diri dengan teman-teman sebaya. Si A sudah menikah, si B sudah punya rumah besar, si C sudah pegang jabatan tinggi. Sementara mungkin kita masih menata diri. Atau mungkin sebenarnya kita sudah berkecukupan. Tapi rasa membandingkan, atau perasaan merasa kecil dan tak berdaya itu, sering kali masih saja menyelinap. Dari situ tekanan datang, berubah jadi stres, lalu bisa merembet ke depresi.

Kesepian ini semakin terasa kalau kita adalah seorang introvert. Memang kita tidak suka keramaian, lebih suka mengisi ulang energi dengan kesendirian. Tapi bukan berarti tidak mendambakan seseorang yang bisa diajak ngobrol panjang tentang hidup, mimpi, atau keresahan. Sayangnya kesempatan itu jarang ada. Orang lain punya kesibukan dan prioritasnya sendiri, dan akhirnya kita kembali duduk sendirian, mencoba berdamai dengan sunyi.

Aku sendiri percaya ada dua cara sederhana untuk sedikit meredam badai dalam kepala itu. Meditasi vipassana dan memelihara hewan.

Kalau meditasi vipassana mengajarkan kita untuk melihat pikiran datang dan pergi sebagaimana adanya, memelihara hewan memberikan sandaran dalam bentuk nyata.

Bayangkan kamu pulang kerja dengan kepala penuh pikiran. Begitu membuka pintu, ada kucingmu yang langsung menyambut, menggesekkan badan ke kakimu. Atau anjingmu yang meloncat-loncat heboh seakan kamu adalah orang paling penting di dunia. Hewan peliharaan memang punya obsesi unik dengan tuannya. Mereka ingin selalu dekat, ingin diperhatikan, dan itu membuat kita merasa berarti, penting, dan dibutuhkan.

Ada momen sederhana yang terasa dalam. Memeluk kucing di pangkuan, membelai bulu lembut kelinci, atau mengajak anjing berlari sore hari. Kehangatan itu nyata, seolah memberi pesan bahwa kamu tidak sendirian.


Saat Lelah dengan Manusia

Kadang kita sampai di titik paling jenuh menghadapi manusia dan segala omong kosongnya. Rasanya capek dengan drama, ekspektasi, atau bahkan sekadar basa-basi. Pada saat itu, hewan berbulu hadir dengan cara yang polos. Mereka datang hanya untuk minta dipeluk.

Kamu bisa curhat panjang lebar, bahkan sampai menangis, dan mereka hanya diam. Tidak menghakimi, tidak memberi nasihat klise, tidak memotong cerita. Ada yang percaya hewan bisa mengerti kesedihan kita, mungkin benar, mungkin tidak. Tapi seringnya mereka hanya duduk diam atau sekadar minta makan, minta dielus. Sederhana. Namun justru kesederhanaan itu terasa melegakan, apalagi kalau kita sudah terlalu lelah dengan betapa rumitnya hubungan antar manusia.

Memelihara hewan bukan hanya soal hiburan. Mereka bisa jadi alasan untuk bangun lebih pagi, untuk punya rutinitas, bahkan untuk merasakan cinta tanpa syarat. Saat dunia terasa terlalu bising dengan tuntutan yang tak ada habisnya, hewan hadir dalam keheningan. Mereka tidak menuntut kamu harus kaya, sukses, atau menikah. Mereka hanya butuh kamu ada.

Kadang, ketika kepala penuh beban, kita cuma butuh hal sederhana. Ada yang menyambut kita pulang. Ada yang menunggu di rumah. Ada yang bisa kita peluk tanpa takut dihakimi, tanpa ditanya kenapa. Karena terkadang yang kita butuhkan hanya sandaran lembut itu.

Kalau kamu sedang berada di fase quarter life atau mid life crisis, merasa terjebak di antara ekspektasi dan kenyataan, mungkin jawabannya bukan mencari validasi dari luar. Bisa jadi cukup dengan memelihara makhluk kecil berbulu, atau meluangkan waktu untuk duduk tenang bersama diri sendiri.

Pada akhirnya, kesepian memang bagian dari hidup. Tapi kesepian itu bisa jadi lebih ringan kalau kita punya sahabat yang selalu hadir. Entah lewat meditasi yang menenangkan pikiran, atau lewat peliharaan yang setia menemani tanpa kata.

8.18.2025

Probolinggo, 27-29 Oktober 2017 : Eksplor Gili Ketapang !

“Gili Ketapang?"

Dahiku sempat mengernyit saat pertama kali melihat ada tawaran day trip murah  di Instagram ke pulau ini dari Probolinggo. Hanya dengan Rp90.000 sudah termasuk kapal penyeberangan PP, alat snorkeling, pelampung, sampai makan siang. Serius nih?!”

Rasa penasaran langsung membawaku buka Google Maps. Ternyata benar, di sebelah utara Kota Probolinggo memang ada sebuah pulau kecil memanjang bernama Gili Ketapang. Jaraknya hanya sekitar 8 km dari bibir pantai, ditempuh dengan kapal motor sekitar 30 menit.

Setelah aku browsing lebih lanjut, ternyata pulau ini unik. Konon dulunya masih menyatu dengan daratan Jawa sebelum akhirnya terpisah akibat aktivitas vulkanik Gunung Semeru ratusan tahun lalu. Kini luasnya tinggal sekitar 68 hektar, tapi dihuni ribuan penduduk yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Budaya mereka kental dengan tradisi Madura pesisir – bahasa sehari-hari banyak memakai bahasa Madura.


Melihat fotonya di media sosial - air laut jernih, biota bawah laut yang berwarna-warni, dan paket snorkeling murah meriah, aku langsung janji pada diriku: suatu hari aku harus ke sana! Apalagi target pribadiku adalah menjelajah sebanyak mungkin destinasi di Jawa Timur selama masih tinggal di Surabaya. Tinggal siapin motor, temen seperjalanan, dan bensin secukupnya… berangkat! Menunggu dengan sabar, akhirnya kesempatan itu pun datang juga.


Jumat, 27 Oktober 2017

Hari itu, sepulang kerja (di kantor pemerintahan Surabaya), aku langsung pulang, mandi, packing seperlunya, dan bersiap berangkat. Travelmate-ku sudah siap, kami akan motoran bareng dengan tujuan ke Kota Pasuruan/Probolinggo. Kenapa pilihannya di antara 2 kota ini? Karena kalau motoran dari Surabaya – Probolinggo langsung, jaraknya sekitar 100 km. Sedangkan Surabaya – Pasuruan itu lebih pendek, kira-kira 65 km. Jadi, kalau badan nggak kuat, rencananya kami akan berhenti dulu dan nginap di Pasuruan, baru besok pagi lanjut. Tapi target utamanya jelas: Gili Ketapang!

Habis magrib, kami tancap gas keluar kota. Suasana Surabaya malam Jumat itu rame banget. Jalanan arah selatan menuju Sidoarjo dipadati arus kendaraan pekerja yang hendak pulang kampung. Lampu rem mobil berderet panjang seperti ular merah tak berujung, sesekali klakson bersahutan, dan motor-motor lain pun sama-sama berebut celah.

Ruas Surabaya – Sidoarjo benar-benar padat merayap. Si Merah, motor andalan kami, harus sabar ekstra. Nyoba nyalip susah, mau agak ngebut juga nggak bisa. Kadang malah harus berhenti total di persimpangan besar, nunggu lampu hijau atau karena saking macetnya arus. Udara malam itu sebenarnya cukup adem, tapi suasana jalan yang sesak bikin kepala rasanya ikut panas.

Begitu masuk wilayah Sidoarjo, lalu lintas mulai agak lega, meski tetap ramai. Jalur menuju Porong – Bangil dipenuhi truk-truk besar dan bus antar kota yang saling kebut, bikin pengendara motor harus ekstra waspada. Sesekali kami terjebak di belakang truk pasir yang jalannya pelan tapi asapnya bikin batuk. Tapi ya namanya juga perjalanan, harus dinikmati.

Sekitar Bangil, kami sepakat berhenti sejenak di sebuah kafe sederhana pinggir jalan. Bukan kafe hits ala kota besar, tapi cukup untuk duduk sebentar dan ngilangin pegal. Kami pesan kentang goreng sama segelas susu dingin, menyerapnya untuk menjadi energi. Masih ada ruas Bangil - Pasuruan/Probolinggo yang harus kami lalui .

Sekitar pukul 21.45 akhirnya kami sampai di Kota Pasuruan. Badan sudah agak pegal dan mata mulai berat. Setelah mempertimbangkan waktu dan tenaga, kami sepakat untuk tidak memaksakan diri lanjut ke Probolinggo malam itu. Lebih baik cari penginapan, istirahat, dan besok pagi berangkat lagi dengan kondisi segar.

Aku segera buka ponsel, mencari penginapan sederhana yang bersih dan layak. Syukurlah, ketemu satu hotel kecil dengan harga 200 ribu per malam sudah dapat kamar ber-AC. Tanpa pikir panjang, langsung ku-booking. Begitu tiba, kami disambut suasana kota Pasuruan yang khas. Jalanan masih ramai dengan lalu lintas malam, lampu kendaraan berderet, warung dan toko kelontong beberapa masih buka, tapi sebagian sudah tutup dengan pintu besi rapat. Udara pantura bercampur dengan aroma gorengan dari warung kaki lima yang masih berjualan di pinggir jalan.

Setelah check-in, kami segera masuk kamar. Kamarnya sederhana, kasur dengan sprei bermotif cerah, dinding putih polos, dan pendingin udara yang langsung kami nyalakan begitu masuk. Rasanya seperti oase setelah perjalanan panjang motoran. Aku meletakkan tas di sudut kasur, lalu langsung cuci muka dan membersihkan diri seadanya.

“Besok kita jam enam udah otw lagi ke Probolinggo ya. Usahakan tidur cepat,” ucapku pada travelmate sambil setel alarm di ponsel.
“Iya,” jawabnya singkat, sama-sama sudah kelelahan.

Malam itu tidak ada agenda lain. Kami hanya rebahan, memastikan semua perangkat elektronik terisi penuh, lalu membiarkan kantuk menelan tubuh yang lelah. Aku tersenyum kecil sebelum terpejam, akhirnya mimpi untuk menjejak Gili Ketapang sudah di depan mata.


Sabtu, 28 Oktober 2017

Keesokan paginya aku terbangun sekitar pukul 06.00. Setelah bermalas-malasan sebentar di kasur, akhirnya aku paksa tubuhku untuk bangun dan bersiap mandi. Sesuai jadwal, peserta day trip ke Gili Ketapang diwajibkan berkumpul di Pelabuhan Tanjung Tembaga Probolinggo jam 9 pagi. Sementara jarak dari Pasuruan ke Probolinggo masih sekitar 40 km dengan waktu tempuh motoran kurang lebih 1 jam. Jadi supaya masih sempat sarapan dan tidak tergesa-gesa, aku harus gerak lebih cekatan pagi itu.

Aku mandi duluan, dilanjutkan oleh travelmate, lalu sekitar pukul tujuh lebih sedikit kami sudah siap berangkat. Udara pagi terasa sejuk, belum banyak kendaraan besar melintas, jadi perjalanan cukup lancar. Jalur pantura pagi itu masih bersahabat, hanya sesekali ada truk dan bus antar kota yang lewat. Di kiri-kanan jalan, warung kopi dan toko kelontong mulai buka, terlihat aktivitas warga yang baru memulai hari. Rasanya jauh lebih lega dibanding perjalanan malam sebelumnya yang penuh sesak.

Sekitar pukul 08.15 akhirnya kami memasuki Kota Probolinggo. Waktu sebenarnya sudah agak mepet, tapi kami tetap memutuskan untuk sarapan dulu di dekat alun-alun kota. Aku tahu risikonya, bisa jadi mepet banget sampai pelabuhan. Tapi menurutku lebih bahaya kalau langsung snorkeling tanpa isi perut sama sekali. Bisa lemes di tengah laut, kan gawat juga. Jadi kami duduk sebentar, menikmati sarapan seadanya, sambil sesekali melirik jam.

Belum selesai makan, notifikasi WhatsApp mulai masuk. Panitia trip sudah menanyakan posisi kami. Dengan buru-buru kami habiskan sarapan, langsung tancap gas menuju pelabuhan. Untungnya jarak dari alun-alun ke Pelabuhan Tanjung Tembaga tidak terlalu jauh. Jam tepat menunjukkan pukul 09.00 ketika akhirnya kami sampai di pelabuhan. Pas banget. Lega rasanya.

Sesampainya di Pelabuhan Tanjung Tembaga, ternyata semua peserta sudah berkumpul rapi dan bahkan sudah standby di kapal nelayan yang akan membawa kami menyeberang ke Gili Ketapang. Jadi agak nggak enak rasanya, ternyata tinggal kami berdua yang ditunggu wkwk. Tanpa banyak basa-basi, kami langsung naik ke atas kapal, mencari posisi duduk yang lumayan nyaman. 

Pagi itu matahari mulai terasa terik, sinarnya mantul di permukaan air laut. Dari dermaga, air laut tampak hijau agak keruh, bercampur dengan aktivitas pelabuhan yang padat. Bau khas laut dan solar dari kapal nelayan bercampur jadi satu, benar-benar atmosfer pesisir yang khas. Tapi begitu kapal mulai melaju menjauh dari pelabuhan, pemandangan perlahan berubah.

Air yang semula kehijauan dan keruh perlahan berganti menjadi biru tua yang lebih jernih. Ombak kecil bergelombang tenang, memantulkan cahaya matahari pagi. Di kejauhan, garis daratan Jawa mulai tampak mengecil, sementara hamparan laut lepas di utara semakin mendominasi pandangan. Angin laut menerpa wajah, rasanya campur aduk antara segar, asin, dan bikin rambut acak-acakan. 

Kapal nelayan terus melaju dengan suara mesin yang monoton, tapi justru jadi irama pengantar perjalanan. Dari kejauhan mulai terlihat siluet pulau kecil memanjang. Itulah Gili Ketapang, tujuan kami pagi itu.

Semakin dekat dengan Gili Ketapang, rasa kagum itu makin menjadi. Laut yang tadinya biru tua kini berubah gradasi jadi biru muda dan toska, jernih sekali, bahkan dasar karang terlihat samar-samar dari atas kapal. Rasanya benar-benar beda jauh dengan air laut di Pelabuhan Tanjung Tembaga yang tadi masih hijau agak keruh.

Di kejauhan terlihat deretan perahu nelayan yang bersandar di tepi pulau, bendera merah putih berkibar di tiang-tiangnya. Beberapa nelayan tampak sibuk, ada yang memperbaiki jaring, ada juga yang mengangkut barang ke gubuk-gubuk sederhana di tepi pantai. Suasana begitu hidup, seakan menyambut kedatangan kami para tamu akhir pekan.

Pasir putih pulau mulai tampak jelas, berkilau disinari matahari yang siang itu terasa menyengat. Kontras sekali dengan birunya laut. Aku sampai terpana beberapa kali, benar-benar tak menyangka kalau pulau kecil di utara Probolinggo bisa punya panorama secantik ini.

Akhirnya kapal menepi dan kami turun satu per satu, menginjakkan kaki di pasir putih yang terasa panas sekali di telapak kaki. Angin laut berhembus kencang, tapi tidak cukup untuk mengalahkan teriknya matahari. Kami lalu diarahkan menuju sebuah bale-bale bambu beratap rumbia yang sepertinya akan jadi tempat makan siang nanti. Suasananya sederhana tapi teduh, cukup untuk berkumpul bersama.

Di sana, pemandu tour membagikan pelampung dan alat snorkeling kepada kami yang jumlahnya sekitar sepuluh orang. “Kita langsung snorkeling ya setelah ini, silakan ambil yang ukurannya pas. Nanti akan ada dua sampai tiga spot. Setelah snorkeling baru kita makan siang,” jelasnya. Aku mendengarkan sambil menatap laut jernih di depan mata, rasanya sudah tidak sabar untuk segera nyebur.

Setelah semua peserta mendapatkan pelampung dan alat snorkel masing-masing, kami kembali naik ke perahu. Suasana jadi lebih heboh, ada yang sibuk menyesuaikan masker, ada yang bercanda soal takut tenggelam meskipun sudah pakai pelampung. Mesin kapal kembali meraung, membawa kami ke tengah laut untuk menuju spot snorkeling pertama.

Tidak butuh waktu lama, sekitar sepuluh menit kemudian mesin mulai melambat. Pemandu berdiri di ujung kapal dan memberi aba-aba. “Silakan, ini spot snorkeling pertama ya. Waktunya sekitar 30 menit,” katanya sambil tersenyum.

Aku segera mengencangkan pelampung, memastikan masker dan snorkel terpasang benar, lalu dengan satu hentakan… byur! Tubuhku langsung terasa segar disambut air laut yang jernih. Dunia langsung berubah total. Di bawah permukaan, terbentang pemandangan karang warna-warni dengan ikan-ikan kecil yang lincah berenang kesana kemari. Ada ikan biru yang bergerombol, ada juga ikan badut yang sesekali keluar masuk anemon laut, persis kayak di film animasi yang terkenal itu. Sinar matahari menembus dari atas, membuat warna karang semakin memikat.

Aku snorkeling kesana kemari mengikuti liukan ombak, mencoba mendekat ke kumpulan ikan yang terlihat sibuk mencari makan di sela-sela karang. Sesekali aku menengadahkan kepala, memastikan posisiku tidak terlalu jauh dari kelompok. Aku juga selalu melirik ke travelmate-ku, memastikan ia aman. Wajar saja, karena ini pengalaman pertamanya snorkeling, ditambah lagi ia tidak bisa berenang. Untungnya pelampung membuatnya cukup percaya diri, meskipun wajahnya masih campur aduk antara grogi dan kagum.

Melihat ekspresinya, aku jadi ikut senang. Rasanya menyenangkan bisa berbagi pengalaman pertama yang indah seperti ini. Aku sempat mengajarinya untuk rileks, hanya mengapung saja, lalu sesekali menundukkan kepala menikmati keindahan bawah laut. Dan ketika ia akhirnya berani melihat lebih lama ke dalam air, aku bisa melihat matanya berbinar di balik kacamata snorkel.

Sekitar tiga puluh menit menikmati pemandangan bawah laut, pemandu mulai memberi aba-aba agar kami kembali naik ke kapal. Masih ada spot lain yang akan dikunjungi. Mesin kapal kembali meraung, membawa kami ke arah berbeda. Kali ini jaraknya tidak jauh, mungkin hanya sepuluh menit perjalanan saja sebelum mesin kembali dimatikan dan pemandu menunjuk ke arah laut.

“Ini spot snorkeling kedua ya. Di sini ada tulisan ‘Gili Ketapang’ di bawah air. Nanti kalian bisa foto satu per satu, pelampungnya dilepas, nanti kami bantu dorong,” jelasnya.

Satu per satu peserta bersiap. Kami diarahkan untuk berpegangan pada tali yang dipasang dekat tulisan itu, sementara dari atas kapal pemandu membantu mendorong agar posisi tubuh kami bisa tenggelam. Aku rasa hasilnya pasti keren. Peserta lain menunggu giliran sambil mengapung di sekitar kapal.

Begitu giliranku, aku melepas pelampung, mengencangkan snorkel, lalu byur, tubuhku didorong pemandu ke arah tulisan besar “Gili Ketapang” yang diletakkan di dasar karang. Hal pertama yang kurasakan adalah, telingaku langsung sakit terkena tekanan air di kedalaman 4 meter ini. Aku langsung meraih tali yang disediakan, mencoba tersenyum ke arah kamera meski mulut sedang rapat menahan napas. 'Klik', kamera underwater pemandu menangkap momen itu. 

Setelah semua peserta mendapat jatah foto, kami diberi waktu sebentar lagi untuk snorkeling bebas. Aku kembali menikmati liukan ikan-ikan kecil di sela karang, tapi tak lama pemandu memberi tanda. “Kita kembali ke pulau untuk makan siang ya,” serunya.

Tidak butuh waktu lama kapal sudah mengantarkan kami kembali ke Gili Ketapang, tepatnya di bale-bale bambu tempat kami berkumpul tadi pagi. Sekelompok penyelenggara tur terlihat sibuk memanggang ikan di atas bara. Bau harumnya langsung bikin perut makin meronta. “Kalian bisa mandi dulu atau langsung makan,” kata pemandu.

Aku dan travelmate sepakat, mandi belakangan saja. Perut sudah nggak bisa kompromi. Kami langsung ikut antre, mengambil segepok nasi putih hangat, ikan bakar yang aromanya bikin ngiler, plus sambal kecap pedas manis. Begitu suapan pertama masuk mulut, aku refleks nyeletuk, “Wah enaknyaaa!” Rasa ikan lautnya segar, gurih, dan berpadu sempurna dengan sambal kecap. Kabar baiknya, semua peserta boleh nambah sepuasnya. Aku sampai nambah dua kali saking nikmatnya.

Selesai makan, kami leyeh-leyeh sebentar, baru kemudian bergantian mandi di bilik sederhana yang tersedia. Badan rasanya segar kembali setelah berendam lama di laut. Usai mandi, kami sempat beli minuman dingin di warung kecil dekat bale-bale, lalu pemandu memberi tahu kalau kami punya waktu bebas sekitar satu jam sebelum kapal dijadwalkan kembali ke Pelabuhan Probolinggo jam tiga sore.

Kesempatan itu tentu saja tidak kami sia-siakan. Aku dan travelmate memutuskan jalan kaki menyusuri pulau. Suasananya benar-benar khas pemukiman pesisir sederhana. Rumah-rumah warga terbuat dari tembok bercampur bambu, berjejer rapi meski tampak apa adanya. Jalan utamanya berupa tanah berdebu, dengan pagar bambu di kanan-kiri. Masih banyak warga yang memelihara kambing, tampak beberapa ekor sedang diikat di depan rumah, mencari makan seadanya.

Pepohonan di sepanjang jalan sebagian besar gersang, rantingnya dipangkas, menyisakan daun-daun yang tidak terlalu lebat. Sinar matahari sore menerobos di sela-sela batang, membuat bayangan pagar bambu jatuh ke jalan tanah. Meski sederhana, ada kehangatan tersendiri melihat anak-anak kecil berlarian, warga duduk di teras rumah, dan sesekali menyapa ramah.

Sekitar jam tiga sore, pemandu mulai mengumpulkan kami semua di bale-bale. “Sekarang saatnya kembali ke Pelabuhan Probolinggo ya. Semoga kalian puas dengan trip hari ini, puas dengan snorkelingnya, puas juga sama makanannya,” katanya sambil tersenyum. Aku cuma nyengir, dalam hati mengiyakan.

Saat itu memang belum memungkinkan untuk camping atau menginap di Gili Ketapang, jadi pilihan satu-satunya ya harus pulang lagi sore itu juga. Kami naik ke kapal, duduk di tempat masing-masing, lalu mesin kembali meraung. Perjalanan pulang ditempuh sekitar tiga puluh menit, kali ini terasa lebih tenang. Angin laut sore membelai wajah, matahari sudah mulai condong, dan aku duduk sambil membiarkan pikiran melayang.

Ada rasa puas yang sulit dijelaskan. Perjalanan yang awalnya cuma bermula dari rasa penasaran melihat postingan media sosial akhirnya benar-benar terwujud. Aku sudah menginjakkan kaki di Gili Ketapang, sudah menikmati snorkeling, sudah merasakan makan siang ikan bakar segar di tepi pulau, dan sudah melihat langsung kehidupan sederhana penduduknya. Rasa penasaranku akhirnya terpenuhi. 

Setelah kapal merapat di Pelabuhan Tanjung Tembaga, kami segera turun, mengambil motor yang sejak pagi sudah dititipkan di area parkir. Hari masih sore dan sebenarnya tidak ada agenda lain yang harus kami kejar. Aku menoleh ke travelmate, lalu nyeletuk, “Kita ke kafe aja dulu ya, ngadem.” Dia cuma mengangguk setuju sambil senyum, jelas sama lelahnya dengan aku.

Kami pun melaju ke salah satu kafe di pusat Kota Probolinggo. Rasanya nikmat banget bisa duduk di kursi empuk setelah seharian snorkeling dan jalan kaki keliling pulau. Aku memesan segelas es dingin yang langsung bikin tenggorokan plong, sementara sepiring kentang goreng jadi camilan santai sore itu. Kami ngobrol ringan, ketawa-ketawa kecil, sambil menikmati suasana kota yang lebih kalem dibanding hiruk pikuk Surabaya.

Menjelang malam, kami memutuskan untuk menginap di salah satu hotel sederhana di Kota Probolinggo. Setelah meletakkan barang, kami keluar sebentar untuk cari makan malam. Nggak ada yang spesial, hanya sekadar warung makan lokal dengan menu sederhana, tapi setelah aktivitas seharian, rasanya tetap nikmat luar biasa.

Sisanya malam itu kami habiskan untuk istirahat. Tidak ada agenda lain, tidak ada jalan-jalan tambahan, hanya tubuh yang butuh rebahan. Perjalanan hari itu sudah lebih dari cukup memberi kesan mendalam.


Minggu, 29 Oktober 2017

Esok harinya, sekitar jam 12 siang, setelah check-out dari hotel di Probolinggo kami langsung tancap gas kembali ke Surabaya. Tidak ada lagi yang harus dikejar, jadi aku memilih berkendara dengan santai dan hati-hati saja. Namun perjalanan pulang ini jelas bukan hal yang mudah. Jalur Probolinggo–Surabaya membentang sepanjang kurang lebih 100 km, dan siang itu matahari sedang garang-garangnya.

Begitu keluar dari Kota Probolinggo, hawa panas langsung menyerang. Angin yang berhembus pun rasanya ikut panas, bukan menyejukkan. Jalanan pantura dipenuhi lalu lintas padat: truk besar, bus antar kota, mobil pribadi, dan deretan motor. Sesekali kami harus menyalip kendaraan panjang yang berjalan lambat, sambil tetap waspada karena dari arah berlawanan truk-truk lain melaju kencang.

Memasuki Pasuruan, panas siang semakin terasa menyengat. Debu jalan beterbangan, keringat mulai membasahi punggung meski sudah dilindungi jaket. Kami tetap melaju perlahan, menikmati ritme jalanan meski agak melelahkan. Sekitar daerah Grati, kami memutuskan untuk berhenti sejenak. Perut sudah mulai lapar, tenggorokan kering, jadi mampir ke sebuah warung sederhana di pinggir jalan untuk makan sore. Sepiring nasi, lauk seadanya, dan segelas minuman dingin rasanya jadi energi baru untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah itu kami kembali ke jalan. Rute Bangil–Sidoarjo masih padat merayap, apalagi menjelang sore. Sesekali harus sabar terjebak di belakang kendaraan besar, sesekali berusaha mencari celah untuk menyalip. Tapi kami tidak buru-buru, tujuannya hanya sampai rumah dengan selamat.

Akhirnya, sebelum magrib, kami masuk kembali ke Surabaya. Rasa lega bercampur puas langsung menyeruak. Panas, debu, dan lelah motoran terbayar dengan pengalaman dua hari yang memorable di Gili Ketapang. Sebuah perjalanan sederhana, tapi menyenangkan, dan yang paling penting… rasa penasaranku pada pulau kecil itu akhirnya benar-benar terjawab.

FINISHED..

7.29.2025

Sadar Setiap Hari (SSH) 21 : Pikiran yang Datang dan Pergi

 Pernahkah kita duduk diam, mencoba menikmati momen saat ini, tapi justru pikiran datang bertubi-tubi? Satu detik mencoba fokus pada napas, detik berikutnya sudah teringat tugas kantor, lalu berpindah ke rasa kecewa masa lalu, meloncat ke bayangan masa depan, bahkan terselip pikiran acak yang sama sekali tak relevan. Bukannya hening, kepala malah seperti pasar malam - ramai dan penuh suara.

Banyak orang mengira kondisi seperti ini salah, seolah kita gagal bermeditasi atau tidak cukup "damai". Padahal, menurut ajaran Dhamma, munculnya pikiran itu wajar. Pikiran memang memiliki sifat alami untuk bergerak, mengalir, dan berubah-ubah.


1. Pikiran Itu Seperti Arus Sungai

Bayangkan kamu duduk di tepi sungai. Air mengalir tanpa henti, membawa dedaunan, ranting, kadang sampah, kadang juga bunga yang indah. Arusnya tidak pernah sama: ada saat tenang, ada saat berputar, bahkan kadang deras dan menghanyutkan. Begitulah sifat pikiran kita—tidak pernah berhenti bergerak.

Dalam sehari, kita bisa memiliki puluhan ribu pikiran. Ada yang hanya singgah sekejap, ada yang berulang-ulang seperti lagu rusak. Pikiran itu bisa berupa:

  • Kenangan masa lalu → pengalaman manis yang ingin diulang atau luka lama yang masih membekas.

  • Kekhawatiran tentang masa depan → takut gagal, takut kehilangan, takut tak cukup baik.

  • Harapan dan rencana → ingin sesuatu terjadi dengan cara tertentu.

  • Pikiran acak → lintasan ide atau bayangan yang bahkan kita tak tahu asalnya.

Seperti aliran sungai, pikiran datang dan pergi dengan sendirinya. Kita tidak memerintahkan mereka untuk muncul, dan kita pun tidak bisa benar-benar mencegahnya datang. Ini adalah sifat alami pikiran: berubah, mengalir, dan tidak permanen.

Namun, kita sering lupa bahwa pikiran itu hanya arus yang lewat. Kita malah melompat ke dalam sungai, terbawa arus, dan akhirnya terseret jauh. Misalnya:

  • Pikiran tentang kesalahan masa lalu muncul → kita tenggelam dalam rasa bersalah berhari-hari.

  • Bayangan tentang masa depan → kita terbawa kekhawatiran dan kehilangan ketenangan saat ini.

  • Pikiran menyenangkan → kita melekat, ingin mempertahankannya, lalu kecewa saat hilang.

Semakin kita berusaha menghentikan arus, semakin besar tekanan yang kita rasakan. Sama seperti mencoba menghentikan sungai dengan tangan kosong—mustahil. Dhamma mengajarkan bahwa kita tidak perlu menghentikan pikiran. Yang perlu dilakukan hanyalah menyadari bahwa pikiran hanyalah arus, bukan “aku” dan bukan “milikku”.

Kesadaran ini sangat penting karena:

  • Kita mulai melihat bahwa pikiran tidak bisa dipegang. Bahkan pikiran yang sangat kuat pun akan lenyap pada waktunya.

  • Kita menyadari bahwa pikiran hanyalah fenomena—seperti suara, seperti angin, seperti bayangan. Tidak perlu diikuti atau dipercaya mentah-mentah.

  • Kita memahami bahwa kedamaian tidak datang dari mengendalikan pikiran, tapi dari tidak lagi terseret arusnya.

Ketika kita duduk diam dan mengamati, kita mulai merasakan: “Oh, pikiran ini datang… dan sekarang ia pergi. Aku tidak perlu ikut hanyut.” Saat kesadaran ini semakin kuat, pikiran tidak lagi menjadi tuan atas diri kita—kita lah yang menjadi pengamat yang bebas.


2. Menyadari Tanpa Mengikuti

Setelah kita memahami bahwa pikiran seperti arus sungai, langkah berikutnya adalah tidak ikut hanyut di dalamnya. Ini terdengar sederhana, tapi dalam praktiknya seringkali sulit—karena kita punya kebiasaan lama untuk mempercayai setiap pikiran yang muncul.

Ketika pikiran datang, biasanya kita melakukan tiga hal:

  1. Menolak pikiran yang tidak menyenangkan
    Contoh: teringat kegagalan di masa lalu → kita ingin segera menepisnya, melawannya, bahkan memarahi diri sendiri karena mengingat hal itu lagi.

  2. Mengejar pikiran yang menyenangkan
    Contoh: muncul kenangan indah atau bayangan kesuksesan → kita ingin terus memikirkannya, berandai-andai, memupuk rasa ingin memiliki.

  3. Membumbui pikiran dengan cerita tambahan
    Contoh: muncul pikiran “Aku mungkin gagal di pekerjaan ini.” → kita langsung menambah cerita: “Kalau aku gagal, hidupku hancur. Semua orang akan merendahkanku.”

Semua reaksi ini membuat pikiran semakin kuat, ibarat memberi bahan bakar pada api yang kecil. Api yang tadinya hanya percikan, menjadi kobaran besar yang membakar ketenangan batin.

Menurut Dhamma, cara keluar dari lingkaran ini adalah menyadari pikiran apa adanya.

  • Ketika muncul kekhawatiran → “Ini hanya pikiran cemas.”

  • Ketika muncul kemarahan → “Ini hanya pikiran marah.”

  • Ketika muncul keinginan → “Ini hanya pikiran ingin.”

Tidak perlu menolak, tidak perlu mengusir, tidak perlu mengikutinya. Kita hanya mengamati, sama seperti menonton awan lewat di langit. Awan bisa hitam, bisa putih, bisa berwarna keemasan saat senja. Tapi tidak ada satupun awan yang bisa kita genggam atau kita usir dengan tangan.

Latihan ini disebut “bare awareness” atau kesadaran murni:

  • Kita sadar terhadap pikiran.

  • Kita tahu pikiran itu muncul, berubah, dan lenyap.

  • Kita tidak memberi label “baik” atau “buruk”, tidak melekat atau menolak.

Ketika kita berhenti menambahkan bumbu cerita pada pikiran, ia akan kehilangan kekuatannya. Pikiran seperti riak kecil di sungai—kalau tidak digerakkan oleh angin (reaksi kita), riak itu akan mereda dengan sendirinya.

Kesadaran semacam ini memberi kita ruang batin. Kita tidak lagi menjadi “budak” pikiran, tapi menjadi pengamat yang tenang. Bahkan pikiran yang dulunya terasa berat, seperti rasa takut, malu, atau benci, mulai terlihat ringan—karena kita sadar bahwa ia hanya muncul sebentar lalu hilang, sama seperti angin yang bertiup.


3. Hadir Tidak Berarti Pikiran Kosong

Banyak orang yang baru mengenal meditasi atau ajaran kesadaran sering salah paham: mereka mengira bahwa untuk benar-benar hadir dan damai, pikiran harus sepenuhnya kosong. Kalau masih ada pikiran yang muncul, berarti latihan gagal. Padahal, itu bukanlah tujuan meditasi dan bukan inti dari Dhamma.

Pikiran adalah bagian alami dari keberadaan manusia. Sama seperti jantung yang berdetak dan paru-paru yang bernapas, pikiran juga bergerak dan memunculkan ide-ide tanpa henti. Kita tidak bisa memaksa pikiran berhenti total, kecuali mungkin dalam keadaan tidur nyenyak atau pingsan. Tetapi kesadaran yang diajarkan Dhamma tidak meminta kita menjadi pingsan atau tak sadar.

Yang dimaksud hadir (mindful) adalah:

  • Kita sadar ketika pikiran muncul.

  • Kita tidak terseret dan larut dalam cerita pikiran itu.

  • Kita tetap berada di momen sekarang, meskipun pikiran datang dan pergi.

Bayangkan kamu duduk di tepi jalan raya. Mobil dan motor lewat tanpa henti—itulah pikiran. Menjadi hadir bukan berarti menutup jalan dan melarang kendaraan lewat. Menjadi hadir berarti duduk tenang di pinggir, mengamati semua lalu lintas tanpa mencoba mengejar atau menghentikan kendaraan.

Contoh praktiknya:

  • Saat duduk bermeditasi, pikiran tentang pekerjaan muncul → kamu sadar “Ini pikiran tentang pekerjaan” dan kembali mengamati napas.

  • Saat berjalan santai, tiba-tiba muncul kenangan sedih → kamu sadar “Ini hanya memori yang lewat” dan tetap berjalan.

  • Saat berbicara dengan teman, pikiran ingin memotong pembicaraan muncul → kamu sadar “Ini hanya dorongan untuk bicara” dan tetap mendengar.

Perlu diingat, pikiran tidak bisa dihapus, tapi ia bisa dilihat dengan jernih. Dengan melihat pikiran seperti ini, kita mulai menyadari:

  • Pikiran tidak punya kendali atas kita, kecuali kita yang memberinya kuasa.

  • Pikiran hanyalah fenomena sementara, seperti bayangan awan di danau.

  • Bahkan saat pikiran terus muncul, kita tetap bisa merasakan kedamaian—karena kita tidak lagi menjadi bagian dari pusaran itu.

Kesalahpahaman bahwa meditasi harus membuat pikiran kosong sering membuat orang frustasi. Mereka berkata:

“Aku gagal bermeditasi, pikiranku tidak pernah berhenti.”

Padahal, ketika kita menyadari bahwa pikiran muncul, itu sudah bagian dari meditasi yang berhasil. Setiap kali kita kembali menyadari dan tidak hanyut, kita sedang melatih kebebasan batin.

Jadi, hadir bukan berarti ruang kepala yang hampa seperti lembaran putih. Hadir berarti ada ruang luas di dalam diri yang tetap tenang, sementara pikiran datang dan pergi seperti awan di langit yang tak pernah berhenti bergerak.


4. Kedamaian yang Timbul dari Kesadaran

Kita sering mengira kedamaian batin datang ketika tidak ada masalah, tidak ada pikiran, atau tidak ada gangguan. Seakan-akan damai itu hanya mungkin terjadi kalau hidup benar-benar sunyi dan sempurna. Tapi Dhamma mengajarkan bahwa kedamaian tidak tergantung pada berhentinya pikiran atau hilangnya masalah.

Kedamaian sejati muncul ketika kita menyadari pikiran, perasaan, dan pengalaman tanpa harus memeranginya atau mengikutinya. Ia lahir dari kesadaran murni—ruang dalam diri yang tetap tenang meskipun gelombang pikiran terus muncul di permukaannya.

1. Kedamaian Bukan Hasil Mengontrol Pikiran

Coba ingat saat kamu berusaha keras untuk “tenang”. Misalnya, kamu marah lalu berkata pada diri sendiri: “Aku harus tenang, aku tidak boleh marah.” Apa yang terjadi? Biasanya rasa marah justru semakin kuat. Mengontrol pikiran seperti menekan bola karet ke dalam air—semakin ditekan, semakin besar dorongan untuk muncul kembali.

Kesadaran berbeda. Alih-alih menekan atau mengontrol, kita melihat pikiran itu apa adanya. Ketika marah datang, kita sadar: “Ini kemarahan, bukan aku.” Saat cemas datang, kita sadar: “Ini kekhawatiran, hanya fenomena yang lewat.”

Begitu kita berhenti melawan atau mengikuti, energi yang biasa digunakan untuk bereaksi mulai mereda. Kita menemukan kedamaian alami yang sebenarnya sudah ada, hanya selama ini tertutup oleh reaksi yang berlebihan.

2. Kesadaran Ibarat Langit yang Luas

Bayangkan langit yang luas. Awan bisa datang dan pergi—putih, kelabu, bahkan mendung pekat. Kadang ada badai, kadang ada pelangi. Tapi langit itu sendiri tidak pernah terganggu oleh awan. Awan hanya lewat di permukaan, sementara langit tetap luas dan hening.

Kesadaran kita seperti itu. Pikiran, emosi, dan perasaan adalah awan. Saat kita melekat atau menolak, kita lupa bahwa kita sebenarnya adalah langit itu sendiri—ruang luas yang mampu menampung segala cuaca tanpa menjadi cuaca itu sendiri. Menyadari hal ini memberi kita rasa lega yang dalam:

  • Tidak perlu lagi melawan badai pikiran.

  • Tidak perlu lagi menggenggam pelangi kebahagiaan.

  • Kita hanya melihat dan merasakan semua itu sebagai bagian dari aliran hidup.

3. Kebebasan yang Lahir dari Menyadari

Kesadaran juga membawa kita pada kebebasan yang mendalam:

  • Bebas dari keharusan mengendalikan segalanya.

  • Bebas dari penderitaan yang timbul karena ingin pikiran tertentu datang atau tidak datang.

  • Bebas dari kebiasaan mengidentifikasi diri dengan isi pikiran.

Saat kesadaran terlatih, bahkan ketika pikiran negatif muncul—marah, takut, iri, atau sedih—batin tetap damai. Bukan karena pikiran itu hilang, tapi karena kita tidak lagi diseret olehnya. Kita berdiri teguh di tepi sungai, menyaksikan arus mengalir, merasakan kebebasan untuk tidak melompat masuk.

4. Kedamaian yang Stabil dan Tidak Bergantung pada Dunia Luar

Dalam hidup, situasi luar akan selalu berubah:

  • Orang bisa memuji atau menghina.

  • Harta bisa datang dan pergi.

  • Kesehatan bisa naik dan turun.

Jika kedamaian kita bergantung pada semua itu, maka kedamaian kita rapuh. Tapi kesadaran mengajarkan kita untuk menemukan kedamaian yang tidak bergantung pada kondisi luar, karena ia bersumber dari dalam—dari pengamatan yang jernih dan penerimaan yang lapang


5. Latihan Sehari-hari: Menjadi Saksi Pikiran

Memahami sifat pikiran dan menyadari kedamaian yang timbul dari kesadaran adalah langkah awal. Tapi untuk benar-benar merasakannya dalam hidup sehari-hari, kita perlu melatihnya secara konsisten. Latihan ini bukan berarti harus selalu duduk diam berjam-jam seperti biksu di vihara. Bahkan dalam rutinitas harian—saat bekerja, makan, berjalan—kita bisa mengasah kemampuan untuk hadir dan tidak hanyut dalam pikiran.

Berikut panduan latihan yang bisa dilakukan:

1. Latihan Dasar: Duduk dan Mengamati Napas

  • Durasi: Mulai dengan 5–10 menit sehari. Jika sudah terbiasa, bisa diperpanjang hingga 20–30 menit.

  • Posisi: Duduk tegap tapi rileks, mata boleh terpejam atau sedikit terbuka.

  • Fokus: Rasakan napas masuk dan keluar, terutama sensasi di hidung atau perut yang mengembang dan mengempis.

  • Menyadari Pikiran: Ketika pikiran muncul, jangan menolak atau memarahi diri. Cukup sadari: “Ini hanya pikiran.” Lalu dengan lembut kembalikan perhatian ke napas.

  • Tujuan: Melatih diri agar tidak hanyut dalam pikiran, membangun kebiasaan untuk menyadari dan kembali ke momen sekarang.


2. Latihan “Labeling”: Memberi Nama Pikiran

  • Ketika pikiran datang, beri label ringan seperti “cemas”, “kenangan”, “rencana”, “marah”, atau “ingin”.

  • Ini membantu kita memisahkan diri dari pikiran tersebut—kita mulai melihat pikiran sebagai fenomena, bukan sebagai “aku”.

  • Contoh: Pikiran muncul, “Aku akan gagal dalam presentasi.” → Labeli: “Ini kekhawatiran,” lalu kembali hadir pada napas atau aktivitas yang sedang dilakukan.

3. Latihan di Aktivitas Sehari-hari

Kesadaran tidak hanya dilatih saat duduk. Bahkan ketika beraktivitas, kita bisa menjadi saksi pikiran:

  • Saat berjalan: Rasakan langkah kaki menyentuh tanah. Ketika pikiran mengembara, sadari dan kembalikan perhatian ke langkah.

  • Saat makan: Rasakan rasa, tekstur, dan aroma makanan tanpa terburu-buru. Ketika pikiran melayang, sadari dan kembali pada sensasi makan.

  • Saat berbicara: Sadarilah dorongan untuk memotong pembicaraan atau bereaksi berlebihan. Tarik napas, dengarkan dengan penuh hadir.

Dengan latihan ini, kita menyadari bahwa kesadaran bisa hadir di mana saja, bukan hanya di ruang meditasi.

4. Mengamati Sensasi Tubuh

  • Pikiran sering diikuti sensasi fisik: ketakutan muncul → jantung berdebar, kemarahan muncul → bahu menegang.

  • Latih diri untuk menyadari sensasi ini tanpa menolak. Amati saja, misalnya: “Ada ketegangan di dada.”

  • Saat kita menerima dan mengamati sensasi, energi emosi mulai mereda, seperti riak yang kembali tenang di permukaan danau.

5. Konsistensi dan Kesabaran

  • Pikiran tidak bisa diubah hanya dalam sehari. Sama seperti otot, kesadaran perlu dilatih berulang-ulang.

  • Ada hari di mana pikiran terasa seperti badai, ada hari di mana pikiran relatif tenang—semua wajar.

  • Setiap kali kita sadar bahwa kita hanyut dalam pikiran dan kembali hadir, itu adalah kemenangan kecil yang memperkuat kebebasan batin.

Dengan latihan ini, kita perlahan memahami bahwa hidup ini bukan untuk melawan pikiran, tapi belajar melihatnya dengan jernih. Saat kita menjadi saksi, pikiran tidak lagi mendikte suasana hati kita. Hidup terasa lebih ringan, lebih lapang, dan kedamaian sejati mulai terasa dalam setiap napas.

Sadar Setiap Hari (SSH) 20 : Cara Menghilangkan Kemelekatan (Tentang Cinta, Harta, dan Kesehatan yang Sering Kita Genggam Terlalu Erat)

 Dalam hidup ini, banyak hal yang membuat hati kita lengket. Bukan lengket karena lem, tapi karena batin yang terus menggenggam. Kita melekat pada orang yang kita cintai, harta yang kita miliki, kesehatan yang kita jaga mati-matian, bahkan melekat pada citra diri, status, atau masa lalu. Tapi pernah nggak kamu merasa, semakin kita menggenggam sesuatu erat-erat, justru semakin kita takut kehilangannya? Dan ketika itu benar-benar pergi, rasanya seperti runtuh dunia.

Dalam ajaran Buddha, keadaan batin seperti ini disebut upādāna - kemelekatan. Dan akar dari penderitaan adalah taṇhā: keinginan yang haus, yang memunculkan kemelekatan itu. Lalu gimana cara belajar sedikit demi sedikit melepaskannya?

1. Melihat dengan Jernih (Paññā – Kebijaksanaan)

– Kunci Awal untuk Membebaskan Diri dari Kemelekatan

Dalam ajaran Buddha, semua praktik pembebasan selalu dimulai dari paññā, yang artinya kebijaksanaan atau pandangan benar. Tapi ini bukan sekadar “tahu” secara intelektual. Ini adalah melihat langsung ke dalam realitas hidup sebagaimana adanya. Termasuk melihat apa yang sebenarnya sedang kita genggam.

Apa Itu “Melihat dengan Jernih”?

Melihat segala sesuatu apa adanya, sebagaimana ia muncul dan lenyap, tanpa tambahan bumbu harapan, ketakutan, atau cerita-cerita buatan pikiran kita.

Contohnya:

  • Orang yang kita cintai berubah sikap → lihat saja: "Oh, dia memang berubah. Semua makhluk bisa berubah."
    Bukan langsung: “Dia jahat”, “Aku nggak cukup baik”, atau “Aku harus mengubah diriku supaya dia kembali” atau bahkan “Aku harus membalas dendam”

  • Tubuh kita mulai menua atau sakit → lihat saja: "Oh, tubuh ini memang dukkha, tidak kekal, dan bukan milikku seutuhnya."
    Bukan: “Aku gagal menjaga kesehatan”, atau “Kenapa aku, padahal aku udah hidup sehat?

Pandangan seperti ini disebut "Yathābhūtañāṇadassana", yaitu melihat kenyataan sebagaimana adanya. Inilah bentuk kebijaksanaan sejati yang Buddha ajarkan — bukan dengan menolak dunia, tapi menyadari sifat dunia: berubah, tidak bisa dikendalikan sepenuhnya, dan bukan milik kita.

Dan menariknya, saat kita mulai bisa melihat dengan cara ini:

  • Batin terasa lebih ringan

  • Kita lebih damai menghadapi kehilangan

  • Cinta kita jadi lebih tulus, karena tidak dibebani rasa “harus memiliki”


Melihat Ketidak-kekalan (Anicca)

Buddha mengajarkan bahwa semua hal yang terbentuk akan berubah. Termasuk tubuh, perasaan, relasi, kekayaan, bahkan keadaan pikiran.

Misalnya:

  • Orang yang kamu cintai bisa berubah perasaan

  • Harta yang kamu kumpulkan bisa lenyap karena bencana atau ekonomi

  • Tubuh yang kamu rawat bisa sakit seiring waktu

Kalau kamu betul-betul memahami ini secara mendalam (bukan sekadar tahu di kepala), maka akan muncul perasaan ringan. Kamu mulai sadar:

“Oh, wajar kalau berubah. Wajar kalau pergi. Memang begitulah sifatnya.”

Ini bukan sikap pesimis, tapi realistis dan membebaskan.


Melihat Tanpa Ilusi (Vipallāsa)

Dalam teks Buddhis, ada istilah cognitive distortion yang disebut vipallāsa, yaitu:

  • Melihat yang tidak kekal seolah kekal (anicca jadi nicca)

  • Melihat yang menyakitkan seolah menyenangkan (dukkha jadi sukha)

  • Melihat yang tidak milik kita seolah milik kita (anattā jadi attā)

Contohnya:

  • Kita pikir pasangan kita akan selalu bersama kita selamanya (padahal bisa berubah atau pergi)

  • Kita pikir harta memberi kebahagiaan abadi (padahal kebahagiaannya sementara)

  • Kita pikir tubuh ini milik kita seutuhnya (padahal suatu hari akan rusak, sakit, mati)

Melihat jernih berarti kita menyadari distorsi itu dan membongkarnya satu per satu.


2. Berlatih Melepaskan, Bukan Menolak

— Mencintai Tanpa Genggaman, Memiliki Tanpa Diperbudak

Setelah kita mulai melihat segala sesuatu apa adanya, langkah berikutnya adalah berlatih melepaskan. Tapi catat baik-baik: melepaskan bukan berarti menolak atau menjauh dari hidup. Ini bukan tentang jadi dingin, keras, atau menarik diri. Justru ini tentang menghadirkan diri sepenuhnya, tapi tanpa menggenggam dengan ketakutan.

Apa Perbedaan "Melepaskan" dan "Menolak"?

Menolak (Aversion)Melepaskan (Letting Go)
“Aku nggak mau merasa ini”“Aku izinkan ini muncul dan berlalu”
“Dia jahat, aku harus benci”“Dia berubah, dan aku menerima itu”
“Aku harus membuang semuanya biar tidak melekat”“Aku hidup bersama ini, tapi tidak bergantung padanya”

Buddha tidak pernah mengajarkan untuk lari dari dunia. Beliau sendiri hidup berdampingan dengan orang-orang, dengan raja dan pengemis, dengan cinta dan kehilangan. Tapi beliau mengajarkan kita untuk hidup tanpa keterikatan, seperti teratai yang tumbuh di lumpur tapi tidak kotor.

“Tangan Terbuka”, Bukan “Kepalan”

Bayangkan kamu memegang pasir di tangan:

  • Jika kamu kepal erat-erat, pasirnya akan jatuh keluar dari sela jari.

  • Tapi jika kamu biarkan telapak tangan terbuka, pasir itu tetap di sana — tanpa lepas, tanpa hancur.

Begitulah cara melepaskan yang dimaksud Buddha.

Kamu boleh punya pasangan, pekerjaan, rumah, rencana masa depan. Tapi jangan genggam mereka dengan rasa “AKU harus punya ini, kalau tidak hidupku hancur”. Kalau pun semua itu pergi, kamu bisa berkata,

“Terima kasih sudah hadir. Sekarang waktumu pergi.”
Dengan damai. Tanpa dendam. Tanpa panik.

Melepaskan Itu Proses

Kita nggak langsung bisa melepaskan seketika. Kadang masih sedih, masih kecewa, masih ingin kembali. Dan itu wajar. Dalam Dhamma, kita tidak menolak perasaan itu, tapi kita tidak larut juga. Kita amati saja seperti awan:

“Sekarang aku merasa berat… oh iya, ini muncul karena aku masih berharap. Tapi perlahan-lahan, aku bisa mengendurkan genggaman ini.”

Lama-lama rasa sakit itu berubah jadi pelajaran, dan akhirnya jadi welas asih,  untuk diri sendiri, dan untuk semua makhluk yang juga sedang belajar melepaskan.

"Melepaskan adalah seni mencintai dengan cara yang membebaskan."
Sādhu 🙏🏼

3. Mengamati Sensasi Batin dan Reaksi (Vipassanā)

— Menyaksikan Keinginan Muncul, Bukan Langsung Mengikutinya

Poin ini adalah inti dari praktik meditasi dalam ajaran Buddha, khususnya Vipassanā — meditasi pandangan terang. Di sinilah kita tidak lagi hanya memahami konsep secara teori, tapi mengalami langsung bagaimana batin bekerja:
Bagaimana rasa suka muncul.
Bagaimana keinginan tumbuh.
Bagaimana ketakutan, kemarahan, cemburu, dan sedih mengambil alih.

Dan bagaimana… semua itu bisa dilihat, dirasakan, dilepas, tanpa harus dituruti.


Keinginan Selalu Dimulai dari Sensasi

Buddha mengajarkan bahwa keinginan dan kemelekatan tidak muncul tiba-tiba. Ia dimulai dari kontak indera, lalu memunculkan perasaan, dan akhirnya muncul tanha (nafsu keinginan).

Contoh sederhana:

  1. Kamu melihat seseorang yang kamu suka →

  2. Tubuh bereaksi: ada degupan, dada hangat, napas berubah →

  3. Muncul pikiran: “Aku ingin dia juga suka padaku”

  4. Lalu kamu mulai memikirkan cara agar dia membalas perasaanmu

Tanpa sadar, kamu sudah terikat.


Meditasi Vipassanā: Menyadari, Bukan Mengusir

Praktik Vipassanā mengajarkan kita untuk menyadari setiap sensasi batin dan tubuh saat itu juga. Kita tidak berusaha “menghilangkan” keinginan, tapi melihatnya bekerja, tanpa larut.

Contohnya:

  • Saat kamu merasa rindu yang menyakitkan: berhenti sejenak, duduk tenang, dan tanyakan ke tubuh:
    “Di mana aku merasakannya? Dada? Tenggorokan? Perut?”

  • Amati saja: sesaknya, hangatnya, berdenyutnya.

  • Lalu sadari: “Ini cuma sensasi. Ini muncul… bertahan… lalu nanti akan hilang.”

Dengan cara ini, kamu tidak lagi diperbudak emosi. Kamu jadi saksi, bukan korban.


 Melatih Diri untuk Tidak Reaktif

Banyak penderitaan kita bukan berasal dari apa yang terjadi, tapi dari reaksi kita terhadapnya.

Contoh:

  • Kamu lihat mantan upload foto dengan orang baru → rasa cemburu muncul → langsung stalking, baper, marah, insecure

  • Tapi kalau kamu sadar: “Oh, ini hanya dorongan batin. Aku sedang diseret.”
    Maka kamu bisa berhenti. Tarik napas. Dan membiarkan rasa itu lewat.

Ini seperti saat kamu berdiri di pinggir jalan melihat mobil lewat. Kamu tidak perlu naik ke setiap mobil. Kamu cukup lihat… dan biarkan mobil itu berlalu.

Begitulah cara melihat pikiran dan emosi dalam vipassanā.
Tidak larut. Tidak menolak. Hanya sadar.


Dari Sadar → Lepas

Saat kamu melatih menyadari sensasi dan reaksi ini terus-menerus, kamu akan mulai menyadari satu hal besar:

Semua hal yang kamu kejar ternyata hanya reaksi batin yang muncul sebentar… lalu hilang.

Dan dari situ, kamu mulai tidak tertarik lagi untuk menggenggam. Bukan karena dipaksa. Tapi karena kamu tahu:
“Kalau aku ikuti, aku menderita. Kalau aku biarkan, aku damai.”

4. Menumbuhkan Metta (Cinta Kasih yang Tidak Melekat)

— Mencintai Tanpa Mengikat, Mendoakan Tanpa Syarat

Salah satu praktik terindah dalam ajaran Buddha adalah metta bhavana — pengembangan cinta kasih. Tapi penting dipahami: metta bukan cinta yang posesif, bukan cinta yang ingin memiliki, dan bukan cinta yang harus dibalas.

Ini adalah cinta yang murni, lapang, dan membebaskan. Cinta yang berkata:

“Semoga kamu bahagia, apa pun pilihanmu. Bahkan kalau itu bukan bersamaku.”


Apa Itu Metta?

Kata metta berasal dari kata “mitta” (sahabat). Jadi metta adalah perasaan ramah, hangat, seperti sahabat sejati yang:

  • Tidak menghakimi

  • Tidak menuntut imbalan

  • Tidak minta dikasihani balik

Ini sangat beda dengan cinta biasa yang sering kita kenal (dan alami):

  • “Aku cinta kamu kalau kamu juga cinta aku”

  • “Aku sayang kamu asalkan kamu jangan berubah”

  • “Aku baik ke kamu karena kamu milikku”

Cinta seperti ini melekat. Tapi metta… membebaskan.


Bagaimana Menumbuhkan Metta?

Dalam praktik metta bhavana, kita melatih diri untuk:

  1. Mendoakan diri sendiri terlebih dahulu: “Semoga aku damai, semoga aku sehat, semoga aku terbebas dari penderitaan.”

  2. Lalu kepada orang-orang dekat: “Semoga ayah, ibu, sahabatku… bahagia dan damai.”

  3. Lalu kepada orang netral:
    Orang yang kita kenal tapi nggak dekat. Misalnya tetangga, kasir minimarket, supir ojek.

  4. Lalu kepada orang yang kita tidak suka: “Semoga dia juga damai… karena kalau dia bahagia, dia tidak akan menyakiti orang lain.”

  5. Lalu ke semua makhluk: “Semoga semua makhluk di segala penjuru… bebas dari kebencian, bahagia, dan damai.”

Lama-lama, hati kita jadi lembut. Bahkan pada mantan, pada orang yang menyakiti kita, pada orang yang berbeda dengan kita — kita tetap bisa mengirim doa:

“Semoga kamu baik-baik saja. Aku tidak ingin kamu menderita.”


Metta Itu Bukan Lemah — Justru Sangat Kuat

Banyak orang mengira bahwa cinta yang membiarkan itu lemah. Padahal justru metta adalah cinta paling berani. Karena:

  • Butuh keberanian untuk mencintai tanpa menuntut balasan

  • Butuh kekuatan untuk mendoakan kebahagiaan seseorang meski kita telah disakiti

  • Butuh hati yang luas untuk menerima bahwa orang yang kita sayangi punya jalannya sendiri

Metta itu seperti matahari: ia menyinari semua tanpa pilih-pilih. Ia tidak berkata, “aku hanya akan hangat pada bunga yang indah.” Ia menyinari semua, bunga, semak berduri, bahkan lumpur.


5. Menghayati Dukkha (Penderitaan dari Melekat)

— Ketika Luka Menjadi Guru, dan Sakit Menjadi Jalan Pulang

Salah satu cara paling mendalam untuk bisa melepaskan adalah mengalami sendiri betapa melekat itu menyakitkan. Bukan membaca dari buku. Bukan karena disuruh. Tapi karena kamu merasakan sendiri betapa capeknya menggenggam sesuatu yang terus berubah.

Inilah yang Buddha maksud dengan dukkha, yaitu penderitaan yang muncul dari harapan, dari keterikatan, dari perlawanan terhadap kenyataan. Dan justru dengan menghayati dukkha secara jernih, kita mulai menemukan kekuatan untuk benar-benar let go.


Apa Itu Dukkha?

Dalam bahasa Pali, dukkha artinya penderitaan, ketidakpuasan, atau ketegangan batin.

Tapi ini bukan cuma tentang “sedih”. Dukkha bisa halus, bisa sangat nyata:

  • Ketika kamu terlalu berharap… dan realita tak sesuai

  • Ketika kamu takut kehilangan… dan harus terus mengontrol

  • Ketika kamu menggantungkan kebahagiaan pada orang, benda, citra diri… dan semuanya goyah

Buddha mengajarkan bahwa selama kita melekat, dukkha pasti muncul. Karena semua hal yang kita lekatkan itu:

✧ Tidak kekal (anicca)
✧ Tidak bisa dikendalikan (anattā)
✧ Tidak memberikan kebahagiaan sejati (dukkha)

 

Mengapa Menghayati Dukkha Itu Penting?

Karena kita sering tidak benar-benar sadar bahwa kita sedang menderita. Kita pikir:

  • "Aku cinta dia, makanya aku cemburu"

  • "Aku cuma ingin sukses, makanya aku stres"

  • "Aku cuma sayang keluarga, makanya aku khawatir berlebihan"

Padahal di balik itu semua… ada kemelekatan. Dan di balik kemelekatan… ada dukkha.

🌿 Ketika kamu duduk diam dan merasakan:
“Aku capek berharap.”
“Aku capek takut ditinggal.”
“Aku capek membuktikan diri.”

Di situlah kamu mulai sadar:

“Oh… ternyata aku menderita karena aku menggenggam.”

Dan kesadaran ini tidak membuatmu lemah. Justru ini membuatmu berani melepaskan, karena kamu tahu:

“Kalau aku terus begini, aku terus sakit.”


Dari Sakit → Kejernihan → Pelepasan

Buddha tidak menyuruh kita menolak penderitaan. Tapi justru:

  • Duduk bersama penderitaan

  • Rasakan sepenuhnya, tanpa lari

  • Dan lihat: bahwa penderitaan ini muncul karena sesuatu yang kita pegang erat-erat

Ketika kamu bisa melihat luka batin dengan jernih, kamu tidak lagi ingin menghindari atau menutupi. Kamu justru berkata:

“Terima kasih, dukkha. Kamu mengajariku di mana aku melekat.”

Ini bukan masokisme. Ini adalah transformasi batin.
Rasa sakit bukan lagi musuh. Ia jadi cermin.
Dari cermin itu, kamu bisa melihat:

“Oke, ternyata aku menggantungkan harga diriku pada penilaian orang.”
“Ternyata aku menaruh seluruh kebahagiaanku pada satu orang.”
“Ternyata aku terlalu menggenggam masa lalu.”

Dan dari situ… kamu bisa perlahan melepas, dengan penuh welas asih.