Kadang aku merenung, betapa beruntungnya aku bisa mengenal dhamma dalam hidupku. Perjalanan ini membuat caraku memandang diriku sendiri berubah banyak. Dulu, pikiranku sering jadi penentu bagaimana aku merasa tentang diriku. Pikiran random datang silih berganti—ada yang manis, tapi sering juga getir. Ada bisikan dalam kepala yang bilang aku tidak cukup, tidak sempurna, atau tidak berharga.
Sekarang, aku tahu bahwa semua itu hanyalah pikiran lewat. Mereka muncul, tapi aku tidak harus percaya. Aku bisa memilih untuk tersenyum, membiarkan mereka pergi, tanpa menjadikan mereka kebenaran tentang siapa diriku.
Aku menyadari satu hal: aku sudah berusaha sebaik mungkin dalam hidup ini. Aku tidak jahat, aku berusaha menjalani hidup dengan benar. Jadi mengapa harus terus-menerus membebani diri dengan tuduhan dari pikiran sendiri?
Dhamma mengajarkanku bahwa semuanya akan berlalu. Pikiran, perasaan, bahkan badai di dalam hati—semuanya tidak permanen. Mereka datang, lalu pergi. Kalau aku sabar menunggu, semuanya akan mereda dengan sendirinya.
Sejak mengenal dhamma, aku juga belajar melihat kebahagiaan dengan cara berbeda. Aku melihat kebahagiaan secukupnya, tidak berlebihan. Karena kebahagiaan itu juga akan berlalu. Kalau terlalu melekat, pada akhirnya justru bisa berubah menjadi penderitaan versi tersembunyi—sebab saat sumber kebahagiaan itu hilang, kita bisa gelisah, kecewa, bahkan putus asa. Dengan memahami hal ini, aku jadi tidak mudah terseret arus. Aku bisa menikmati kebahagiaan apa adanya, sambil tetap sadar bahwa semua ini sementara.
Seperti kata ajaran: “Sabbe saṅkhārā aniccā” — segala sesuatu yang terkondisi adalah tidak kekal. Kesedihan, kegelisahan, rasa takut, bahkan kebahagiaan yang manis sekalipun, semuanya pun demikian.
Ada rasa lega yang besar ketika menyadari hal ini. Aku tidak lagi terjebak dalam drama pikiran sendiri. Aku belajar untuk hidup lebih ringan, lebih damai, dan lebih jujur dengan diriku.
Dan untuk itu, aku benar-benar bersyukur.
0 comments:
Posting Komentar