Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

5.04.2025

[5] Balada Eropa : Welcome to Paris ! Welcome to Iceland!

Setelah serangkaian keteledoran yang menguras mental—salah tanggal, ketinggalan kamera, dan puncaknya aku sampai menangis karena benar-benar lelah—akhirnya pesawat Turkish Airlines yang membawaku dari Istanbul ke Paris lepas landas juga. Rasanya bisa sedikit bernapas lega. Setidaknya aku duduk tenang di kursi, di ketinggian 30 ribu kaki, tanpa harus mikirin dokumen yang ketinggalan atau jadwal yang salah lagi.

Penerbangan ke Paris berlangsung sekitar 4 jam, dan sekitar satu jam setelah take-off, makanan disajikan. Nggak cuma mengisi perut, tapi juga sedikit menurunkan tensi emosiku yang sejak pagi udah naik-turun nggak karuan. Tapi tetap aja, pikiranku belum benar-benar tenang.

Soalnya begitu landing di Bandara Charles de Gaulle (CDG) sekitar jam 6 sore waktu setempat, aku harus segera pindah ke Bandara Orly (ORY)—tempat di mana pesawatku ke Reykjavik, Islandia akan berangkat. Dan itu bukan perpindahan yang dekat.

Aku sempat searching waktu itu dan kaget: jaraknya sekitar 47 km, dan tergantung moda transportasi yang kupilih, bisa makan waktu sekitar 1 hingga 1,5 jam. Waduh... kalau nggak sempat, artinya tiketku ke Reykjavik bakal hangus. Tiket murah yang kudapat dengan penuh perjuangan itu bisa hilang begitu aja, dan kalau harus beli ulang... ya ampun, rugi berapa lagi nih?

Aku sempat mempertimbangkan beberapa opsi:

  • Naik RER B + Orlyval, total waktu sekitar 1 jam 10 menit.
  • Atau yang paling cepat tapi mahal, naik taksi, yang bisa memakan waktu 40–50 menit, tapi biayanya bisa €80 sampai €100.
  • Ada juga bus antarbandara, tapi waktunya lebih lama dan terlalu riskan.

Kepalaku muter kayak gasing. Ini bukan cuma soal uang, tapi soal waktu, energi, dan mempertaruhkan kelanjutan seluruh itineraryku.
Tapi ya... ini petualangan. Dan petualangan sejati, selalu datang dengan rasa cemas, deg-degan, dan pilihan yang harus diambil cepat.

Sekitar jam 6 sore, akhirnya pesawatku mendarat dengan sangat mulus di Bandara Charles de Gaulle (CDG), Paris. Setelah semua drama dan ketegangan hari itu, momen roda pesawat menyentuh landasan terasa seperti kemenangan kecil. Tapi belum waktunya santai. Karena misi berikutnya belum selesai: ngejar pesawat ke Reykjavik di Bandara Orly.

Untungnya, aku nggak bawa bagasi tercatat. Jadi begitu pesawat parkir dan pintu dibuka, aku langsung jalan secepat mungkin keluar kabin, tanpa harus nunggu koper muter-muter di conveyor. Ini salah satu keputusan terbaik hari itu—bener-bener menghemat waktu.

Proses di imigrasi juga cukup cepat, walaupun tetap bikin deg-degan. Setelah itu aku langsung masuk ke area kedatangan, dan di sinilah tantangan berikutnya dimulai.

Bandara CDG itu besar banget. Terus terang, aku cukup bingung. Arah ke toilet, ke pintu keluar, ke tempat beli SIM card, dan yang paling penting... ke stasiun kereta—semuanya tampak seperti labirin. Nggak ada petunjuk yang benar-benar jelas untuk orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di sini dalam kondisi ngebut waktu seperti aku.

Di tengah kebingungan, mataku menyapu sekeliling dan tertuju pada seorang pria yang sedang berdiri sambil melihat ponsel. Dari penampilannya, dia tampak cukup educated dan approachable. Akhirnya aku putuskan untuk bertanya langsung ke dia.

"Excuse me, do you know how to get to Orly Airport?"

Itu kalimat pertamaku ke pria itu. Aku ucapkan dengan nada sopan tapi jujur aja, di dalam hati aku panik banget. Rasanya kayak minta pertolongan hidup atau mati.

Dia menjawab dengan ramah, menjelaskan kalau aku bisa naik kereta RER—entah RER B atau C, aku juga agak blur waktu itu. Karena jujur, aku nggak terlalu ngerti apa yang dia jelaskan. Kepalaku masih muter-muter dengan peta, gate, dan waktu yang semakin menipis.

Akhirnya aku tanya lagi, "Where can I take the train?"

Dan dia balik nanya, "What time is your flight from Orly?"

Aku langsung keluarin kertas e-ticket ke Reykjavik, yang udah aku print dari Indonesia, dan menunjukkannya ke dia. Wajahnya langsung berubah—seperti mulai memahami kekusutan dan keputusasaanku.

Pesawatku jam 10 malam, dan waktu itu udah hampir jam 7 malam.
Tiga jam mungkin terdengar lama, tapi untuk pindah bandara besar di kota sebesar Paris, itu mefet banget.

Dia hanya bilang,
"Okay. Let's come with me. I will show you."

Dia menyuruhku mengikutinya. Bukan cuma tunjuk arah, tapi dia benar-benar membimbingku melewati lorong-lorong bandara, masuk ke stasiun, beli tiket, sampai berdiri di peron menunggu kereta. Di saat aku nyaris kehabisan tenaga dan semangat, keberadaan orang ini rasanya seperti mukjizat kecil yang dikirim Tuhan malam itu.

Akhirnya, kereta yang dimaksud pria tadi datang. Dengan cepat dia menyuruhku masuk ke dalam. Tapi ternyata, dia tidak ikut naik kereta yang sama denganku. Sebelum pintu tertutup, aku melihat dia berbicara cepat dalam bahasa Prancis ke seorang bapak-bapak di belakangku. Dari gerak bibir dan intonasinya, aku bisa menebak dia sedang bilang sesuatu seperti,

"Orang ini akan turun di Bandara Orly. Tolong bantu ingatkan ya."

Bapak itu mengangguk dan tersenyum. Dia tampak ramah dan tenang, dan aku langsung merasa sedikit lebih aman.

Ya Tuhan, ini orang asing baik lagi. Semesta benar-benar tahu aku lagi butuh bantuan hari ini.

Kereta pun melaju. Di dalamnya cukup ramai. Ada yang berdiri, ada yang duduk sambil ngobrol pelan. Di tengah hiruk-pikuk itu, aku melihat seekor anjing duduk santai di kaki pemiliknya. Baru sadar—di Prancis ternyata hewan peliharaan boleh ikut naik kereta umum. Anjingnya anteng banget, seperti udah biasa naik kereta.

Sementara itu, bapak yang tadi juga ikut memperingatkan,
“Hati-hati dengan tasmu. Di sini banyak pencopet.”
Langsung refleks, aku menggenggam tasku erat-erat, terutama bagian yang menyimpan paspor dan tiket. Karena kalau sampai itu hilang... ya bisa tamat seketika. Seketika aku jadi super waspada, tiap ada orang mendekat, mataku siaga. Tapi tetap sambil berdoa semoga semua lancar.

Perjalanan ke Orly Airport memakan waktu sekitar 45 menit. Dan saat kereta melambat di sebuah stasiun, bapak itu menoleh ke arahku dan berkata,
“This is your stop. Orly Airport.”
Aku mengangguk, mengucapkan terima kasih berkali-kali, dan segera turun. Dari situ, aku mengikuti petunjuk naik ke bagian terminal bandara.

Di titik ini, aku nyaris nggak percaya. Setelah semua kekacauan hari itu, aku akhirnya sampai juga di Orly AirportDan yang membawaku sampai ke sini bukan cuma peta atau Google Maps, tapi kebaikan dua orang asing yang nggak kenal aku, nggak punya kepentingan apa-apa—tapi tetap mau bantu.

Sampai di Orly Airport, aku sadar waktu benar-benar mepet. Nggak ada waktu buat leha-leha atau ngaso. Aku langsung meluncur ke area keberangkatan, nyari counter check-in buat penerbanganku ke Reykjavik.

Ternyata check-in dilakukan melalui mesin mandiri. Aku pun berdiri di depan layar besar, mulai mengikuti instruksi satu per satu. Tapi ya gitu... di tengah proses check-in, aku mulai galau banget.
“Aku perlu beli bagasi nggak, ya?”

Karena tiketku hanya mencakup bagasi kabin, aku mulai parno—jangan-jangan tasku terlalu berat atau terlalu besar, terus nanti malah kena charge tambahan di gate atau bahkan dilarang masuk kabin? Dan itu jelas akan jadi drama baru yang nggak aku butuhin malam itu.

Aku sempat berdiri lama banget di depan mesin check-in. Bolak-balik baca tulisan di layar, tapi makin dibaca makin bingung. Di saat itulah, seorang pegawai bandara datang menghampiri. Dia melihat ekspresiku yang kebingungan dan langsung menawarkan bantuan.
Tanpa banyak tanya, dia bantu aku menyelesaikan proses check-in.

Waktu aku tanya,
“Do I need to buy baggage?”
Dia langsung menjawab tegas,
“No, it’s okay. Just go straight to security check.”

Aku sempat ngedip beberapa kali, antara lega dan masih nggak yakin. Tapi dia tersenyum dan ngangguk meyakinkan.
Oke, aman. Nggak perlu beli bagasi.
Langsung aja aku ambil boarding pass dan melangkah cepat ke pemeriksaan keamanan. Rasa cemas pelan-pelan tergantikan dengan rasa... ya ampun, akhirnya tinggal boarding!

Tapi ternyata... perjuangan belum selesai.

Waktu aku sampai di depan vending machine, niatnya sih tinggal pencet-pencet, bayar, lalu minum. Tapi ya... kenyataannya jauh dari ekspektasi.
Tiba-tiba aku bingung sendiri. Banyak tombol, tulisan dalam bahasa Prancis, dan... orang di sekelilingku tuh banyak banget.

Langsung muncul tuh perasaan familiar yang suka datang di saat-saat genting:
anxiety.
“Aduh, jangan-jangan mereka ngeliatin aku. Ini anak kampungan banget sih, beli air aja bingung…”

Karena makin panik dan takut salah pencet, akhirnya aku mengalah pada keadaan. Aku dekati seorang laki-laki muda, dan dengan wajah memelas aku bilang,
“Could you help me with that machine?”
Untungnya dia baik banget. Dia bantu aku pilih tombol, masukkan uang, dan... cling! Botol air mineral akhirnya keluar dari mesin.

Tapi pas aku lihat harganya...
2 EURO. Dua. Euro.
Sekitar 34 ribu rupiah hanya untuk sebotol air mineral!
Aku terdiam sebentar. Bukan karena nggak rela, tapi karena kaget aja.
Baru sadar setelah botolnya udah di tangan.
“LOH. INI 2 EURO??”

Tapi ya sudahlah. Aku tarik napas, terus berkata ke diri sendiri,
"Yaudah lah. Yang penting sekarang aku aman, udah punya air."
Karena pesawat yang akan kutumpangi ini bukan full service airline—nggak ada makanan, nggak ada minuman gratis. Jadi, punya air sendiri itu bentuk pertahanan hidup.

Dan akhirnya, aku mengikhlaskan 2 Euro itu.Anggap aja harga dari sebuah rasa aman dan tenang.

Akhirnya, proses boarding dimulai. Aku ikut antre bersama penumpang lain, dan perlahan melangkah masuk ke pesawat yang akan membawaku ke salah satu tujuan paling jauh dan paling unik yang pernah kupilih: Reykjavik, Islandia.

Kali ini aku dapat kursi di aisle, dekat gang. Nggak masalah. Justru lumayan enak buat selonjor kaki atau gampang kalau mau ke toilet.
Dan karena ini penerbangan malam, dan jadwal landing sekitar jam 2 pagi, aku mencoba untuk tidur selama penerbangan. Tapi ya... seperti biasa, tidur di transportasi itu bukan keahlianku. Kepala miring ke kiri, ke kanan, sandaran tangan dijadiin bantal darurat, tapi tetap nggak bisa benar-benar tidur.

Penerbangan berlangsung sekitar 3 jam, dan kami melewati perairan luas Samudra Atlantik Utara. Di luar jendela gelap total, hanya sedikit titik-titik cahaya dari kabin yang memantul di kaca. Dan di dalam pesawat... badanku udah kayak melayang. Ini malam kedua aku nggak tidur sama sekali, dan rasanya benar-benar aneh. Antara ngantuk berat tapi susah tidur, lemas, dan overwhelmed, tapi juga excited.

Karena ini Islandia.
Negara terpencil, jauh di utara, asing, dan buatku—paling jauh yang pernah kukunjungi sejauh ini.

Di sela-sela setengah sadar dan tidur ayam, pikiranku dipenuhi rasa penasaran. "Kayak apa ya Reykjavik itu? Kayak apa ya Islandia sebenarnya?" Soalnya dari yang aku lihat-lihat di Google sebelum berangkat, negara ini terlihat luar biasa indah dan surreal. Seolah bukan bagian dari bumi biasa.

Dan akhirnya, sekitar pukul 2 pagi, pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Keflavik.

Aku menatap ke luar jendela. Gelap, sepi, dan dingin.

Tapi di hatiku ada satu perasaan yang pelan-pelan tumbuh:
“Aku sampai juga. Ini Islandia......”

Karena Islandia ini juga termasuk dalam Zona Schengen, maka aku sudah tidak melewati imigrasi lagi. Jadi penerbangan ini jatuhnya seperti penerbangan domestik aja. Imigrasi clearance dilakukan di negara Schengen pertama tempat kita landing, dimana untuk kasusku di Paris kemarin malam.

Aku segera melangkah masuk ke area kedatangan internasional, bergabung bersama para penumpang lainnya. Pada titik ini, aku sudah memutuskan: untuk beberapa jam ke depan, aku akan mencoba tidur di bandara. Alasannya sederhana—saat itu masih pukul 2 pagi, sementara bus umum Strætó rute 55 yang akan membawaku ke hostel di Kota Reykjavik baru berangkat paling pagi pukul 6.30. Sebenarnya ada alternatif lain, yaitu Flybus, yang jadwal keberangkatannya menyesuaikan dengan waktu kedatangan pesawat. Artinya, aku bisa langsung naik bus pada pukul 3 pagi itu juga. Tapi harganya mahal—nyaris dua kali lipat dari bus umum. Lagipula, aku belum bisa check-in ke penginapan karena booking-an baru aktif hari ini, dan waktu check-in baru diperbolehkan mulai pukul 2 siang.

Jadi, setelah mempertimbangkan semuanya, aku mengambil keputusan paling realistis dan ramah di kantong: mencoba tidur di bangku area kedatangan. Aku berharap ada traveler-traveler lainnya yang melakukan hal serupa, jadi aku nggak selonjoran sendirian.

Ketika rombongan penumpang mulai berangsur menyebar, suasana di area kedatangan menjadi cukup tenang. Masih ada beberapa orang lain yang duduk-duduk seperti aku—mungkin sesama traveler dengan nasib serupa: datang terlalu pagi untuk langsung melanjutkan perjalanan. Setelah berkeliling sejenak, akhirnya aku menemukan spot yang terasa cukup nyaman. Sambil duduk, aku mencolokkan HP-ku ke stopkontak di dinding, berharap baterainya bisa cepat terisi. Tapi ya... seperti yang sudah kusampaikan sebelumnya, charger yang kubeli di Bandara Juanda ternyata tidak kompatibel dengan HP Infinix Hot Note-ku. Alhasil, proses pengisian dayanya pun berjalan sangat lambat. Ah yasudahlah.. terima takdir. Yang penting masih bisa di charge.

Sambil menunggu HP nge-charge, aku mencoba berbaring di lantai bandara yang dingin, berharap bisa terlelap walau hanya 2–3 jam. Soalnya, aku sudah dua malam tidak tidur sama sekali. Huhuhu… malam pertama begadang dalam perjalanan pesawat KL–Istanbul, dan malam kedua begadang di penerbangan Paris–Reykjavik. Tapi hasilnya nihil—aku hanya terus membolak-balikkan posisi. Seperti biasa, aku memang paling susah tidur kalau bukan di atas kasur. Apalagi ini di bandara, lantainya dingin, lampu menyala terang sepanjang waktu. Jadi ya… hanya sempat tidur-tidur ayam.

Tapi anehnya, tubuhku seperti masih punya energi cadangan. Kepala nggak pusing, badan nggak limbung. Justru aku merasa semacam euforia aneh—semangat dan deg-degan sendiri. Kayak, “Wow, aku beneran di Islandia nih. Sejauh ini aku pernah pergi, dan sendirian pula.”

Bayangan akan pemandangan yang bakal kutemui hari itu justru membuatku semakin sulit memejamkan mata. Hari ini aku memang sudah menjadwalkan diri untuk langsung mengikuti Grand Circle Tour—salah satu day tour paling populer di Islandia. Tur ini mencakup tiga destinasi utama yang benar-benar merepresentasikan keindahan dan keunikan alam negeri ini: Taman Nasional Þingvellir, kawasan bersejarah yang terletak di antara dua lempeng tektonik besar; Geysir Geothermal Area, tempat aku akan menyaksikan semburan air panas Strokkur yang meledak setiap beberapa menit; dan Gullfoss, air terjun megah bertingkat dua dengan suara gemuruh yang menggema dan kabut air yang terasa hingga ke tempat berdiri. Dalam beberapa variasi tur, biasanya juga diselipkan kunjungan ke Kerið Crater, sebuah kawah vulkanik berwarna kemerahan dengan danau biru kehijauan di tengahnya—sebuah lanskap yang tak kalah dramatis.

Sekitar pukul setengah enam pagi, langit mulai sedikit terang. Aku pun memutuskan turun ke lantai bawah, mendekati area pintu keluar bandara. Ternyata suasananya jauh lebih ramai di sana. Aku menyempatkan diri mampir ke toilet terlebih dahulu untuk sikat gigi dan cuci muka. Setelahnya, aku mencari tempat duduk yang cukup nyaman untuk menyiapkan sarapan darurat ala backpacker: roti tawar yang kuolesi dengan bubuk Milo. Yup, bubuk Milo langsung kutabur begitu saja di atas roti. Wkwk. Rasanya? Lumayan juga—manis dan bertekstur. Setidaknya cukup untuk meredam perut yang sejak tadi sudah berbunyi tak sabar.

“Syukurlah… perut sudah aman. Buat jaga-jaga kalau nanti nggak sempat sarapan,” gumamku dalam hati sambil mengunyah potongan roti terakhir, yang kemudian kuteguk dengan air segar dari keran yang baru saja kuisi.

Kemudian aku tersadar bahwa meskipun Islandia termasuk dalam kawasan Schengen, mereka tidak menggunakan mata uang euro. Negara ini punya mata uang sendiri, yaitu Icelandic Krona (ISK). Jadi aku kembali memutari area kedatangan internasional untuk mencari Money Changer, dan kemudian menukarkan beberapa ratus euro ke ISK. Nilai tukarnya lumayan bikin nyut-nyutan, tapi aku sudah siap mental—karena memang Islandia terkenal sebagai salah satu negara dengan biaya hidup termahal di Eropa.

Setelah urusan tukar-menukar selesai, aku langsung bertanya ke petugas bandara dimana aku bisa membeli tiket untuk naik bus umum. Kebetulan sebelumnya aku memang sudah browsing, dan informasinya tiket bus bisa dibeli di minimarket di area kedatangan, bukan vending machine seperti di negara-negara Eropa daratan.

Aku segera meluncur ke minimarket yang dimaksud. Ternyata sistem tiket bus di Islandia cukup unik—mereka pakai sistem zonasi. Jadi, semakin jauh jarak tujuanmu, semakin banyak zona yang harus kamu bayar. Karena tujuanku adalah BSÍ Terminal yang berada di pusat kota Reykjavík dan termasuk dalam lima zona dari bandara, maka aku harus membeli lima tiket sekaligus.

Total biayanya sekitar Rp 225.000 kalau dikonversikan ke rupiah. Aku bayar pakai ISK hasil penukaran tadi. Sebenarnya menurutku hitungannya mahaaal ya... karena ini kan bus umum. Dimana biasanya di negara lain transport umum itu murah-murah banget. Tapi yaa kembali lagi, ini Islandia. Salah satu negara dengan biaya hidup termahal di dunia.

Menjelang pukul 6.30, aku berdiri dan untuk pertama kalinya melangkah keluar dari bangunan bandara untuk menuju ke halte bus. Dan boom—aku langsung disambut oleh udara dingin yang menusuk. Beneran dingin banget! Padahal ini sudah awal musim panas ya, tapi rasanya kayak sedang masuk kulkas hidup-hidup. Aku cuma pakai jaket yang… ya, nggak bisa dibilang tebal, tapi juga nggak tipis-tipis amat, sehingga membuatku cukup menggiggil. Langit juga sedang mendung pagi itu, seperti habis hujan semalam. Jalanan dan trotoarnya masih agak basah, dan udara punya aroma khas—bau dingin, lembap, bersih, dan asing. Aku berjalan cepat menuju halte bis yang sudah diberi penanda jelas, sambil merapatkan jaket dan menahan gigil.

"Waduhhh... dingin banget.. Jangan-jangan aku salah kostum ini. Haduh semoga nanti siang hujannya berhenti dan sedikit lebih hangat," kataku dalam hati sambil merapatkan jaket.

Sembari berjalan tiba-tiba aku menemukan patung empat sosok manusia yang terbuat dari aluminium. Setelah aku browsing, patung itu ternyata adalah karya berjudul "Directions" (Áttir), diciptakan oleh seniman Islandia Steinunn Þórarinsdóttir. Instalasi ini terdiri dari empat sosok manusia yang terbuat dari aluminium, masing-masing menghadap ke salah satu dari empat arah mata angin. Patung-patung ini berdiri di atas kolom basal Islandia, menciptakan kesan kuat tentang perjalanan dan pencarian arah dalam kehidupan. Menurut sang seniman, karya ini menggambarkan bahwa dalam hidup, kita semua bisa kehilangan arah, dan penting untuk menemukan jalan yang benar kembali. Karya ini pertama kali dipasang pada tahun 2007 di area komersial terminal Leifur Eiríksson, dan kemudian dipindahkan ke luar pintu kedatangan pada tahun 2017. Dengan tinggi sekitar tiga meter, patung-patung ini menjadi simbol yang kuat bagi para pelancong yang tiba atau berangkat dari Islandia

Sampai di halte bus, untungnya aku tidak harus menunggu lama. Bus Strætó rute 55 datang tepat waktu. Warnanya mencolok, dan begitu masuk ke dalam, aku merasa seperti kembali ke pelukan hangat. Kursinya empuk, pengemudinya ramah, dan perlahan bus mulai berjalan menyusuri jalanan sepi menuju Reykjavík. 

Begitu bus mulai bergerak meninggalkan Bandara Keflavík, aku langsung terpaku pada jendela. Kursi yang hangat dan suasana tenang di dalam bus jadi pelengkap sempurna untuk menikmati perjalanan pertamaku di Islandia. Di luar, gerimis halus terus menetes, membentuk pola-pola acak di kaca jendela yang seolah ikut menari mengikuti ritme bis yang melaju perlahan. Langit kelabu, dan semuanya terasa sendu tapi memikat.

Perjalanan menuju Reykjavík memperlihatkan transisi yang menarik—dari jalan raya lengang yang dibingkai bukit landai dan rumput hijau basah, masuk ke kawasan perumahan yang modern tapi tetap tenang, hingga perlahan mulai tampak gedung-gedung apartemen berarsitektur kontemporer. Semuanya tampak tertata rapi, bersih, dan... sepi. Tidak ada hiruk-pikuk. Bahkan kendaraan pun lewat hanya sesekali, melaju dengan tenang di jalanan yang basah dan nyaris tanpa suara.


Sesekali kami melewati rumah-rumah khas Islandia yang berwarna netral—abu-abu, putih, atau krem pucat—dengan desain sederhana dan jendela berjajar rapi. Di antara deretan rumah dan bangunan kota, terlihat juga toko-toko kecil, seperti minimarket lokal berwarna mencolok yang sempat kutangkap dalam satu jepretan. Rasanya semuanya terlihat imut, rapi, dan serasi dengan alam sekitarnya.

Perjalanan ini memakan waktu sekitar 45 menit. Ketika bus mulai melambat dan akhirnya berhenti di halte, aku melirik ke luar jendela. Di sudut mataku, tertangkap sebuah papan bertuliskan “BSI Terminal”—tulisan yang awalnya bikin aku agak bingung. Aku sempat ragu, “Ini bener nggak ya?” Tapi kemudian aku segera bertanya ke sopir, “Is this BSI Bus Terminal?” Dia mengangguk sambil menjawab singkat, “Yes.” Oke, mantap. 

Aku langsung masuk ke dalam gedung Terminal dan menemukan spot yang sinyal wifinya cukup kuat. Begitu berhasil connect, aku buru-buru buka Google Maps dan cek rute jalan kaki menuju penginapanku pagi itu: Bus Hostel Reykjavík. Jaraknya ternyata sekitar 950 meter, alias cuma 10–12 menit jalan kaki. Rutenya juga cukup simpel, menyusuri trotoar utama dan melewati beberapa pertigaan kecil di lingkungan yang tenang.

Iya, sebenarnya cukup aneh dan nekat sih aku tidak membeli paket internet. Padahal ini aku lagi travelling di Eropa, di Islandia lagi, tapi entah kenapa tidak berminat beli paket internet. I don’t know why. Mungkin karena selama 2 hari kedepan aku bakal mengikuti day tour yang semuanya sudah diatur, dan hanya 1 hari aja yang bakal eksplor sendiri. Jadi aku bisa  mengandalkan wifi gratis aja . Untungnya Islandia cukup ramah buat traveler mandiri kayak aku. Banyak jaringan wifi gratis tanpa password, termasuk di dalam terminal BSÍ ini.

Setelah tahu arah yang benar, aku segera keluar dari terminal dan mulai jalan kaki sambil merapatkan jaket—udara masih dingin dan lembab karena hujan tipis sejak subuh tadi. Trotoarnya bersih, dan suasana kota Reykjavík saat itu terasa tenang banget. Nggak banyak kendaraan lewat, hanya ada beberapa orang lokal yang juga berjalan kaki atau bersepeda.

Beberapa menit kemudian, saat sedang menyeberang jalan, aku sempat ketemu dua traveler bule yang sedang berjalan kaki. Aku bertanya, “Hi, excuse me, do you know where is the way to Bus Hostel?” Salah satu dari mereka langsung menjawab sambil menunjuk ke arah kanan, “Right there.” 

Aku mengikuti arah yang dia tunjukkan. Dan benar saja, setelah sekitar sepuluh menit menyusuri jalan yang basah dan sedikit menanjak, akhirnya aku melihat bangunan putih sederhana dengan papan nama bertuliskan Bus Hostel

Aku masuk dan menemui resepsionis yang sedang berjaga pagi itu. 

“Hi, I have a booking for three nights starting today. But I have a tour this morning—can I leave my big bag here first? I’ll check-in later when I get back.” 

Resepsionisnya ramah banget, dia langsung mengangguk dan bilang boleh. Dia memberiku kunci kayu untuk memasuki ruang penitipan tas.

Tapi baru aja mau melangkah—bahkan belum sempat duduk atau menarik napas panjang—tiba-tiba ada seorang wanita masuk ke lobi dan langsung bertanya ke resepsionis,

"Do you have guest with name Galuh Pratiwi?"

Ohh.. aku langsung tau itu perwakilan dari Bus Travel Iceland yang menjemputku pagi ini,

"Oh it's me. One minute, I will leave my bag in the locker room,"

"Oke, I'll wait in the van," jawab wanita itu ramah.

Duh, belum sempat istirahat, belum sempat mandi, belum sempat rebahan. Tapi ya gimana, tour sudah terjadwal. Adventure awaits!

Akhirnya aku buru-buru meletakkan tasku di ruangan tas. Setelah memastikan membawa semua barang penting di tas kecil, aku langsung keluar dan masuk ke van hitam yang sudah parkir di depan hotel. 

'Here we go, dua hari nggak tidur mau langsung berpetualang. Mantap! Semoga aku nggak pingsan wkwkwk...' seruku dalam hati.

0 comments:

Posting Komentar