Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

10.07.2013

[1] FILIPINA TRIP: Dari mendarat tengah malam, kakiku diraba-raba, sampai digandeng Nelson!

Part Sebelumnya : Disini

Beberapa hari sebelum ke Filipina, aku sempat diberi tahu dua temanku untuk waspada dan hati-hati pas di sana, karena katanya banyak orang jahat (bahkan bawa pistol) dan kriminalitas cukup tinggi. Jujur, nasehat itu bikin aku agak keder, apalagi ini pertama kalinya aku ke Filipina dan aku pergi sendirian. Tapi aku berusaha berpikir positif atas semua itu dan menekadkan langkahku menuju negara bekas jajahan Spanyol ini.

Aku seorang backpacker dan aku harus berani!! Saat itu yang membuat keberanianku meningkat drastis adalah pikiran begini: “Gimana kalau nanti aku dapat kesempatan menjelajah Afrika, Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan aku harus melakukannya sendirian? Masak yang masih di satu regional aja aku udah takut?”

Tanpa berpikir panjang, aku langsung bikin rencana perjalanan.

Diosdado Macapagal International Airport, setelah mendarat gan..
Sumber: dokumentasi pribadi

Seperti biasa, dihadang imigrasi dulu..
Sumber: dokumentasi pribadi

Tengah malam. Ya, jam dua belas lebih dikit waktu Filipina (setara WITA), akhirnya aku mendarat di Filipina tepatnya di Diosdado Macapagal International Airport, Angeles City. Btw, berdasarkan hasil browsing sebelum berangkat, bandara ini masih sejauh 85 km dari Manila. Jadi saat itu pilihannya ada dua: tidur di airport nunggu pagi, atau langsung naik bus malam itu juga ke Kota Manila.

Dengan dorongan temen baruku di pesawat asal Malaysia, Rusli, aku akhirnya memilih untuk langsung naik bus ke Manila. Harga tiket busnya 400 peso (sekitar 80 ribu rupiah, Februari 2013). Busnya cukup nyaman, kursinya lebar dan ber-AC.

Kenampakan bus Philtranco yang membawaku dari bandara ke Manila
Sumber: weekendhaven.com

Jujur aku sempat bertanya-tanya dalam hati: nanti aku bakal diturunin di mana? Apakah terminalnya masih sepi dan gelap? Gimana kalau aku ditodong? Diculik? Diperkosa? Hahaha, semua pikiran itu sempat berkelebat di benakku dan bikin aku merinding disko! Matilah aku!!

Untungnya Rusli mulai tanya-tanya ke supir, di mana aku bisa diturunkan. Supirnya balik nanya aku mau ke mana. Aku jawab mau ke Kota Vigan, dan akhirnya dia bilang bakal nurunin aku di pool bus yang menuju ke Vigan. Singkatnya begitulah obrolan kami.

Btw, si Rusli ini nggak berhenti ngoceh: “wah, seandainya saye nggak sudah janji sama temen saye buat nyelem di Batangas, saye bakal nemenin kamu selama di Filipin.” AJE GILEEEE... bukannya aku nggak mau travel bareng temen baru, tapi Rusli ini udah bapak-bapaaaakkk. Aduh, gimana nanti nasibku?? Bwahahahaha.

Loncat cerita, kebaikan orang Filipina aku rasain pertama kali waktu ngobrol sama supir bus ini. Sewaktu dia bilang bakal nurunin aku di pool bus yang mau ke Vigan, dia ngomong: “Wah harusnya nih ya neng 450 peso, tapi it’s oke lah. Nevermind. For you which so cute and sweet.” (Kalimat terakhir langsung aku tambahin sendiri #langsung_ngaca 🤭). Saat itu aku yang habis ditipu supir taksi fu*k di Kuala Lumpur langsung bersyukur banget. “Wuuuaahh… ternyata masih ada juga orang baik, nggak mata duitan.” Mungkin dia kasihan sama aku kali ya, kecil, kurus, sendirian bwahahaha. Senjata memelas ini bakal kepake lagi nanti waktu aku ditipu drastis kedua kalinya di Manila—itu ada bagiannya sendiri ntar.

Selama di bus, aku masih ngobrol basa-basi, tawa-tiwi sama Rusli. Seru sih denger cerita bapak-bapak udah ke mana-mana… sampai tiba-tiba dia NARUH TANGANNYA DI PAHA AKU!! Cetaaarrrrr!! Rasanya kayak disambar petir. Langsung ilfeel, pengen nendang, pengen nonjok. “WOY, LO PIKIR AKU SIAPEEE??” Aku buru-buru menyingkirkan tangannya, langsung diem seribu bahasa. Tas aku pangku buat nutupin kaki, pandangan lurus ke depan, nggak berani tidur. Bus makin lama makin sepi, mata udah berat banget tapi aku tahan setengah mati, takut Rusli kurang ajar lagi.

Kewaspadaanku makin terusik ketika Rusli tiba-tiba minta minjem setengah jaketku (maksudnya jaket kupakai setengah, dia setengah—karena aku waktu itu make jaket model depan). Dia kedinginan, nggak bawa jaket. Ke-ilfeel-anku makin nambah. Aku kasih aja jaket biar dia pakai sendiri—mending aku kedinginan daripada harus pakai berdua #jiaaahhh. Tapi dia nolak, akhirnya aku tetap pakai sendiri. Wuaaaaah, kapan bus ini nyampe Manila???

03.30 am
Dua jam penuh kewaspadaan dan penderitaan itu akhirnya berakhir juga saat Rusli turun di pool bus menuju Batangas. Wuuuaahh, aku mendesah lega dan mencoba tidur, tapi rasa ngantuk keburu hilang. Akhirnya aku ngobrol banyak sama supir bus. Kebetulan aku duduk di kursi paling depan.

“Neng, sebenarnya saya nggak lewat pool bus ke Vigan. Tapi nggak papa saya bakal turunin neng di sana.”
#Wuaaahh, Bapak baik beneeer. Udah kasih diskon, sekarang malah mau nganterin. #mulaiNgefansOrangFilipina #kebaikanOrangFilipinaNomor1

Sepanjang sisa perjalanan, aku ngobrol sama pak supir ini. Dia bilang namanya, tapi aku lupa. Pokoknya namanya Indonesia banget deh. Eh tunggu… kayaknya Andy! Iya, Andy! Deal, namanya Andy! #superpenting 🤣. Andy yang baik hati ini banyak nanya: aku ke Filipina ngapain, kuliah apa, kasih rekomendasi kota-kota yang wajib dikunjungi, pokoknya kepo banget. Singkat cerita aku pun nyampe di pool bus dan mengucapkan selamat tinggal buat Andy. Hikz, Andy, have a good life always.

Saat itu masih pagi buta tapi pool sudah ramai dengan orang-orang yang nunggu bus. Setelah gosok gigi dan makan pop mi lokal (rasanya persis Pop Mie Indonesia), aku bertanya di tiket booth kapan bus ke Vigan berangkat. “Jam 5 pagi sama 5 sore, neng.” Yaudah aku bilang beli yang jam 5 pagi, eh ternyata harus minimal 1 jam sebelum berangkat baru bisa beli. Owalah, yaudah aku nunggu.

Sambil nunggu aku iseng cek berapa peso yang aku bawa—soalnya lupa. Setelah memastikan nggak ada yang kepo, aku keluarin dompet rahasia dan mulai menghitung.

2000… 2500… 3000 peso.

What the… aku cuma bawa 3000 peso!! Itu setara cuma 750 ribu rupiah buat 4 hari. Padahal tiket bus Vigan–Manila PP aja udah 300 ribu, belum nginep, makan, transport lokal. Pikiran awalku aku bawa 1,3 juta rupiah. Langsung lemas tak berdaya. Aku pun menata ulang itinerary. Pilihan hanya dua: tetap ke Vigan tapi duit terancam kurang, atau habiskan 4 hari ini di Manila. Aku akhirnya pilih opsi kedua. Itinerary penuh kota-kota aku sobek, buang, nggak mau dipikirin lagi. #HiksSomedayVigan

Menunggu itu membosankan, ungkapan itu sangat benar. Pool bus ini nggak ada yang bisa dilakukan selain gosok gigi, makan pop mie, beli tiket. Aku pun coba tidur selonjoran di kursi panjang. Satu jam kemudian si abang tiket bangunin aku:

“Neng, itu bus yang ke Vigan. Jadi beli nggak?”

Waduuuh abang, pengeeenn… tapi duit aku kuraaanggg. Dengan mantap aku bilang: “I’ll take evening bus, bang.”

“Oke lah neng, tidur lagi aja.”

Wuaaaahh, kenapa abang ini baik banget sampai bangunin aku buat beli tiket?? Baru kali ini aku ngalamin hal kayak gini #airMataAnakKucingMulaiKeluar. Aku coba bayangin di negara lain, mana ada yang peduli kayak gini??
#KebaikanOrangFilipinaNomor2

 
Pool bus yang takkan terlupakan...
Sumber: dokumentasi pribadi

Singkat cerita, saat si abang tiket bangunin aku ini, ternyata ada seorang abang di depan kursi yang kepo. Kekepoannya karena kami tadi ngobrol pakai bahasa Inggris patah-patah, jadi jelaslah aku ini orang asing. Dia pun mulai memperkenalkan diri: namanya Nelson Carrera (#oke ini nama Filipina dari Spanyol, sekarang aku yakin#). Nelson cukup hangat dan supel, kami pun langsung nyambung ngobrol. Aku jadi nyaman ngobrol-ngobrol sama teman baru ini.

Setelah ngobrol panjang, barulah aku tahu kalau dia sudah menikah dan sedang menunggu istrinya mendarat dari Hong Kong—pool bus ini memang dekat bandara Ninoy Aquino—JAM 1 SIANG. Badalah bang brudul-brudul, ngapain dari pagi buta udah nongkrong di pool bus coba??? Padahal rumahnya aja di Manila. Ah, aku pikir dia agak aneh aja, jadi aku berusaha menghilangkan rasa curiga.

Wuaaaah, akhirnya ketidaksabaranku terbayar juga ketika matahari perlahan naik dan mulai menerangi cakrawala kota Manila. Nelson tanya aku mau ke mana, aku jawab mau ke penginapan namanya Friendly Backpacker Guest House. Dia pun langsung nanya ke pool taksi pakai bahasa Tagalog—sambil dengan bangganya bilang kalau aku ini mining engineer! Dia bahkan ngomong ke setiap orang yang dia temui kalau aku mining engineer, sampai aku malu sendiri. Padahal aku jelasin kuliahku geologi, dan contoh kerjaannya ya bisa di mining atau petroleum. Eh, dia ngomong seakan-akan aku udah engineer beneran, padahal muka masih kusut, ngantuk, lecek… mana ada engineer model gini hahaha.

Btw, taksi itu sempat nawarin 300 peso buat ke hostel, tapi karena keuanganku agak krisis aku nolak. Nelson dengan setia pun mencarikan alternatif transportasi lain. Kami berjalan membelah kota Manila yang mulai sibuk. Aku baru sadar ternyata wajah orang Filipina itu persis banget kayak orang Indonesia. Jadi ya wajahku nggak kelihatan asing, alias nggak ada yang ngeliatin aku macam artis di sini bwahahaha.

Nelson sempat ngajak aku ngecek hotel (namanya lupa) buat jaga-jaga kalau aku mau nginep di sana. Lagi-lagi dia ngomong ke resepsionis kalau aku mining engineer 🤦‍♀️. Tapi ternyata hotel itu full dan tarifnya semalam 1300 peso (sekitar Rp280 ribu). Aje gileee, untung full! Kalau enggak, tidur doang nggak makan aku! Aku sempat nggak enak hati merepotkan Nelson, tapi dari wajahnya sama sekali nggak kelihatan kesal. Jadi aku pikir dia memang ikhlas bantuin aku. Baik banget abang ini.

Setelah aku bilang kalau aku pengen nginep di hostel murah (300–400 peso semalam) di Friendly Backpacker Guest House, Nelson lalu mencarikan alternatif transportasi: kereta LRT. Lucunya, di jalan menuju stasiun karena dia khawatir aku ketinggalan—dia jalannya cepet banget—dia sempat gandeng tanganku. Aku sih berusaha berpikir positif dan nggak merasakan hawa aneh, jadi cuek aja meski awalnya kaget. Tapi orang-orang di sekitar jelas nggak cuek: mereka pada mandangin, yaelah sumpah aku malu hahaha.

Ternyata setelah ditanya ke petugas LRT, hostelku itu memang terletak di distrik Makati. Naik LRT cuma 12 peso (sekitar Rp3 ribu). Di setiap stasiun LRT tas kita diperiksa manual dengan detail, tapi karena aku orang asing, tasku nggak diperiksa ketat. Nelson bahkan sempat nawarin mau nganterin sampai ketemu hostel, tapi aku menolak dengan halus. Aku mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas bantuannya, lalu berpisah.

Huft, good bye Nelson.
#KebaikanOrangFilipinaNomor3

Stasiun LRT EDSA, Manila. Secara umum mirip BST Bangkok hanya jalannya lebih lambat..
Sumber: tripadvisor.com 

Singkat cerita, aku pun sampai di Stasiun Querreno (Distrik Makati) dan lanjut naik cycle rickshaw ke hostelku. Aku beruntung banget karena bisa dapat kamar mix dorm AC (padahal aku nggak prebook, jadi kemungkinan besar bisa nggak dapat kalau penuh) dengan harga per malam 395 peso (sekitar Rp80.000) untuk 3 hari ke depan.

Aku kebagian bunk bed posisi kasur atas. Setelah saling say hello singkat dengan bule cowok di kasur bawah, aku langsung selimutan dan tidur, karena kelelahan fisik maupun mental hari ini bener-bener luar biasa.

See u this afternoon, Manila!

Part Selanjutnya : Disini

0 comments:

Posting Komentar