Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

1.28.2016

BROMO 25 Maret 2014: Tersesat di Kegelapan Lautan Pasir Tengger


Bromo, salah satu gunung api paling aktif di Jawa Timur dengan ketinggian 2.329 meter akan menjadi tujuanku selanjutnya. Dari Air Terjun Madakaripura, aku memacu motor Supra Fit kesayangan ke arah selatan menuju Desa Cemoro Lawang. Jalan yang harus kami lalui cukup terjal, berupa jalanan khas pegunungan yang meliuk-liuk tajam. Dibandingkan dengan jalan ke Tawangmangu atau Kaliadem, jalan menuju Cemoro Lawang yang merupakan titik terakhir sebelum Lautan Pasir Tengger lebih curam dan banyak kelokan.

Kami – aku dan Arin – menghabiskan malam di sebuah penginapan sederhana di Desa Cemoro Lawang bertarif Rp 150.000/malam/kamar. Desa Cemoro Lawang merupakan titik terakhir yang bisa digunakan para wisatawan untuk bermalam sebelum menyaksikan sunrise di Puncak Penanjakan keesokan subuhnya. Di Desa Cemoro Lawang juga inilah para pemburu sunrise bisa memesan/melakukan booking jeep yang bisa mereka gunakan untuk menjelajah Lautan Pasir Tengger esok pagi. Bagi kami yang ingin berhemat, cukup dengan sepeda motor Supra Fit. Aku yakin sepeda motor ini bisa berjalan di Lautan Pasir Tengger.

Udara sore maupun malam di Cemoro Lawang pada bulan Maret benar-benar dingin sampai menggigit tulang. Selepas meletakkan barang-barang dan membersihkan diri, dengan balutan selimut tebal aku sempatkan keluar dan duduk di balkon tingkat dua untuk menikmati pemandangan. Muka langsung beku begitu duduk di luar, tapi entah kenapa aku tidak ingin masuk. Sembari menarik nafas dalam-dalam, aku mulai berpikir alangkah hebatnya orang-orang di sini yang bisa menahan dingin seperti ini setiap hari.

Sembari duduk menikmati pemandangan, sayup-sayup aku mendengar alunan Bahasa Sansekerta yang melantun dengan merdu dari sebuah pengeras suara nun jauh di sana. Aku sempat mengira suara tersebut adalah suara pengajian dari masjid. Setelah aku telaah sesaat, aku tahu bahasa tersebut bukan Bahasa Arab yang biasa digunakan saat pengajian atau shalat, melainkan Bahasa Sansekerta. Segera aku sadar, bahwa di Kawasan Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru ini berdiam Suku Tengger, salah satu suku yang diyakini merupakan keturunan langsung dari Kerajaan Majapahit dan memeluk Agama Hindu sebagai kepercayaan utama mereka. Aku memberi hormat dalam hati, menikmati setiap lantunan Bahasa Sansekerta yang menyusup sampai ke relung hati.

Malam harinya, kami sempat keluar untuk makan malam dan mencari bensin untuk persiapan menuju Puncak Penanjakan esok pagi. Aku juga sempat membeli sarung tangan karena lupa membawa. Kami tidur awal untuk menjaga stamina karena esok harus bangun subuh-subuh.

Jam 3 pagi, aku sudah terbangun. Setelah membersihkan diri, aku segera bersiap menggunakan pakaian setebal mungkin untuk berangkat ke Puncak Penanjakan. Badan aku tak bisa berhenti menggigil karena tusukan udara dingin yang begitu menggigit. Setelah Dataran Tinggi Dieng, aku rasa di Kawasan Tengger inilah aku merasakan dingin yang begitu menggigit. Setiap tarikan nafas membuat bagian ujung hidung aku linu dan mengeras, setiap bersentuhan dengan air serasa tertusuk ratusan jarum. Namun aku berusaha mengalahkan semua itu dan menetapkan satu tujuan, Puncak Penanjakan.

Langit masih gelap gulita ketika aku dan Arin memacu motor menuju Lautan Pasir Kaldera Tengger. Tidak ada yang bisa kami lihat selain pasir yang tersorot oleh lampu depan motor. Jeep-jeep yang sudah dipesan (kebanyakan oleh turis mancanegara) terlihat sudah bersiap-siap berangkat. Awalnya, aku tidak merasa takut. Karena aku yakin, aku bisa jalan beriringan dengan jeep. Aku yakin, jalan pasir yang biasa dilalui jeep akan menjadi keras dan bisa dilalui motor aku. Ternyata, aku salah total.

Belum 500 meter kami berjalan, kami sudah tak tahu arah! Semuanya hitam, gelap, dan seakan tak berujung. Kami tidak menjumpai jeep seperti yang kami harapkan. Justru kegelapan tak berujung yang entah kemana. Oh sial, kami telah tersesat!

Aku berhenti sesaat dan berdiskusi dengan Arin, apakah ini benar jalan ke Puncak Penanjakan. Kalau iya, kenapa tidak ada satu pun jeep yang kami jumpai dari tadi. Kenapa lampu jeep yang berwarna kuning pucat malah terlihat di kejauhan sana? Ketakutan mulai menjalar ke tubuh aku. Kami ini kemana??

Di tengah ketakutan dan kebingungan, aku mendengar sayup-sayup suara bapak-bapak yang memanggil kami. Aku semakin takut, jika dia adalah kriminal, aku sudah pasrah. Aku hanya berharap, niat baik kami ke sini bisa dipahami oleh Lautan Pasir Tengger dengan tidak membiarkan hal buruk terjadi pada kami.

“Mbak...mbak....mau kemana?”

“Mau ke Puncak Penanjakan, Pak.”

“Wah, kalian salah jalan. Ini jalan ke arah Tumpang (ke arah Malang). Kalau jalan ke Puncak Penanjakan lewat sana. Mari saya antar.”

Awalnya kami sempat menolak menggunakan pemandu karena akan menambah beban biaya dan mengurangi sense of adventure. Tetapi prinsip seperti itu terkadang tidak bisa diaplikasikan di lapangan, di lautan pasir luas seperti ini, di kegelapan total seperti ini. Setelah berunding tarif singkat, kami sepakat untuk memberi bapak itu Rp 50.000 untuk mengantarkan kami sampai ke Puncak Penanjakan. Aku tetap berboncengan dengan Arin, sementara bapak itu berjalan di depan kami, menunjukkan jalan yang benar.

Anggapan aku bahwa jalan bekas jeep itu keras dan bisa dilalui dengan mudah oleh motor ternyata salah juga. Jalur tersebut tetaplah berupa pasir lunak yang menenggelamkan ban motor aku setiap saat. Jeep-jeep melesat dengan leluasa di samping kami, seperti menertawakan motor aku yang tersengal-sengal melawan gundukan pasir. Aku menertawakan pikiran aku yang pada awalnya sempat ingin berjalan beriringan dengan jeep untuk menuju Puncak Penanjakan. Jeep yang berjalan setengah jam setelah kami saja melesat mendahului kami dengan leluasa, bagaimana mau berjalan beriringan? Yang ada kami disundul jeep, bukan mengiringi jeep.

Gundukan pasir semakin tinggi, kemudian setelahnya turunan yang cukup tajam. Bisa ditebak, aku dan Arin terjatuh. Untung saja motor tidak menimpa kami. Bapak pemandu jalan yang tahu segera menyarankan supaya Arin membonceng dia saja. Aku menyarankan hal serupa, sehingga akhirnya Arin berboncengan motor dengan pemandu, aku sendirian.

Kebiasaan menjadi pemandu rupanya membuat bapak itu melaju dengan leluasa di gundukan pasir Kaldera Tengger. Aku semakin jauh tertinggal di belakang karena masih jalan dengan motor tersengal-sengal. Kekhawatiran aku semakin menjadi ketika aku mulai kehilangan jejak bapak pemandu dan Arin. Tapi aku berusaha sabar dan kuat, aku tetap mengegas motor dengan tangan yang sudah sekaku mayat. Aku sudah tidak bisa merasakan tangan aku lagi. Rasanya begitu sakit ketika digunakan untuk mengegas motor.

Setengah jam bergumul dengan jalan gundukan pasir, kami akhirnya menjumpai jalan aspal yang mengarah ke atas. Aku lega sekali ketika menjumpai jalan ini, karena tidak harus berjuang dengan gundukan pasir lagi. Jalan aspal ini merupakan jalan utama untuk menuju Puncak Penanjakan. Kami harus melalui sekitar 2 kilometer ke atas untuk sampai ke tempat parkir Puncak Penanjakan.

Sampai di tempat parkir, kami masih harus jalan kaki sekitar 10 menit untuk sampai ke Puncak Penanjakan. Karena tangan aku yang semakin kram dan tidak terasa, aku mampir warung kopi untuk menyeruput secangkir coklat panas dan memanaskan tangan. Tangan aku langsung kesemutan begitu panas dari anglo menjalar. Ahh, begitu nikmat arti sebuah udara panas di sini. Betapa aku sering mengomel udara terlalu panas ketika sedang di rumah.

Selesai menghangatkan diri, kami melanjutkan perjalanan ke atas. Banyak sekali wisatawan lokal maupun mancanegara yang mengunjungi Puncak Penanjakan, bahkan menurut pengamatan aku turis mancanegara lebih mendominasi. Kami sampai di atas pukul 4.00 dan segera mencari tempat terbaik di antara ratusan orang untuk menyaksikan sunrise.

Menunggu matahari terbit di tengah udara dingin Puncak Penanjakan sepertinya memang bukan sesuatu yang menyenangkan. Aku terus menggigil sembari meremas-remas tangan. Langit masih gelap gulita, dengan lukisan Perbukitan Tengger yang gagah menjulang. Aku terus menunggu pertunjukan alam yang sebentar lagi akan tersaji di depan mata aku. Sunrise.

Perlahan demi perlahan, semburat jingga kekuningan mulai muncul di belakang perbukitan. Semburat ini semakin lama semakin terang dan membesar, seakan mengungkap keagungan ciptaan Tuhan selembar demi selembar. Para turis mancanegara maupun lokal mulai sibuk mengarahkan kamera masing-masing. Semua yang hadir seakan tidak mau terlewatkan momen sedikitpun saat sang raja tata surya mulai naik ke peraduan.

Dipadu dengan semburan angin dingin pegunungan, perlahan demi perlahan matahari mulai terlihat. Sinar yang dipancarkan sangat indah, mengusir semua kegelapan dan kekosongan yang ada di depannya. Semuanya takjub, kagum, dan tak bisa melepas mata. Ini sangat indah!








0 comments:

Posting Komentar