Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

10.07.2025

Boyolali, 7 Oktober 2025 : Ilusi Kompleksitas Manusia

 Di zaman sekarang manusia hidup di tengah segala kemudahan, tapi anehnya justru makin banyak yang merasa hampa. Kita bisa berkomunikasi secepat kilat, tapi sering merasa sendirian. Punya segalanya di genggaman, tapi kehilangan rasa cukup. Tidur di kasur empuk, tapi pikiran terus berisik.

Depresi, kecemasan, dan overthinking kini bukan lagi istilah klinis yang asing. Mereka sudah jadi bagian dari bahasa sehari-hari. Bukan karena dunia makin jahat, tapi karena kepala kita terlalu penuh. Terlalu banyak yang dipikirkan, terlalu banyak yang dibandingkan, dan terlalu banyak yang ditakutkan.

Ironisnya, semakin manusia dianggap maju, hidupnya justru terasa makin rumit. Kita punya teknologi, pendidikan, dan kebebasan, tapi bersamaan dengan itu muncul tekanan, ekspektasi, dan kekosongan batin yang sulit diisi. Semua ini terjadi karena kita menciptakan sesuatu yang disebut ilusi kompleksitas, yaitu keyakinan bahwa hidup harus istimewa, penuh makna, dan punya tujuan besar, padahal mungkin tidak perlu.

Hidup sebenarnya sederhana, tapi pikiran kita membuatnya menjadi drama panjang dengan subplot yang tak berujung.

****

1. Asal-usulnya Karena Kesadaran dan Imajinasi

Manusia dikaruniai dua kemampuan besar di otaknya, yaitu kesadaran diri dan imajinasi masa depan. Dua hal ini membuat kita menjadi makhluk paling kompleks sekaligus paling rumit di planet ini. Kesadaran diri membuat kita bisa melihat diri sendiri dari luar dan bertanya hal-hal yang tidak pernah muncul di kepala makhluk lain. Siapa aku, kenapa aku begini, apa yang orang lain pikirkan tentangku.

Sementara imajinasi masa depan memberi kita kemampuan untuk merancang rencana, menunda kesenangan, dan membangun peradaban. Tapi di sisi lain, imajinasi ini juga membuka pintu kecemasan. Kita bisa membayangkan masa depan yang belum terjadi, gagal yang belum datang, dan kehilangan yang belum dialami. Kita menciptakan kekhawatiran dari hal-hal yang belum nyata.

Dua kemampuan itu sebenarnya luar biasa. Tanpa mereka, tidak akan ada sains, seni, atau kemajuan peradaban. Tapi seperti banyak hal lain dalam hidup, kelebihan selalu datang bersama efek samping. Kesadaran dan imajinasi yang seharusnya menolong kita malah sering menjadi sumber penderitaan. Kita tidak hanya hidup, tapi juga memikirkan tentang hidup. Kita tidak hanya merasa, tapi juga menilai setiap perasaan. Kita tidak hanya mengalami sesuatu, tapi juga terus mengomentari pengalaman itu di kepala berulang-ulang.

Akhirnya hidup yang mestinya sederhana, sekadar makan, tidur, berinteraksi, dan beristirahat, berubah menjadi sistem yang rumit penuh target, pembanding, dan kecemasan. Kita ingin hidup bahagia, tapi justru sibuk mencari rumusnya. Kita ingin tenang, tapi malah stres memikirkan cara untuk tenang. Padahal makna yang kita kejar sering kali tidak lebih dari bayangan yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri.

Kita lupa bahwa otak hanyalah alat untuk bertahan hidup, bukan mesin pencipta makna. Tapi karena begitu kuat, ia berbalik mengatur kita. Ia membuat kita percaya bahwa hidup harus luar biasa agar pantas dijalani, padahal cukup hidup dengan sadar pun sudah luar biasa.


2. Bentuk-bentuk Ilusi Kompeksitas 

Manusia punya kebiasaan aneh, hal-hal sederhana selalu ingin dibuat lebih rumit, seolah kalau tidak rumit berarti tidak bernilai. Padahal semakin ditumpuk, semakin jauh kita dari esensinya.

Dulu orang merasa cukup kalau bisa makan, punya tempat berteduh, dan tidur nyenyak tanpa takut kelaparan. Itu sudah dianggap puncak dari hidup yang berhasil. Sekarang ukurannya bergeser jauh. Sukses harus punya rumah yang estetik, mobil yang bisa dipamerkan, tabungan yang terus bertambah, investasi berlapis, jam tangan mahal, hingga gaya hidup yang tampak mapan di media sosial. Padahal jika dipreteli satu-satu, ujungnya tetap sama. Manusia hanya ingin merasa aman. Aman dari kekurangan, aman dari penilaian orang lain, aman dari ketakutan tidak dianggap berhasil. Kita mengejar keamanan itu lewat simbol-simbol materi, padahal rasa aman sejati tidak pernah membutuhkan penonton.

Cinta pun bernasib sama. Kalau dibuat sederhana, cinta hanya soal dua hal, memberi dan diterima. Namun manusia jarang puas dengan kesederhanaan. Kita bungkus cinta dengan permainan perasaan, gengsi, taktik tarik-ulur, dan ekspektasi yang sering kali tidak realistis. Kita ingin pasangan yang paham tanpa perlu dijelaskan, setia tanpa salah, dan dewasa tanpa pernah goyah. Padahal cinta yang murni itu tidak rumit, cukup dua orang yang saling hadir, saling jujur, dan saling tumbuh bersama. Sisanya hanyalah ego yang ingin diakui, bukan kasih yang ingin dirasakan.

Begitu juga dengan kebahagiaan. Hampir semua orang mengaku hanya ingin bahagia, tapi entah kenapa kebahagiaan justru dijadikan proyek besar yang rumit. Kita berpikir bahagia harus dicapai lewat karier yang mapan, gaji besar, pasangan ideal, rumah impian, tubuh sempurna, dan gadget terbaru. Kita terus mengejar kebahagiaan seperti mengejar ujian yang tidak pernah selesai, karena selalu ada kata nanti di ujungnya. Nanti kalau sudah punya ini, nanti kalau sudah jadi itu. Padahal bahagia sebenarnya tidak pernah pergi. Ia hanya tertutup oleh lapisan keinginan yang tidak ada habisnya. Kadang bahagia sesederhana tubuh yang sehat, hati yang tenang, udara pagi, dan seseorang yang bisa diajak berbicara dengan jujur. Itu saja sudah cukup.


3. Dampaknya Jauh dari Kesederhanaan Alami

Karena terus terjebak dalam ilusi kompleksitas itu, manusia akhirnya tumbuh menjadi makhluk yang selalu merasa lelah tanpa benar-benar tahu sebabnya. Kita bangun pagi dengan pikiran penuh target, terburu-buru bekerja, mengejar pencapaian, lalu menutup hari dengan rasa capek yang aneh. Bukan karena fisik, tapi karena batin yang terus dikejar bayangan “kurang”. Kita hidup dalam rutinitas yang padat, namun sering merasa kosong. Dikelilingi banyak hal, tapi jarang benar-benar merasa cukup.

Manusia modern seperti kehilangan kemampuan paling dasar, yaitu menikmati. Makan bukan lagi soal memenuhi rasa lapar, tapi menjadi ajang untuk tampil menarik di mata orang lain. Liburan tidak lagi tentang istirahat, melainkan tentang pembuktian bahwa hidup kita seru dan patut dikagumi. Bahkan ketenangan batin kini berubah menjadi proyek panjang yang penuh metode, panduan, dan daftar langkah-langkah. Kita sibuk berusaha “healing”, tapi justru makin jauh dari rasa tenang yang kita cari.

Padahal hidup yang sederhana bukan berarti hidup yang miskin pengalaman. Justru di sana letak keutuhan. Hidup yang tahu kapan harus berhenti, kapan cukup, dan kapan membiarkan sesuatu berjalan tanpa perlu diatur. Semakin keras kita berusaha menciptakan kehidupan yang lebih baik, kadang kita malah makin jauh dari hidup itu sendiri. Kita lupa bagaimana rasanya duduk diam tanpa tergesa, makan dengan rasa syukur, atau menatap langit sore tanpa maksud apa pun. Mungkin di momen-momen sederhana seperti itulah kedamaian yang kita cari selama ini sebenarnya bersembunyi.


4. Cara Keluar dari Ilusi Itu

Keluar dari ilusi kompleksitas bukan berarti kita harus jadi anti-teknologi, pindah ke gunung, atau hidup minimalis ekstrem sambil makan umbi-umbian di hutan. Hidup di dunia modern tetap perlu keseimbangan. Kuncinya bukan menolak perkembangan, tapi menyadari kapan kita sudah terseret terlalu jauh.

Langkah pertama adalah menyadari bahwa tidak semua hal perlu dicari maknanya. Kadang sesuatu cukup dijalani tanpa harus didefinisikan. Tidak semua perasaan harus dimengerti, tidak semua momen harus punya pesan moral. Ada kalanya hidup hanya ingin dijalani, bukan dianalisa. Semakin kita berusaha memberi makna pada segalanya, semakin kita kehilangan makna itu sendiri.

Langkah berikutnya adalah belajar menghargai rutinitas kecil tanpa merasa harus selalu produktif. Tidak apa-apa kalau hari ini cuma makan enak, jalan sebentar, lalu tidur siang. Nilai hidup tidak ditentukan dari seberapa sibuk kita, tapi dari seberapa sadar kita hadir di setiap momen yang sederhana.

Kemudian, lepaskan kebiasaan membandingkan diri. Tidak ada gunanya menilai hidup sendiri dengan penggaris milik orang lain. Setiap orang punya ritme, waktu, dan musimnya masing-masing. Tidak semua yang terlihat lebih cepat berarti lebih bahagia. Kadang yang paling damai justru yang berjalan pelan tapi tahu arah pulang.

Dan yang terakhir, lakukan sesuatu karena memang ingin, bukan karena merasa seharusnya. Hidup yang dijalani dengan tekanan “seharusnya” akan terasa berat, seolah kita sedang hidup untuk orang lain. Tapi kalau dijalani dengan kesadaran “aku ingin”, rasanya jauh lebih ringan. Tidak ada yang salah dengan ingin sederhana. Tidak ada yang perlu dibuktikan.

Keluar dari ilusi kompleksitas bukan soal menyingkir dari dunia, tapi menata ulang cara kita melihatnya. Dunia boleh sibuk, tapi kepala kita tidak harus ikut bising. Kadang cukup berhenti sejenak, tarik napas dalam-dalam, lalu sadar bahwa ternyata hidup yang kita cari selama ini sudah ada di sini, di tengah hal-hal kecil yang sering kita anggap remeh.

****

Penutup: Kembali ke Sederhana

Pada akhirnya, hidup memang tidak harus serumit yang kita bayangkan. Kadang kita hanya perlu berhenti sejenak untuk sadar bahwa semua yang kita kejar mungkin hanyalah bayangan dari pikiran sendiri. Kita ingin bahagia, tapi malah sibuk menciptakan definisi tentang bahagia. Kita ingin tenang, tapi justru menambah beban demi mencapainya. Padahal mungkin, hidup tidak menuntut sebanyak itu. Ia hanya ingin dijalani dengan sadar, dijaga dengan tulus, dan diterima apa adanya.

Tidak ada yang salah dengan ingin sukses, ingin dicintai, atau ingin sejahtera. Tapi semua itu akan terasa lebih ringan kalau kita tidak menganggapnya sebagai kewajiban moral untuk menjadi “spesial.” Tidak semua orang ditakdirkan jadi luar biasa, dan itu tidak apa-apa. Dunia tetap berjalan meski kita hanya jadi manusia biasa yang bangun pagi, minum kopi, bekerja secukupnya, lalu menikmati sore dengan tenang.

Hidup tidak perlu dimenangkan. Cukup dijalani.

****

Mindset Sederhana yang Bisa Kita Tiru

Kalau manusia sering tersesat dalam pikirannya sendiri, hewan hidup dengan cara yang jauh lebih sederhana dan selaras. Dari mereka, kita bisa belajar cara hidup yang lebih ringan, tanpa kehilangan makna.

Hidup di saat ini. Hewan tidak menyesali yang sudah lewat dan tidak khawatir pada yang belum datang. Mereka hadir sepenuhnya pada momen yang sedang dijalani. Kita pun bisa belajar menikmati saat ini tanpa harus mengaitkannya dengan masa lalu atau masa depan.

Dengarkan tubuhmu. Kalau lapar, makan. Kalau lelah, istirahat. Kalau butuh diam, berhenti sebentar. Manusia sering lupa bahwa tubuh juga punya bahasa sendiri, tapi kita sibuk menundanya demi target dan jadwal yang tak ada habisnya.

Berhenti membandingkan. Burung tidak iri pada singa, dan kucing tidak iri pada paus. Semua punya perannya masing-masing di alam. Begitu juga kita, tidak perlu meniru atau membandingkan hidup dengan orang lain.

Selaras dengan ritme alam. Tidur cukup, terkena cahaya matahari, dan bergerak secukupnya. Hidup yang mengikuti ritme alam terasa lebih damai daripada hidup yang terus dipaksa menyesuaikan diri dengan ritme mesin.

Fokus pada hal yang esensial. Di luar kebutuhan dasar, banyak hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Kesehatan, ketenangan, dan hubungan yang tulus sering kali sudah lebih dari cukup. Sisanya hanyalah aksesori yang mudah pudar.

****

Mungkin itulah jalan keluar paling sederhana dari segala kerumitan yang kita buat sendiri. Analoginya seperti cara hidup hewan. Tidak dalam arti liar atau primitif, tapi dalam arti hidup dengan apa adanya, tanpa drama yang diciptakan pikiran. Mereka tidak berusaha terlihat bahagia, tapi tetap hidup dengan damai. Dan mungkin, di situlah letak kebijaksanaan yang paling murni.

9.23.2025

Sadar Setiap Hari (SSH) 22: Beruntung Mengenal Dhamma

 Kadang aku merenung, betapa beruntungnya aku bisa mengenal dhamma dalam hidupku. Perjalanan ini membuat caraku memandang diriku sendiri berubah banyak. Dulu, pikiranku sering jadi penentu bagaimana aku merasa tentang diriku. Pikiran random datang silih berganti—ada yang manis, tapi sering juga getir. Ada bisikan dalam kepala yang bilang aku tidak cukup, tidak sempurna, atau tidak berharga.

Sekarang, aku tahu bahwa semua itu hanyalah pikiran lewat. Mereka muncul, tapi aku tidak harus percaya. Aku bisa memilih untuk tersenyum, membiarkan mereka pergi, tanpa menjadikan mereka kebenaran tentang siapa diriku.

Aku menyadari satu hal: aku sudah berusaha sebaik mungkin dalam hidup ini. Aku tidak jahat, aku berusaha menjalani hidup dengan benar. Jadi mengapa harus terus-menerus membebani diri dengan tuduhan dari pikiran sendiri?

Dhamma mengajarkanku bahwa semuanya akan berlalu. Pikiran, perasaan, bahkan badai di dalam hati—semuanya tidak permanen. Mereka datang, lalu pergi. Kalau aku sabar menunggu, semuanya akan mereda dengan sendirinya.

Sejak mengenal dhamma, aku juga belajar melihat kebahagiaan dengan cara berbeda. Aku melihat kebahagiaan secukupnya, tidak berlebihan. Karena kebahagiaan itu juga akan berlalu. Kalau terlalu melekat, pada akhirnya justru bisa berubah menjadi penderitaan versi tersembunyi—sebab saat sumber kebahagiaan itu hilang, kita bisa gelisah, kecewa, bahkan putus asa. Dengan memahami hal ini, aku jadi tidak mudah terseret arus. Aku bisa menikmati kebahagiaan apa adanya, sambil tetap sadar bahwa semua ini sementara.

Seperti kata ajaran: “Sabbe saṅkhārā aniccā” — segala sesuatu yang terkondisi adalah tidak kekal. Kesedihan, kegelisahan, rasa takut, bahkan kebahagiaan yang manis sekalipun, semuanya pun demikian.

Ada rasa lega yang besar ketika menyadari hal ini. Aku tidak lagi terjebak dalam drama pikiran sendiri. Aku belajar untuk hidup lebih ringan, lebih damai, dan lebih jujur dengan diriku.

Dan untuk itu, aku benar-benar bersyukur.

9.03.2025

[2] CHINA - TIBET 2025 : Persiapan yang Cukup Menguras Fisik, Mental dan Duit😅

  Trip ini merupakan rangkaian perjalanan ke China-Tibet-Singapura-Malaysia yang aku lakukan dari 21 Maret 2025 - 15 April 2025. Part selanjutnya dari setiap postingan akan aku link di bagian paling bawah setiap cerita.

Part Sebelumnya : DISINI


Akhir Februari 2025
Seperti udah kuceritakan sebelumnya, aku menetapkan China sebagai negara yang kukunjungi tahun 2025. Ini memang kebiasaanku setiap tahun, traveling sebuah negara yang bisa bikin semangatku naik sekaligus memacu adrenalin. Negeri ini menawarkan kombinasi budaya, sejarah, dan lanskap alam yang luar biasa, dan aku berencana mengeksplorasi tiga provinsi utama. Pertama, Yunnan, dengan pesona kota Kunming, Lijiang, Shangri-La, dan Dali yang penuh warna dan budaya etnis. Lalu perjalanan akan berlanjut ke Tibet, menuju Lhasa, Danau Yamdrok, Shigatse, hingga petualangan seru ke Everest Base Camp—destinasi impian para pencinta alam. Terakhir, aku menutup rangkaian perjalanan di Sichuan, provinsi yang terkenal dengan panda raksasa di Chengdu dan keindahan Jiuzhaigou yang memesona. 

Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan akhir Februari. Artinya..waktu keberangkatan sudah semakin dekat, dan aku harus segera mengurus visa China. Aku harus membuat Visa China lebih awal karena aku harus mengirimkannya terlebih dahulu ke Asia Odissey Travel untuk mereka membuat Tibet Travel Permitku. Karena aku tinggal di Solo, maka kota terdekat untuk mengurus visa adalah Konsulat Jenderal China di Surabaya, yang tepatnya beralamat di Lantai 5 Gedung Spazio, Jalan Mayjend Soengkono 105, Dukuh Pakis, Surabaya. Sebelumnya aku udah pernah punya pengalaman bikin Visa China di 2017, jadi gambaran kasarnya kurang lebih ada. Tapi karena ini sudah 2025, aku yakin tentunya sudah ada beberapa poin yang berbeda, dan tentunya persyaratannya jauh lebih ketat.

Hari ini kebetulan aku sedang di Surabaya karena urusan kerjaan. Well, sebenarnya urusannya udah selesai kemarin (Rabu), jadi Kamis ini seharian di penginapan memang khusus aku gunakan untuk menyiapkan persyaratan yang seabrek untuk pengajuan Visa. Seperti biasa sebelumnya aku membuka situs resmi pusat pengajuan Visa China disini:


Disitu disebutkan dokumen dasar yang harus kita persiapkan dan bawa ke kantor visa China adalah seperti ini:



Namun tentunya tidak sesimpel itu aja ya. Selain membuka dan mempelajari situs itu, aku juga membuka postingan member grub Backpacker International, aku baca dari yang postingan-postingan terbaru untuk memastikan apa saja berkas yang harus kupersiapkan. Dari situ aku mendapatkan kesimpulan inilah hal-hal yang harus dipersiapkan dan dicermati:

1) Mengisi formulir permohonan dulu online kemudian diprint (sejak Juni 2025 formulir permohonan diisi online dan disubmit, sampai dapat Visa Application Certificate - semacam persetujuan pengisian formulir - baru bisa dibawa ke Kantor Visa China)

Untuk mengisi pengalaman kerja, jika kerja sendiri/freelance maka employers, supervisor diisi nama kita sendiri/perusahaan kita sendiri. Isi cukup 5 tahun terakhir saja.

2)Pas foto dengan background putih 
Edit pas foto gratis disitus ini https://www.freepassphoto.com/preview (ukuran pas foto yang diupload di form digital dengan pas foto yang dibawa di Visa Center di hari H beda. Untuk diupload di form digital minimal 354 x 472 pixel, untuk yang dibawa hard copynya di visa center 3,3cm x 4,8 cm). Di visa center bawa 2 print pas foto ukuran 3,3cm x 4,8 cm. Pas foto background putih, baju yang dipakai wajib warna gelap (biru tua/hitam).

3) Bukti tiket pesawat pulang-pergi
Tiket pesawat berangkat wajib lengkap dari Indonesia ke China (misalkan CGK - KUL by airline x, KUL-Beijing by airline y). Kalau tiket pesawat pulangnya dari China sampai KUL aja ga masalah.

4) Booking hotel di setiap kota (hotelnya harus ada nomor teleponnya)
Itinerary/rencana perjalanan yang diisikan di formulir online wajib sesuai dengan bookingan hotel. Misal tanggal 1-5 mau ke Beijing, tanggal 6-10 mau ke Xian, nah bookingan hotelnya harus sesuai (book hotel di beijing dari 1-5, Xian dari 6-10). Jika kasusnya 1 keluarga bepergian bersama, bookingan hotel dilakukan oleh nama ayah, maka wajib melampirkan fotocopy KK untuk permohonan ibu dan anak sebagai bukti relasi.

5) Paspor lama dan baru (beserta fotocopinya)
Fotocopy paspor bagian depan yang ada tulisannya Republik Indonesia (halaman sebelum identitas), identitas, catatan pengesahan, sama halaman paling belakang. Jika pernah punya visa china bagian itu juga difotocopy. Fotocopy ini berlaku untuk paspor lama dan paspor baru. Paspor lama dan baru dibawa di hari H.

6) Fotocopy KTP
Jika paspor tidak ada kolom ttd wajib menyertakan fotocopy KTP.


7) Stempel dari negara lain yang kurang jelas
Jika ada stempel masuk dari negara lain (dari paspor yang aktif) yang tanggal masuk/keluarnya tidak jelas, wajib bikin surat pernyataan. Formatnya kurang lebih:

SURAT PERNYATAAN Nama : No paspor : Menyatakan bahwa saya akan menjelaskan terkait riwayat perjalanan yang terdapat stampel keluar masuk imigrasi yang kurang jelas : Tanggal keluar masuk Indonesia : Tanggal keluar : DD-MM-YY , Tanggal masuk : DD-MM-YY Tanggal masuk dan keluar, alasan perjalanan ke Negara lain : Perjalanan wisata/umroh/bisnis ke ............., Tanggal masuk DD-MM-YY, Tanggal keluar : DD-MM-YY Dokumen pendukung : Saya lampirkan tiket pada perjalanan tersebut, namun saya tidak dapat melampirkan boarding pass pada perjalanan tersebut karena sudah hilang -- (kasusnya jika boarding pass sudah hilang. Jika tiket juga hilang ditulias saya tidak dapat melampirkan tiket dan boarding pass dalam perjalanan tersebut karena ....) Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa adanya paksaan dari pihak manapun, dan saya bersedia menanggung segala konsekuensi hukum yang berlaku atas kebenaran informasi yang saya berikan. Surabaya, ... Maret 2025 NAMA pemohon (Kalau bisa melampirkan tiket perjalanan, maka print juga bukti reservasi tiket pesawat ke negara yang stempel tanggal keluar masuknya kurang jelas tersebut) (Kalau keluar/masuk suatu negara pakai gerbang autogate maka ditulis tanggal keluar/masuknya kemudian (Autogate). Misal 01-01-2025 (Autogate)


8) Datang lebih awal
Datang 1 jam sd 30 menit sebelum jam 9 pagi supaya mendapatkan antrian awal. Rekomendasi datang sekitar jam 08.00-08.30. Antri sebelum jam buka diluar ruangan kantor gpp.

9) Bawa Laptop
Bawa laptop jika diminta membuat surat pernyataan tambahan. Disana disediakan komputer untuk login email dan print.

10) Bawa Bekel
Bawa makanan rngan/minuman untk persiapan jika antrian lama.

11) Surat Kuasa
Jika membawakan aplikasi selain milik diri sendiri, wajib pakai surat kuasa. Identitas di surat kuasa pakai nomor paspor, jangan nomor KTP. Tidak perlu pakai meterai.

***

Hmmm oke. Begitu banyak yang harus kulakukan di waktu bersamaan karena di perjalanan ini aku baru punya 1 kelengkapan, tiket KL-Kunming! Wkwkwk.. Namun aku berusaha fokus ke satu persatu hal. Rencanaku, besok (Jumat) aku akan otw ke Konsulat Jenderal China yang ada di Gedung Spazio. Jadi aku harus menyelesaikan semua persyaratannya hari ini! Aku mulai dari hal paling dasar yaitu memperdalam itinerary-nya dulu. Seperti udah kujelaskan, itinerary-ku selama disana nanti adalah seperti ini

23 Maret – 2 April 2025

Eksplorasi Yunnan
(Dari Kunming – Lijiang – Shangri-La - Dali - Kunming)


2 – 8 April 2025
Ikut tur ke Tibet - start dari Kota Kunming (Penerbangan Kunming - Lhasa)
(Lhasa – Yamdrok Lake – Gyantse – Shigatse – Everest Base Camp)


8 – 12 April 2025
Eksplor Chengdu dan Jiuzhaigou
(Makan hotpot, ngelus panda, lalu lanjut ke surga tersembunyi Jiuzhaigou)



Tiket Kereta Antar Kota
Satu hal yang harus kupastikan sebelum membeli tiket pesawat pulang adalah tiket kereta antar kota. Karena aku akan berpindah kota cukup sering selama di China, satu hal krusial yang harus diamankan terlebih dahulu adalah tiket kereta cepat antar kota. Karena meskipun kita udah bikin itinerary selengkap dan sedetail apapun, kalau kehabisan tiket kereta kesana, ya sama aja bakal sangat memusingkan nantinya.

Aku sempat membaca kalau pembelian tiket kereta cepat di China secara resmi baru dibuka H-14 sebelum tanggal keberangkatan. Tapi untungnya, lewat aplikasi Trip.com, kita bisa booking duluan hingga H-60. Sistemnya adalah kita bayar dulu, lalu Trip akan otomatis membelikan tiket itu saat penjualan resmi dibuka. Aman banget buat traveler yang nggak mau ribet-ribet hunting. Memang kalau dibandingkan dengan beli tiket di website KAI-nya China, di Trip.com ada selisih biaya layanan Rp 45.000/tiket/rute, ah tapi yasudahlah, nggak mau ribet kan. Akhirnya aku booking tiket-tiket kereta penting ini: 1)Kunming – Lijiang 2)Lijiang – Shangri-La 3)Shangri-La – Dali 4)Dali – Kunming 5)Chengdu – Huanglong Jiuzhai dan terakhir 6)Huanglong Jiuzhai – Chengdu

Huahhh... lega rasanya setelah semua pembelian tiket kereta selesai, setidaknya aku tahu spine dari itinerary ini udah terbentuk kuat! Yaah meskipun itu sistemnya masih pre-booking, tapi aku yakin kok bakal mendapatkan semua tiketnya! Next step!


Next, tiket pesawat kembali ke Indonesia!

Dari tiket kereta diatas, terlihat bahwa perjalanannku akan dimulai dari Kota Kunming dan berakhir di Kota Chengdu. Seperti udah kujelaskan diatas, aku sudah mempunyai tiket pesawat Kuala Lumpur - Kunming. Sebagai pelengkap, aku harus membeli juga tiket pesawat dari Chengdu kembali ke Asia Tenggara (Singapore, Malaysia, Indonesia), serta Indonesia ke Kuala Lumpur PP. Setelah pencarian yang cukup intens, aku memutuskan beli tiket Shenzhen Airlines dari Chengdu ke Kuala Lumpur, transit di Shenzhen. Harganya oke, waktunya pas, dan yang penting yaitu landing di KL, yang punya banyak opsi penerbangan murah ke Indonesia.


Next, tiket pesawat PP ke TIBET !
Lanjut ke bagian yang lebih “berani” yaitu membeli tiket pesawat ke Tibet. Masalahnya, nggak semua agen penerbangan mau jual tiket ke Lhasa karena untuk masuk Tibet harus punya Tibet Travel Permit (TTP). Tapi untungnya, aku nemu satu website ini yaitu eDreams, yang masih memungkinkan pembelian tiket Kunming – Lhasa tanpa harus input TTP. Setelah mempertimbangkan masak-masak, akhirnya aku booking tiketnya disini, Kunming - Lhasa menggunakan maskapai China Eastern Airlines.

Setelah itu aku cari tiket keluar dari Lhasa menuju Chengdu. Setelah mempertimbangkan berbagai macam opsi, dan akhirnya ketemu harga yang masuk akal yaitu 1,8 juta rupiah dengan Lucky Air, sudah termasuk bagasi. Aku sempat baca bahwa Lucky Air ini adalah maskapai budget asal Kunming, jadi wajar banyak rute dari Tibet ke arah barat daya China mereka tangani. Untuk tiket pesawat ini, aku sudah bisa membelinya di Trip karena untuk keluar Tibet tidak terlalu ketat persyaratan pembeliannya.

Dan begitu semua tiket itu terbeli—dari kereta, pesawat domestik, hingga tiket pulang—aku duduk di depan laptop dan rasanya…

LEGAAA BANGET. 

Akhirnya, pondasi perjalanan ini sudah benar-benar terbentuk. Huhuhu.. Capeknya ngeluarin duit.. Aku istirahat dulu

***
Next, booking penginapan!
  
Proses booking-booking itu… bener-bener melelahkan. Lelah fisik karena harus mantengin layar lama banget, klik sana-sini, bandingin review, buka peta, cek fasilitas. Dan lelah mental karena ya… duit keluar terus, tanpa jeda. Satu klik, ratusan ribu melayang (padahal klik-nya berkali-kali). Belum bayar visa, udah keluar lagi buat tiket kereta. Belum beli tiket cable car, udah harus bayar penginapan wkwkwk... Super mantaap!

Tapi aku sadar, ini pilihanku sendiri. Dan seperti pepatah bilang: kalau sudah terlanjur basah… ya sekalian berenang sekalian lah! Jadi setelah beberapa saat mental cooldown, aku lanjut lagi untuk tahap selanjutnya yaitu booking hotel-hotel tempat nginap di setiap kota. Untuk hotel ini aku punya beberapa kriteria antara lain: 

  1. Lokasi harus strategis—tengah kota, deket pusat keramaian traveler atau spot populer kayak kota tua, pasar malam, atau jalur backpacker. Biar gampang dicari, gampang cari makan dan suasana nggak sepi.
  2. Harga maksimal 250 ribu rupiah per malam—karena ini trip panjang dan nginepnya banyak malam, budget harus dikontrol banget.
  3. Toilet dan shower harus berdekatan. Bukan demi drama air panas, tapi demi satu hal yaitu.... cebok wkwkwk.  Ya, aku butuh shower yang bisa ditarik ke WC, karena aku masih nggak nyaman cebok pakai tissue. Wkwkwk… kebutuhan dasar, tapi krusial.

Prosesnya tentu aja nggak sebentar. Aku buka satu per satu kota, mulai dari Kunming, Dali, Lijiang, Shangri-La, Chengdu, Jiuzhaigou. Liat peta, zoom in lokasi, baca review, filter harga, intip foto kamar mandinya! Awalnya aku lihatnya via Agoda, tapi kok menurutku pilihannya agak terbatas dan harganya agak mahal. Pikir-pikir sejenak, tiba-tiba aku teringat kayaknya di trip.com bisa deh booking penginapan juga. Dan... booommm... muncul banyak banget pilihan disitu dengan range harga yang bervariasi! Bahkan banyak banget hostel atau hotel lokal China yang hanya muncul di Trip.com, bukan di platform barat seperti Booking atau Agoda. Well, wajar sih ya karena trip itu kan punya China sendiri.

Disitu aku bisa dengan mudah booking hotel yang bagus (karena pilihannya banyak dan review-nya lengkap). Satu demi satu, aku kunci semua penginapan. Dan walaupun prosesnya makan waktu, begitu semua udah ter-booking, rasanya kayak,  “Oke… satu layer stres lagi terangkat.”
 
Last, booking aktivitas harian yang harus disiapkan jauh-jauh hari! 

Sekarang tinggal lanjut ke persiapan akhir yaitu booking aktivitas yang harus dirampungkan dari jauh-jauh hari. Traveling ke China kali ini benar-benar jadi proses persiapan paling panjang dan terdetail yang pernah kulakukan. Nggak seperti perjalanan-perjalananku sebelumnya yang kadang serba spontan dan "yaudah nanti beli aja di tempat", kali ini semua harus dirancang dengan teliti—dari rute, visa, tiket kereta, tiket pesawat, hotel, sampai itinerary harian. Untuk booking aktivitas harian ini, lagi-lagi aku mempercayakan ke trip.com karena disitu sudah banyak paket yang disediakan.

Berdasar itinerary yang udah aku susun sebelumnya, salah dua kota yang akan kukunjungi adalah Lijiang dan Jiuzhaigao. Berdasar browsingku, salah satu tempat di Lijiang yang wajib banget dikunjungi itu adalah Yulong Snow Mountain; sementara untuk Jiuzhaigao adalah Taman Nasional Jiuazhaigao. 

Yulong Snow Mountain 

Aku benar-benar mempelajari seluk beluk Yulong Snow Mountain sebelum eksekusi, karena ini merupakan salah satu tempat tujuan wisata utama di Lijiang, yang berarti bakalan rame banget nantinya. Berikut poin-poin penting yang aku pelajari tentang Yulong Snow Mountain:

1. Jadi titik-titik pemandangan di Yulong Snow Mountain itu bisa diakses dengan beberapa kereta gantung yang ada didalam taman. Ada beberapa cableway (kereta gantung) dengan ketinggian dan tujuan yang berbeda. Yang paling populer dan tinggi adalah:

a. Glacier Park Cableway

  Mengangkut pengunjung dari sekitar 3.356 m hingga 4.506 m di atas permukaan laut,

Setelah turunnya, tersedia jalur kayu yang mengarah ke observation deck di 4.680 m, tempat pengunjung bisa melihat gletser Baishui No.1 dan puncak Yulong yang megah,

Pemandangannya mencakup lanskap gletser yang spektakuler, formasi es, dan puncak-puncak yang sering tertutup salju, sangat dramatis bagi foto dan penggemar alam tinggi .

b. Yak Meadow Cableway 

 Berangkat dari ketinggian sekitar 3.600–3.700 m, berkisar antara 3.600 m ke 4.000 m atau mencapai 3.650–3.700 m

 Pemandangannya berupa padang alpine yang luas, dihiasi yak yang merumput, dan latar belakang puncak bersalju; sangat cocok untuk pengalaman tenang dan pemandangan lembah luas

Terkesan lebih santai dibanding Glacier Park, dengan jalur terbuka dan suasana meditatif 

c. Spruce Meadow Cableway
 Mengangkut dari 3.000 m ke sekitar 3.240–3.249 m
 
Pemandangannya terdiri dari padang tinggi yang dikelilingi hutan cemara, suasananya damai dan cocok untuk keluarga atau pengunjung dengan sensitivitas terhadap ketinggian
 
Sangat aksesibel dan nyaman, dengan jalur terawat yang mudah dijelajahi 
 
Jadi intinya kita harus milih jalur cableway mana yang akan kita ambil, dan harus booking tiket cableway-nya jauh-jauh hari supaya ga kehabisan. Jalur cableway paling utama dan paling banyak diambil adalah Glacier Park Cableway. 
  

2. Tiket masuk kawasan Yulong Snow Mountain itu terpisah dari tiket cableway. Jadi kita harus beli dua tiket: satu untuk kawasan, satu lagi untuk cable car-nya. Biasanya juga ada tambahan biaya shuttle bus wajib, karena kendaraan umum/pengunjung tidak boleh masuk langsung ke area cable car.

Untuk tiket masuk kawasan Yulong Snow Mountain, nanti bisa dibayarkan ditempat saja. Biasanya sudah ada petugas yang nyamperin kita bahkan saat masih di mobil di gerbang masuk, dan bisa dibayarkan dengan Alipay. Biaya 100 RMB/orang. 

3. Di atas, ada oksigen tipis, jadi banyak orang beli tabung oksigen kecil sebelum naik cable car. Ini penting apalagi kalau badan lagi kurang fit.

Oksigen bisa dibeli di Kota Lijiang sebelum berangkat, harganya sekitar 15-20 Yuan pertabung portable.

4. Cuaca dan suhu bisa sangat dingin, bahkan saat musim semi, jadi jaket tebal dan sarung tangan wajib hukumnya.

5. View di atas luar biasa: pemandangan salju, pegunungan, dan langit biru jernih yang benar-benar bikin takjub. Nggak heran kalau tempat ini sering disebut “Swiss-nya China”. 

6. Lijiang Impression Show (Impression Lijiang Performance)

  • Ini adalah pertunjukan budaya raksasa karya sutradara terkenal Zhang Yimou (yang juga menggarap pembukaan Olimpiade Beijing 2008).

  • Pertunjukan dilakukan di open-air theater dengan latar belakang megah puncak Yulong Snow Mountain. Jadi, bukan sekadar panggung biasa, tapi alam yang jadi latarnya.

  • Lebih dari 500 penampil (kebanyakan adalah penduduk lokal dari suku minoritas Naxi, Yi, dan Bai) menampilkan tarian, nyanyian, dan ritual tradisional yang menggambarkan kehidupan sehari-hari di dataran tinggi Yunnan.

  • Durasi sekitar 1 jam, dan biasanya dipentaskan beberapa kali dalam sehari (pagi/siang).

  • Suasananya sangat epik dan monumental: musik menggema di udara tipis pegunungan, penari-penari berpakaian tradisional bergerak serempak, dengan Yulong Snow Mountain menjulang di belakang. Banyak yang bilang ini pengalaman yang bikin merinding. 

7. Blue Moon Valley

  • Terletak di kaki Yulong Snow Mountain, dekat Gletser Baishui.

  • Disebut “Blue Moon Valley” karena aliran airnya berwarna biru toska terang dan bentuk lembahnya menyerupai bulan sabit jika dilihat dari atas.

  • Pemandangannya mirip danau-danau Alpen: air jernih dengan pantulan pegunungan salju, dikelilingi hutan pinus dan padang rumput.

  • Tempat ini sangat populer untuk jalan santai dan fotografi, apalagi kalau cuaca cerah.

  • Kadang disebut juga sebagai “Little Jiuzhaigou” karena warna air dan suasananya mirip dengan Taman Nasional Jiuzhaigao, tapi versi mini. 

 Setelah yakin ngerti sistemnya, barulah aku akan lanjut ke proses booking tiketnya secara online, supaya saat tiba di Lijiang, aku tinggal tunjuk bukti booking dan langsung berangkat.

 OK, 7 poin itulah yang kusimpulkan dari Yulong Snow Mountain. Awalnya tentu saja aku ingin bisa mengunjungi semua tempat itu dalam 1 hari. Tapi setelah browsing lebih dalam, ternyata itu tidak memungkinkan karena jarak antar tempat wisata cukup berjauhan, dan tentu saja jangan melupakan kata "antri" ketika masuk tempat wisata di China. Penduduknya mereka sendiri aja udah lebih dari 1 miliar, dan mereka juga hobi berwisata. Jadi bisa disimpulkan sendiri wkwkwk....

Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, aku mengambil paket Glacier Cable Way + Electronic Car ke Blue Moon dan Lijiang Impression Show dari Trip.Com. Biayanya sekitar 750rb rupiah. Cableway lainnya? Pengeeen... tapi berdasar browsingku, ga memungkinkan untuk mengunjungi itu semua dalam 1 hari, jadi aku mengambil yang paling utama aja. Semoga pilihan paling tepat. 



Jiuzhaigao National Park
  • Tiket masuk wajib dibeli secara online. Saat ini tidak ada penjualan tiket on the spot di loket taman, jadi semua pengunjung harus reservasi lewat platform resmi atau mitra penjual tiket.

  • Salah satu platform yang umum dipakai wisatawan asing adalah Trip.com, tapi penjualannya baru dibuka sekitar 7 hari sebelum tanggal kunjungan. Jadi, kalau kamu browsing jauh hari sebelumnya, kemungkinan tiketnya memang belum tersedia -- OK karena Jiuzhaigao adalah kota terakhir yang kukunjungi, dimana itu masih 2 bulan kedepan maka aku belum bisa booking tiket masuknya. Aku cuma memberikan reminder di HP-ku untuk segera booking seminggu sebelum kedatanganku kesana.

  • Kuota pengunjung per hari dibatasi ketat (demi konservasi taman), sehingga booking cepat begitu penjualan dibuka sangat disarankan, apalagi di musim liburan atau golden week.

  • Sistem tiket biasanya sudah termasuk akses shuttle bus dalam taman (karena kendaraan pribadi dilarang masuk), jadi kamu akan berganti dari pintu utama ke bus internal yang berhenti di spot-spot utama. Harga tiket masuk + shuttle bus sekitar 600ribuan.


Persiapan sudah hampir 100%.
Tiket-tiket pesawat sudah di tangan, kereta cepat udah dibooking, semua hotel sudah terkunci, bahkan aktivitas-aktivitas penting seperti Yulong Snow Mountain dan Jiuzhaigou pun sudah direncanakan matang. Sekarang tinggal satu langkah krusial terakhir sebelum semuanya resmi siap:
Mengajukan visa China.
 
Ini... harus berhasil !
 
 
Part Selanjutnya : DISINI 

9.02.2025

[1] CHINA - TIBET 2025 : Kenapa China dan Tibet??

 Pertengahan Tahun 2024

Sepanjang tahun 2024, entah kenapa banyak konten reels maupun tiktok tentang wisata China yang membanjiri FYP-ku. Awalnya aku cuma scroll-scroll iseng, tapi kok lama-lama jadi sering banget muncul video yang menunjukkan tempat-tempat yang nggak realistis. Ada tangga kabut Pegunungan Tianmen yang seolah menuju langit, padang hijau Harbin yang membentang sampai menyentuh awan, pegunungan Avatar Zhangjiajie yang seperti dunia fantasi melayang, perbukitan warna-warni Danxia bak kanvas raksasa bumi, ditambah Kota Chongqing yang modern dengan gedung-gedung tinggi tapi terasa masih di lantai dasar, kereta cepat yang melesat hampir di semua rute, dan jalan aspal mulus yang membelah perbukitan curam membuat lanskap Tiongkok seperti kumpulan dunia berbeda yang disatukan dalam satu negeri.


Pegunungan Tianmen di Zhangjiajie, China
Sumber Gambar : Wikipedia

Avatar Mountain, China
Sumber Gambar : BBC

Perasaanku waktu nonton tentu aja terkagum-kagum. 

"Lho, ini beneran ada di dunia nyata? Dan itu… di China?!" 

 Serius, vibe-nya tuh nggak main-main. Seperti setting film, seperti dunia fantasi, tapi ini... nyata!

Dari situ muncul rasa penasaran. "Aku harus lihat sendiri nih. Bener nggak sih seindah itu? Se-tidak nyata itu pemandangannya?" 

Dan karena aku tipe orang yang nggak bisa puas cuma dengan nonton, akhirnya aku memutuskan China resmi menjadi tempat yang kukunjungi tahun 2025 ini. Dan karena aku suka tujuan antimainstream, aku memutuskan untuk menambahkan juga Mongolia ke dalam perjalanan ini. Btw, ini memang hal yang kulakukan tiap tahun, tepatnya saat libur panjang Idul Fitri, yaitu traveling ke tempat yang jauh dan akhir-akhir ini cenderung 'antimainstream'. Setelah tahun 2023 mengunjungi Asia Tengah (Kazakhstan, Kyrgyzstan dan Uzbekistan), 2024 mengunjungi Rusia dan Oman, 2025 ini aku siap membuat pengalaman baru di China dan Mongolia!

Kenapa harus pas Idul Fitri? Karena di saat itu hampir semua kantor pemerintahan dan instansi tutup total, sehingga pekerjaan freelance-ku yang banyak berhubungan dengan dinas juga otomatis jeda. Nggak ada klien yang ngejar-ngejar, nggak ada deadline mendesak. Itu lah waktu paling ideal buatku benar-benar lepas, pergi jauh, dan mengejar perjalanan panjang tanpa rasa bersalah meninggalkan kerjaan.


Kemana saja?

Sejak memutuskan China adalah tujuan travelingku tahun 2025, selanjutnya aku pun mulai serius mencari tahu tentang kota-kota mana aja yang harus kukunjungi. Dan aku harus mulai dari kota mana? Mendapat inspirasi dari konten-konten tiktok dan reels itu, minatku memang cenderung ke wisata alam dengan pemandangan dramatis, budaya lokal yang kental, dan sejarah. Jadi aku butuh destinasi yang bukan cuma cantik di kamera, tapi juga punya cerita dan nuansa unik yang bisa diceritakan.

Beberapa minggu setelahnya, di sela-sela pekerjaan yang menumpuk, aku sempatkan untuk mencari jawaban atas pertanyaanku diatas. Aku mulai dari nonton reels dan tiktok, baca blog perjalanan, sampai buka-buka Google Maps buat cek tempat-tempat paling indah yang ada di China. Dari sekian banyak tempat, aku memutuskan ada 3 destinasi utama yang kupilih:

Rencana rute awalku..

1. Zhangjiajie (Pegunungan Tianmen dan Pegunungan Avatar)
Tempat ini udah pasti masuk daftar teratas dan yang paling wajib. Pemandangannya benar-benar kayak dunia lain—gunung batu menjulang tinggi, kabut tipis yang melayang di antara tebing, dan jembatan-jembatan kaca yang bikin lutut gemeter. Tempat ini katanya jadi inspirasi dunia Pandora di film Avatar, dan dari video-video yang aku tonton, suasananya memang kayak negeri dongeng. Alamnya luar biasa, dan cocok banget buat aku yang suka eksplor tempat-tempat yang bikin speechless.

2. Shaolin Temple 
Sebagai pecinta budaya dan spiritual, aku menambahkan Kuil Shaolin sebagai target selanjutnya. Kuil ini terletak di kaki Gunung Song, provinsi Henan. Dari yang kubaca, tempat ini nggak cuma terkenal sebagai pusat seni bela diri legendaris, tapi juga punya sejarah panjang sebagai biara Buddha Chan (Zen). Aku ingin melihat langsung para biksu Shaolin berlatih kungfu, mengunjungi kuil tua yang tenang, serta menjelajah Pagoda Forest, kompleks pemakaman kuno yang ikonik. Tempat ini adalah perpaduan antara kekuatan fisik dan ketenangan batin—kombinasi yang sangat menarik buatku.

3. Beijing
Sebenarnya aku sudah pernah mengunjungi Beijing pada tahun 2017, tapi tetap saja kota ini masuk lagi ke daftar. Kenapa? Karena masih banyak tempat yang dulu belum sempat aku jelajahi. Dan jujur aja, aku juga nggak masalah balik lagi ke Tembok Besar China—buatku, pemandangannya tetap luar biasa walau dikunjungi lebih dari sekali. Selain itu, Beijing jadi titik strategis karena dari sinilah aku akan terbang menuju Mongolia. Jadi sekalian saja aku sempatkan eksplor ulang—mungkin kali ini dengan sudut pandang berbeda dan itinerary yang lebih santai.

Nah, setelah puas eksplor China, aku berencana akan lanjut ke negara kedua yaitu Mongolia dengan penerbangan langsung dari Beijing. Entah kenapa, bayangan tentang padang rumput luas, tenda-tenda yurt, dan kehidupan nomaden di bawah langit biru Mongolia itu sangat menggoda. 

Mongolia yang sebagian besar areanya dipenuhi pegunungan dan perbukitan (area berwarna coklat)

Apakah ini sudah keputusan final?


Berubah Pikiran....
Nah, di suatu waktu yang random, aku ngobrol via chat Instagram dengan Mbak Piksan, travelmate-ku tahun 2012 waktu backpacking ke India. Saat itu karena lagi menyelesaikan penulisan trip-ku ke Kolkata, aku meminta file foto-foto kita di Kolkata yang dia punya. Karena aku inget banget, saat itu memori kameraku habis sehingga seluruh foto di Kolkata pakai kamera Mbak Piksan. Di tengah obrolan ringan tentang rencana perjalananku ke China—aku sebutin target ruteku saat itu: Zhangjiajie, Shaolin Temple, Beijing, dan lanjut ke Mongolia—eh, Mbak Piksan malah nyeletuk santai

“Kalau kamu suka alam, kamu harus ke Yunnan juga.”

Yunnan? Waduh, dimana ini?? nambah lagi nih…

Lokasi Provinsi Yunnan

Aku pun refleks buka Google Maps. Dan ternyata, provinsi Yunnan itu letaknya di barat daya China, berbatasan langsung dengan Vietnam, Laos, dan Myanmar. Aku belum pernah dengar banyak soal tempat ini sebelumnya, jadi rasa penasaranku langsung meningkat tajam. Aku langsung mencari informasi tentang "Yunnan" ini di tiktok, daannn... sukses membuatku ternganga, bahkan lebih dari sebelumnya!

Video demi video memperlihatkan keindahan Yunnan yang benar-benar luar biasa! Ada Kota Tua Lijiang dengan atap-atap kayunya yang rapi dan sungai kecil yang mengalir di antara rumah-rumah tradisional. Pegunungan bersalju di Yulong Snow Mountain yang berdiri megah di bawah langit biru. Desa kuno Shuhe yang terasa damai, Danau Erhai yang tenang, sawah bertingkat di Yuanyang yang katanya setara dengan Banaue di Filipina, dan jalan setapak di Shangri-La yang seperti di dunia fiksi. Belum lagi pertunjukan megah Lijiang Show yang dipentaskan dengan latar langsung Yulong Snow Mountain, serta fenomena alam Blue Moon di Lijiang yang membuat suasana kota tua ini makin terasa magis—seakan Yunnan benar-benar diciptakan untuk menggabungkan realitas dengan dongeng. Dan vibe-nya beda banget dari tempat-tempat China yang biasanya muncul di media. Di Yunnan, aku merasa seperti menemukan sisi lain China—yang lebih tenang, lebih hijau, lebih etnik, dan penuh budaya lokal dari suku-sukunya.

Sejak saat itu, daftar perjalananku pun resmi bertambah: Yunnan harus masuk!
Dan entah kenapa, makin ditambah justru makin bikin semangat. Eh, makin pusing! Wkwkwk... Pusing ngatur waktunya gimana ini kalau sebanyak ini tujuannya, dan masih ke Mongolia lagi. Pasti membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang banyak.

Gimana ya enaknya?


Memutuskan...

Sejak itu, jujur aja… aku mulai “selingkuh” dari tujuan awal perjalananku. Zhangjiajie yang tadinya jadi bintang utama perlahan mulai tenggelam di bayang-bayang Yunnan. Kota-kota di provinsi itu seperti Lijiang, Dali, Shangri-La, benar-benar membuatku sulit mengubah pikiran lagi. Kota tuanya bukan sekadar estetik buat foto-foto, tapi hidup dengan budaya lokal. Lanskapnya bukan cuma pemandangan, tapi kombinasi antara danau, pegunungan salju, padang rumput, dan desa-desa etnik yang seolah berhenti di waktu. Bahkan, jalan darat dari Lijiang ke Shangri-La itu katanya salah satu rute tercantik di China barat daya. 

Disini aku mencoba berpikir logis. Waktu travelingku (yang disesuaikan dengan liburan idul fitri yang bisa molor-molor dikit) dan ketahananku supaya tidak terlalu bosan di jalan, adalah 2-3 minggu. Dan dengan durasi segitu, aku tahu harus memilih. Kenapa harus memilih? Karena jarak dari kota-kota di Yunnan dengan Zhangjiajie, Shaolin Temple dan Beijing itu jauhnya bukan main. Kalau kupaksa semua harus dikunjungi, selain sangat melelahkan di jalan, biaya transportasinya juga tidak sedikit.

Jadi aku harus memutuskan.
Yunnan, atau kombinasi Zhangjiajie, Shaolin Temple, Beijing dan Mongolia?

Dan semakin aku mempertimbangkan, keputusan akhirku tetap sama. YUNNAN! Alasan utamanya karena di kota-kota wisatanya - seperti Lijiang, Dali, Shangri-La - pemandangan alamnya benar-benar bervariasi dari danau, gunung, kota tua, padang rumput, hutan pinus, hingga desa Tibet (ini semua benar-benar tipe pemandangan yang aku suka); budayanya kental dan beragam: suku Bai, Naxi, Tibetan, dan lainnya; kemudian secara konektivitas ada penerbangan langsung Air Asia dari KL ke Kunming (ibukota Provinsi Yunnan); antar kota bisa diakses dengan kereta cepat yang harga tiketnya menurutku masih terjangkau.

Kedua, soal Mongolia—ini alasan yang bikin aku nyengir sendiri. Awalnya sih semangat banget mau ke sana, ngebayangin hamparan padang rumput, yurt, kuda-kuda liar, dan kehidupan nomaden. Ini semua bakal mengingatkanku ke pengalaman eksplor Asia Tengah tahun 2023 kemarin. Tapi begitu ngecek suhu rata-rata Ulaanbaatar bulan Maret...

Minus. Sampai. Nol. Derajat.

Waduhhh! Langsung keinget trauma waktu di Murmansk, Rusia, tahun 2024, waktu aku harus eksplor di tengah suhu -23 derajat celsius sampai -11 derajat celsius. Sampai tangan sama kaki kayak balok es dan hidung rasanya copot. Bahkan ada momen dimana aku hampir ga kuat (mungkin bisa saja hampir kena hipotermia) waktu mengikuti day tour ke Teriberka (desa di ujung utara bumi) Wkwkwk… No thanks, ga lagi deh! Suhu segitu itu bukan dingin lucu-lucu, tapi dingin yang membuat sangat tidak nyaman bahkan bisa menyebabkan hipotermia. Apalagi kalau harus naik angin kencang di dataran luas Mongolia. Bisa auto menyerah sebelum lihat satu pun yurt.

Pengalaman mengikuti day tour ke Teriberka di Murmansk, Rusia, dengan suhu -14 derajat celsius. Hampir hipotermia disini wkwkwk...Menurutku tidak bisa dinikmati jadi aku tidak ingin mengulanginya lagi.

Jadi ya gitu, Yunnan bukan cuma pilihan terbaik, tapi juga yang paling manusiawi buat aku saat ini. Pemandangannya indah, budayanya kaya, aksesnya gampang, dan suhunya bersahabat. 


11 Desember 2024..

Booking Tiket....

Desember 2024, aku lagi kerja freelance di Kopi Kenangan seperti biasa. Duduk di pojok kedai, sesekali sambil tetap ngebatin tentang rencanaku ke China ini “Kapan ya aku beneran klik tombol book flight Air Asia dari KL ke Kunming itu?”

Sebenarnya aku masih diliputi kebimbangan. Aku sudah beberapa minggu mantengin situs AirAsia dan dihadapkan dengan dua pilihan keberangkatan pesawat dari Kuala Lumpur–Kunming. Yang pertama lebih murah, tapi sampai Kunming jam 2 pagi (harga tiketnya sekitar 1,2 jt); yang kedua agak mahal, tapi sampai Kunming jam 5 sore (harga tiketnya sekitar 1,6 jt).

Sebagai traveler ngirit, awalnya tentu aja aku ngiler sama yang murah. Tapi kemudian tersadar. Kalau aku mendarat jam 2 pagi, artinya aku punya 2 option lanjutan. Tidur di bandara nunggu pagi sehingga bisa naik transportasi umum ke kota atau naik taksi tengah malam itu juga ke penginapan supaya bisa langsung istirahat maksimal.

'Eh tapi kan aku tipe-tipe yang susah tidur kalau di bandara gitu. Aku juga belum tau pasti kondisi Bandara Kunming gimana, apa ada tempat buat tiduran yang nyaman? Kalaupun ada apakah dingin? Trus esok paginya kan kita baru bisa check in hotel jam 2 siang, trus kopernya mau dititipin mana? Trus badan pasti sakit semua kalau malamnya tidurnya ga maksimal.'

'Naik taksi tengah malam ke penginapan. Biayanya berapa?? Keamanannya gimana?'

Pertimbanganku diatas akhirnya menghasilkan keputusan logis. Aku memilih penerbangan yang landing jam 5 sore. Gpp agak mahal. Tapi setidaknya aku bisa keluar bandara dengan tenang, naik metro, dan langsung ke hotel. Malamnya aku bisa jalan-jalan di pasar malam dilanjutkan tidur nyaman malam tanpa drama. Karena aku sadar—perjalanan ini panjang, dan aku harus mulai dengan kondisi terbaik.

Akhirnya… aku klik juga tombol itu. 

Tiket KL–Kunming seharga 1,6 juta rupiah resmi kubeli.

YEAYYY!


Akhirnya, aku beneran akan berangkat ke Yunnan!

Perasaanku campur aduk waktu itu. Antara lega dan excited. Karena rasanya beda ya, antara wacana dan eksekusi. Setelah sekian lama cuma liatin Kota Tua Lijiang, Kota Tua Dali di TikTok, baca-baca pengalaman orang ke Shangri-La, baca-baca pengalaman orang di grup backpacker, sekarang aku sudah mempunyai tiketnya kesana!

Bagaimana dengan tiket pulang?

Belum aku beli. Dan memang sengaja, karena aku masih belum tahu akan berapa lama di China. Bisa 2 minggu, bisa lebih. Itu semua tergantung itinerary/rencana perjalanan yang segera akan kususun setelah ini, karena kemungkinan dari Yunnan, aku masih akan eksplor provinsi lain dulu. Aku benar-benar harus mempelajari rutenya dahulu, terutama transportasi penghubung antar wilayah.

***

11 Desember 2024..

Tibet terlalu menggoda....

Setelah aku beli tiket ke Kunming itu, bukannya tenang dan fokus bikin rencana perjalanan di Yunnan, pikiranku malah mulai berkecamuk. Tiba-tiba muncul keinginan baru yang datang tanpa diundang.

“Oke. Memang Yunnan cantik, tapi menurutku ini mainstream. Maksudku, sudah banyak orang yang traveling kesana juga. Gimana kalau aku tambahkan Tibet sekalian aja ya?”

Wkwkwk... dasar manusia, emang nggak pernah puas. Baru beli tiket satu, udah mulai ngelirik destinasi lain. Tapi ya begitulah aku, semakin dekat ke petualangan, semakin banyak imajinasi liar yang muncul.

Kenapa keinginan ini tiba-tiba muncul begitu saja??

Ya karena beberapa alasan yang cukup kuat (dan sedikit impulsif):

Pertama, aku sadar selama beberapa tahun belakangan ini, aku cenderung memilih destinasi yang agak anti-mainstream. Yang nggak semua orang tempuh. Contoh mengunjungi Asia Tengah di April 2023, dimana pada saat itu masih sedikit banget traveler asal Indonesia yang kesana; mengunjungi Russia di 2024 saat masih ada perang dingin dengan Ukraina dan embargo dari banyak negara; mengunjungi Oman di 2024 juga. Jadi aku merasa kalau aku hanya ke Yunnan aja, kok sedikit kurang menantang? wkwkwk. Bagaimana kalau kita tambahkan satu destinasi lagi di China yang membuat andrenalinku berpacu kencang?  

Bagaimana kalau Tibet??

Nah ini! Ini jawabannya! Masih rare, masih penuh misteri, dan sangat spiritual.

Kedua, aku pikir-pikir… mumpung aku masih punya tabungan dan tenaga.
Aku tahu pergi ke Tibet nggak semudah booking pesawat, booking hotel terus ikut day tour. Perlu tenaga, adaptasi dengan ketinggian, dan biaya yang nggak kecil juga - karena kita diwajibkan ikut paket tour yang teregistrasi di China dan mempunyai Tibet Travel Permit (TTP). Kapan lagi kan? Badan masih bisa diajak jalan jauh, kaki belum rewel, dan mental masih kuat.

Ketiga, secara geografis. Tibet itu udah tinggal ‘selangkah’ dari Yunnan. Letaknya sudah berbatasan dengan Shangri-La sebagai kota ketiga yang rencana kukunjungi di Yunnan. Berdasar browsingku, pilihan ke Tibet bisa dilakukan dengan naik pesawat (dari kota-kota besar di China) atau naik kereta api ke Lhasa yang katanya salah satu perjalanan kereta tercantik di dunia. Bayangin aja—hamparan padang luas, langit biru bening, kuil-kuil Buddhis, dan biara-biara megah yang berdiri di tengah lanskap epik. 

Jadi 3 alasan itu sudah cukup membuatku tenggelam di google untuk browsing penyedia paket tour yang terpercaya di Tibet. Aku udah tahu dari lama bahwa untuk masuk Tibet nggak bisa mandiri, apalagi sebagai foreigner—harus ikut tur resmi dari operator China mainlandAku membuka banyak paket, mengecek keabsahan penyedia tour tersebut, dan akhirnya memutuskan Asia Odyssey Travel sebagai travel pertama yang akan kuemail untuk konsultasi.

Berdasarkan browsingku di situs mereka, untuk tujuan Tibet, pilihannya ada beberapa variasi. 

  • Ada yang 3 hari, cuma eksplor Lhasa dan sekitarnya—kuil-kuil utama, Potala Palace, dan pasar lokal.
  • Lalu ada 5 hari buat yang mau mulai nyicip daerah luar Lhasa sampai EBC.
  • Terus lanjut ke 7 hari, 8 hari, 9 hari—semakin panjang, semakin liar rutenya., termasuk EBC dan beberapa danau.

Dan dari semua itu, paket yang bikin aku naksir berat adalah yang 7 hari.
Kenapa?? Pertama, karena dia masukin EBC (Everest Base Camp) ke dalam rute.
Yes, EVEREST BASE CAMP, guys. Walaupun cuma sampai titik pandangnya dari sisi Tibet, tapi aku yakin udah cukup banget buat bikin merinding. Bayangin berdiri di tengah padang tandus tinggi, dengan angin dingin yang menggigit, lalu di depan kita berdiri gagah gunung tertinggi di dunia—itu pasti pengalaman yang nggak akan pernah bisa aku lupakan.

Wuah... siapa yang ga kepincut dengan itinerary eksplor Tibet 7 hari ini? Semangat dan andrenalinku langsung membuncah begitu membacanya!

Kedua, emang bener… harganya lumayan mahal—hampir 900 USD. Tapi setelah aku baca semua include-nya, itu sudah termasuk akomodasi 6 malam, transportasi darat selama tur, guide lokal, biaya Tibet Travel Permit (TTP), tiket masuk ke tempat wisata, dan beberapa kali makan yang juga sudah termasuk. Jadi bisa dibilang, jika aku ambil paket tur 7 hari ini, selama disana aku bassicaly hanya akan keluar uang dikit aja untuk beberapa kali makan dan tip guide. Dan setelah kupikir-pikir, masih masuk akal juga! Dengan segala pengalaman yang ditawarkan—dari kota suci Lhasa, Danau Yamdrok yang biru banget, Biara Gyantse dan Shigatse, sampai kaki Gunung Everest—harga segitu bukan lagi soal mahal, tapi soal sepadan atau nggaknya. Dan menurutku ini sepadan banget.

Tempat-tempat ikonik yang akan dikunjungi di Tibet.

Setelah berhari-hari browsing, buka tab demi tab, baca review dan bandingkan itinerary, akhirnya aku memberanikan diri mengisi form enquiry di Asia Odyssey Travel—agen tour yang setelah kuulik, ternyata memang salah satu yang terbesar dan paling kredibel di China buat perjalanan ke Tibet.

Awalnya deg-degan juga. Ini bukan booking hostel biasa atau tiket kereta, tapi masuk ke wilayah “serius” yaitu daftar tur resmi. Dalam dua hari, aku dapat balasan email dari seorang agen bernama Mr. Wang, dan dari situlah awal mula segala percakapan dimulai. Mr. Wang menjelaskan semuanya dengan cukup detail dan sabar. Dia jelasin soal itinerary hari demi hari, dokumen yang dibutuhkan, jenis akomodasi, hingga rute perjalanan menuju Everest Base Camp. Tapi yang bikin aku makin mantap adalah ketika dia bilang:


“Untuk pembayaran bisa dicicil 3x.”

Loh? Serius nih? Bisa dicicil?!


Langsung terasa kayak semesta kasih angin—karena jujur, harga hampir 900 USD itu lumayan nguras tabungan kalau harus bayar sekaligus, kayak ga rela gitu kalau langsung dibayar sekaligus wkwk. Tapi dengan skema cicilan ini, rasanya jauh lebih doable. Aku bisa bayar sebagian dulu, lalu sambil kerja dan nabung untuk pelunasan sebelum tanggal tur dimulai.

Dan di titik itulah… aku berhenti mikir.
Aku memutuskan: IYA. Aku akan ke Tibet.

Tiba-tiba semuanya terasa nyata. Aku bukan lagi sekadar traveler yang mengintip Tibet dari layar ponsel, tapi bakal benar-benar menjelajahi atap dunia. Dari Lhasa sampai EBC. Dari kereta panjang yang menembus dataran tinggi, sampai biara-biara sunyi yang berdiri anggun di bawah langit biru. Tibet bukan lagi mimpi. Dia sekarang jadi tujuanku!

Ini dia, andrenalinku mulai naik! Inilah yang kuharapkan sebelum mulai suatu perjalanan. Setelah obrolan panjang dengan Mr. Wang, aku segera melakukan pendaftaran resmi. Aku mengirimkan scan paspor dan membayar DP tahap pertama—tanda bahwa aku benar-benar serius menapaki jalan ke Tibet. Dari sekian banyak tanggal keberangkatan, aku memilih yang paling pas dengan rencana perjalanan panjangku yaitu 2–8 April.

Mr. Wang juga memberi catatan penting:
“Satu bulan sebelum keberangkatan, visa China harus sudah dikoleksi.”

"Oke Sir, aku akan mengurus visanya bulan Februari. Aku akan mengirimkannya lewat email ini kalau sudah selesai," jawabku.

***

Simple, tapi rasanya kayak menandatangani kontrak dengan takdir. Sekarang itineraryku sudah mulai agak jelas. Aku sudah punya tiket KL ke Kunming untuk memulai perjalananku di Provinsi Yunnan, Tur ke Tibet sudah daftar dan DP tahap pertama. Selanjutnya muncul pertanyaan besar berikutnya yang membuatku kembali termenung,

“Setelah Tibet… aku mau ke mana sebelum pulang ke Indonesia?”

Mau mampir ke Chengdu lihat panda?
Mau lanjut ke Xi’an napak tilas Dinasti Tang?
Atau sekalian lintas batas ke negara baru? Laos? Vietnam? Atau malah balik ke Yunnan dan slow travel dulu di desa-desa cantik itu?

Menurut kontrak yang dikirimkan Mr. Wang, aku sudah di-lock untuk masuk Tibet tanggal 2 April dan keluar tanggal 8 April. Dan ini bukan tanggal fleksibel kayak check-in hostel biasa—ini tertera resmi di Tibet Travel Permit, dokumen yang mengatur semua gerak-gerik wisatawan asing di wilayah tersebut.

“Karena tanggal masuk dan keluar tertulis di Tibet Travel Permit, jadi tidak bisa diutak-atik,” begitu kata Mr. Wang. 

Jadi ya, aku nggak bisa seenaknya datang lebih awal atau extend setelah tanggal 8 April. Untuk masuk dan keluar Tibet, aku punya dua pilihan realistis yaitu kereta atau pesawat. Dan meskipun kereta dari Lhasa ke kota-kota besar China itu terkenal dengan jalur paling tinggi dan paling epik di dunia, tapi setelah kupikir-pikir tantangannya banyak juga wkwk...Perjalanan naik kereta bisa 36–48 jam sekali jalan; keretanya memang sleeper, tapi punggungku bukan lagi punggung bocah dan aku bukan tipe yang mudah tertidur di kereta; dan ternyata… harga tiket keretanya hampir sama dengan pesawat. Akhirnya dengan segala kebijakan ala tubuh jompo dan logika traveler hemat tapi realistis, aku pun memutuskan naik pesawat aja. Simpel, cepat, dan hemat tenaga buat eksplor lagi setelahnya. 

Lalu muncullah pertanyaan berikutnya:
“Kalau keluar dari Tibet tanggal 8 April… aku mau landing di kota mana, ya?”

Beberapa hari aku browsing—mantengin peta, buka aplikasi flight search, cek harga, dan ngebandingin rute. Aku cari kota yang masih dalam jangkauan harga pesawat dari Lhasa; harga tiket kembali ke Singapura/Malaysia/Indonesia juga realistis; dan tentu saja… kota itu punya daya tarik untuk dijelajahi.

Aku sempat berpikir ingin landing di Kota Zhangjiajie, untuk lanjut eksplor Pegunungan Tianmen, sesuai rencana awalku kenapa aku ingin banget mengunjungi China. Namun ternyata.. tiket pesawat sekali berangkat dari Lhasa ke Zhangjiajie hampir 3 juta per-orang. Menurutku masih cukup mahal... Aku mencari alternatif lain. Setelah browsing beberapa hari, zoom in dan zoom out google maps, akhirnya aku dapat 3 kandidat kota yaitu Chengdu, Chongqing, dan kembali ke Kunming.

Dan dari semua itu, dengan segala pertimbangan dan rasa penasaran, aku memilih....Chengdu. Alasannya simpel. Harga tiket dari Lhasa ke Chengdu masih masuk akal (ada di kisaran 1,8 jt - 2,5 jt sekali jalan); dari Chengdu ke Jakarta/KL/Singapura juga banyak pilihan maskapai dan tanggal fleksibel; dan yang paling penting di Chengdu ada pusat 

Jadi, setelah dari dataran tinggi Tibet, aku akan “turun gunung” ke Chengdu—mungkin untuk leyeh-leyeh, ngelus panda, atau sekadar menenangkan hati setelah petualangan luar biasa dari atap dunia. Awalnya aku pikir, "Udah lah, di Chengdu cukup 2 harian aja, santai-santai sebelum pulang ke Indonesia." Rencanaku simpel. Jalan-jalan di kota, makan hotpot, ngelus panda, leyeh-leyeh di hostel yang proper. Setelah petualangan Tibet, rasanya memang butuh istirahat.

Tapi ya… namanya juga aku. Tanganku terlalu gatal untuk diam saja wkwkwk. Dan nasib sialnya (atau beruntungnya?) aku iseng search kata ‘Chengdu’ di grup backpacker FB, dan…

BOOM. Satu nama muncul dan langsung mencuri hatiku:

Taman Nasional Jiuzhaigou

Taman Nasional Jiuzhaigao. Ini apa?... kok bisa ada tempat seindah ini??
Sumber Gambar : Wikipedia

Waduhhh apalagi ini???Aku langsung scroll foto-fotonya dan.... ya ampun... kok bisa seindah ini? Ada danau bening biru toska, air terjun bertingkat, dedaunan warna-warni, gunung di kejauhan. Kayak… bukan bumi. Cantik banget. Gila!

Awalnya aku nahan-nahan diri.

“Nggak, jangan dicari lebih lanjut, nanti kepincut…”
Tapi ya tetep aja, jari-jari ini malah makin gesit buka info. Wkwkwk...

Dan ternyata—taman ini bukan di Chengdu. Jiuzhaigou itu lokasinya sekitar 400 km dari Chengdu, dan untuk ke sana pilihan transportasinya ada 2, yaitu bisa naik bus 10 jam langsung ke kota Jiuzhaigou; atau naik kereta cepat 3 jam ke Stasiun Jiuzhai Huanglong Station, lanjut bus 1,5 jam ke pusat kota Jiuzhaigou.

Oh ya ampun… harus naik kereta, sambung bus lagi. Masih kuat nggak ni badanku? Masih semangat nggak nanti niatku? Aku pikir abis dari Tibet bisa langsung rebahan santai di kota. Tapi ini malah tergoda naik gunung lagi. Wkwkwk, memang dasar traveler kamaruk wkwk.

Tapi semakin aku searching, semakin jelas rasanya. Taman ini nggak bisa dilewatkan. Buat pecinta alam—dan itu jelas aku—Jiuzhaigou tuh kayak surga.
Satu taman nasional, penuh danau sebening kaca, air terjun berlapis-lapis, hutan berwarna pelangi, dan udara pegunungan yang segar banget.

Akhirnya, aku menyerah…
"Awhhh sudahlah! Aku harus ke sini!"
Wkwk… capek? Mungkin. Tapi menyesal kalau nggak ke sini? PASTI.

Menimbang semua energi yang akan terkuras setelah pulang dari Tibet, plus perjalanan darat yang lumayan menguras fisik ke Jiuzhaigou, aku akhirnya memutuskan untuk menambahkan 4 hari ekstra setelah tanggal 8 April. Karena ya, kalau mau menikmati Taman Nasional Jiuzhaigou dengan layak—tanpa terburu-buru, tanpa ngos-ngosan, tanpa badan ngilu—aku butuh waktu.

"Kurasa tanggal 12 April waktu kepulangan yang tepat," gumamku dalam hati sambil menatap kalender.

"Nanti aku hunting tiket pulangnya dulu ah," lanjutku sambil mematikan laptop.
Mataku rasanya pedih karena seharian ini kerjaannya cuma satu: browsing.
Browsing kota, transportasi, wisata, harga tiket, review hostel, dan… tentu saja, video-video TikTok yang bikin makin gak tahan.

Dan akhirnya, kerangka itinerary perjalananku terbentuk:

23 Maret – 2 April 2025

Eksplorasi Yunnan
(Dari Kunming – Lijiang – Shangri-La - Dali - Kunming)


2 – 8 April 2025
Ikut tur ke Tibet - start dari Kota Kunming (Penerbangan Kunming - Lhasa)
(Lhasa – Yamdrok Lake – Gyantse – Shigatse – Everest Base Camp)


8 – 12 April 2025
Eksplor Chengdu dan Jiuzhaigou
(Makan hotpot, ngelus panda, lalu lanjut ke surga tersembunyi Jiuzhaigou)

Itinerary ini aku rasa terasa seimbang, yaitu diawali dengan eksplorasi budaya dan alam di Yunnan yang adem, lalu naik ke puncak spiritual dan petualangan berat di Tibet, dan diakhiri dengan penutup epik di Jiuzhaigou, yang aku yakin akan membuatku pulang dengan hati dan galeri penuh.

OK, siap eksekusi tahap selanjutnya ! Hhh.. melelahkan sekali.


Part Selanjutnya : DISINI