Trip ini merupakan cerita perjalananku menjelajah India dari 21 Agustus 2012 - 2 September 2012. Part selanjutnya dari setiap cerita akan aku berikan link-nya di bawah.
Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba: hari kepulangan dari India! Setelah perjalanan yang cukup menguras mental — ya ampun, jujur saja traveling di India memang penuh tantangan fisik dan mental wkwk. Aku, Mbak Piksan, dan Sony naik taksi dari hotel menuju bandara di Kolkata. Hari ini kita akan terbang dari Kolkata ke Kuala Lumpur. Rasanya campur aduk, antara lega, excited, dan kangen banget sama Indonesia.
Oya sejak sebelum berangkat, aku sudah melakukan check in online untuk penerbangan-ku di website Air Asia, dan sudah mendapatkan boarding pass. Boarding pass tersebut juga sudah aku cetak, jadi kupikir aman lah ya.
Sampai di bandara, kami langsung menuju area check-in. Mbak Pixan dan Sony langsung sibuk urus check-in dan memasukkan bagasi. Tapi aku, karena sudah memegang boarding pass hasil check in online, jadi santai-santai saja. Karena pengalamaku sebelumnya di Kuala Lumpur juga lancar dengan boarding pass hasil check in online, jadi kupikir hal yang sama akan berlaku untuk penerbangan dari Kolkata ke Kuala Lumpur.
Aku pun santai-santai aja. Tidak ikut antri dengan mereka. Mungkin malah kelihatan paling tenang pagi itu—sampai akhirnya semua selesai dan kami jalan bersama menuju imigrasi.
Nah, sebelum masuk ke bagian imigrasi, ada satu pos pemeriksaan awal. Di sini petugas akan mengecek dokumen dan tiket sebelum diperbolehkan masuk ke area imigrasi. Dengan percaya diri aku serahkan paspor dan boarding pass cetakanku. Tapi wajah petugas berubah.
Dia melihat ke print-an boarding passku, lalu berkata, “This is not valid. You must get your boarding pass from the check-in counter.”
Hah?
Aku sempat bengong. “But I already did web check-in,” kataku, mulai panik.
Tapi petugas tetap tegas. No valid boarding pass, no entry.
Waduh.
Dalam hati aku langsung was-was. Jangan-jangan counter check-in-nya udah tutup? Gawat banget kalau dianggap no-show pas check in. Bisa-bisa gagal terbang pulang...
Tanpa pikir panjang, aku langsung lari balik ke area check-in. Bagian itu sudah mulai sepi. Tidak ada antrian. Tapi untung banget—masih ada petugas AirAsia yang berjaga. Aku langsung menghampiri, sambil menunjukkan boarding pass online dan paspor. Petugasnya sempat mengecek daftar, lalu mengangguk dan membuka laci kecil di meja. Dan di situ... ya ampun, boarding pass-ku ada!
Ternyata, mereka memang sudah mencetak dan menyimpannya. Mungkin aku satu-satunya penumpang yang belum ambil. Aku diberikan boarding pass resmi, dan akhirnya bisa kembali ke jalur imigrasi dengan napas yang sedikit ngos-ngosan tapi lega bukan main.
Setelah berhasil mendapatkan boarding pass resmiku tadi—yang nyaris membuatku gagal berangkat—aku langsung balik ke area imigrasi. Kali ini dengan langkah agak terburu tapi hati lebih tenang. Pemeriksaan paspor berjalan cukup lancar. Petugasnya hanya memeriksa beberapa detik, stempel ditempel, dan aku dipersilakan lanjut. Satu rintangan terlewati.
Berikutnya adalah pemeriksaan barang bawaan. Aku membawa beberapa oleh-oleh, salah satunya yang cukup mencolok: miniatur Taj Mahal yang kubeli waktu di Agra. Miniatur itu terbuat dari bahan semacam lilin padat—entah kapur, gips, atau parafin, aku juga nggak yakin. Tapi tampilannya elegan, detail, dan terlihat rapuh sekaligus misterius. Mungkin karena bentuknya unik dan agak padat, tasku sempat disuruh dibuka oleh petugas. Mereka penasaran mungkin, takut benda itu aneh-aneh. Aku jelaskan bahwa itu oleh-oleh, dan setelah diperiksa sebentar, mereka membiarkanku lanjut. Fiuh, lolos lagi.
Tapi ternyata… belum selesai juga.
Begitu sampai di pemeriksaan terakhir sebelum masuk ruang tunggu boarding, aku dan rombongan diminta menunjukkan tas jinjing atau tas kabin yang kami bawa. Petugas di pos itu berkata, “You need the AirAsia cabin bag tag on your luggage.”
Dan aku langsung membatin, ya ampun, apalagi ini?
Ternyata, untuk semua tas yang dibawa ke dalam kabin, harus ada tag kecil dari AirAsia—semacam stiker atau pita label yang menunjukkan bahwa tas tersebut sudah diverifikasi sebagai bagasi kabin. Karena tadi aku cuma ambil boarding pass di detik terakhir, tentu saja tasku belum dikasih tag sama sekali.
Petugasnya tegas, “You can’t bring your bag in without the tag.”
Wah, panik lagi. Aku udah di depan pintu terakhir sebelum boarding. Tapi harus putar balik. Lagi.
Aku buru-buru lari balik ke area check-in. Ini udah kayak misi bolak-balik penuh adrenalin di bandara. Untungnya, petugas AirAsia yang tadi masih di sana. Aku langsung menjelaskan, “They need the cabin tag for my bag,” sambil menunjuk tasku.
Dan dengan ekspresi sedikit capek tapi tetap profesional, si petugas langsung mengambil satu label kecil dan menempelkannya di tas jinjingku. “Here you go,” katanya.
Akhirnya! Semua urusan beres.
Dengan langkah sedikit ngos-ngosan dan napas campur tawa pahit, aku kembali ke gerbang keberangkatan. Tas sudah berlabel, boarding pass sudah resmi, dan semua pemeriksaan sudah dilewati. Tak lama kemudian, kami pun naik ke pesawat. Kursiku di baris tengah, dan begitu duduk, aku bersandar sambil menghembuskan napas panjang.
India, kau memang penuh kejutan sampai detik terakhir wkwkwk...
Tidak menunggu lama, kami dipersilahkan boarding. Penerbangan dari Kolkata ke Kuala Lumpur berjalan lancar—sekitar 4 jam-an di atas udara. Meski sempat ada sedikit turbulensi di tengah-tengah, tapi jujur aja, aku udah terlalu excited buat peduli. Rasanya kepala ini udah penuh bayangan kepulangan. Dan benar aja, begitu pesawat mulai menuruni ketinggian dan aku bisa melihat pemandangan KLIA yang familiar dari jendela rasanya kayak pulang ke dunia nyata.
Tapi karena penerbangan ke Jakarta baru esok harinya, ya... aku harus nginep semalam di KLIA. Dan namanya juga backpackeran, ya ngemper jadi pilihan. Cari spot yang agak nyaman di pojokan, deket colokan, lalu gelar jaket jadi alas duduk. Tidur seadanya, dengan tas kupeluk erat dan suara pengumuman bandara jadi lagu pengantar tidur. Nggak mewah, tapi memorable.
Besok paginya, aku lanjut terbang dari Kuala Lumpur ke Jakarta. Penerbangan yang juga lancar dan tenang. Tapi cerita belum berakhir sampai situ—dari Jakarta, aku masih punya satu leg lagi: naik pesawat Air Asia promo super murah (beneran murah, cuma seratus ribu rupiah!) dari Jakarta ke Jogja. Gila, mana dapet harga segitu lagi coba?
Setelah mendarat di Bandara Adi Sucipto, Jogja, aku melangkah keluar dari bandara sambil menenteng tas. Rasanya badan udah capek tapi hati masih hangat. Perjalanan panjang dari India, transit di KL, lanjut ke Jakarta dan Jogja, akhirnya hampir selesai. Tapi masih ada satu perjalanan terakhir: naik kereta Prameks ke Solo.
Waktu itu aku menunggu kereta di Stasiun Maguwo, yang terletak di sebelah Bandara Adi Sucipto. Suasananya cukup tenang. Ada beberapa orang duduk di bangku peron, sebagian sibuk dengan HP, sebagian lagi hanya melamun menunggu kereta datang. Tapi jumlahnya nggak banyak, dan semuanya terasa... rapi. Tertib. Teratur.
Dan di saat itulah pikiranku otomatis membandingkan—mengingat kembali suasana stasiun-stasiun kereta di India yang baru saja kulewati beberapa hari sebelumnya. Di sana, hampir setiap stasiun selalu penuh sesak. Koper, tas karung, anak kecil, dan orang dewasa bercampur jadi satu. Ramai banget, bahkan bisa dibilang membludak.
Belum lagi soal kebersihannya—atau lebih tepatnya, ketidakbersihannya. Di banyak stasiun India, terutama di peron, aku sering melihat bekas ludahan merah di mana-mana, mulai dari dinding, lantai, bahkan kadang di tangga. Awalnya aku bingung, kok bisa sebanyak itu? Tapi kemudian aku tahu, itu adalah bekas dari pan atau gutka—semacam campuran tembakau, kapur, dan pinang yang dikunyah lalu diludahkan. Masyarakat India memang banyak yang mengonsumsi itu, dan sayangnya, membuang ludahnya sembarangan seperti sudah jadi kebiasaan umum.
Jadi waktu aku duduk di peron Stasiun Maguwo yang sepi, bersih, dan teratur itu, aku merasa sangat... bersyukur. Bahwa aku tinggal di Indonesia. Bahwa aku bisa pulang ke rumah dengan kereta yang nyaman, tanpa harus menapaki lantai yang penuh ludah atau dorong-dorongan dengan puluhan orang lain hanya untuk masuk ke gerbong.
Kadang, setelah melihat dunia luar yang lebih keras dan berantakan, kita jadi lebih menghargai rumah sendiri. Dan sore itu, menunggu Prameks di Jogja, aku benar-benar merasakan rasa syukur yang sederhana tapi dalam.
Akhirnyaa.. tidak menunggu lama kereta datang dan di sore hari aku sudah sampai kotaku tercinta, Solo. Aku dijemput ayahku di stasiun dan berkendara selama 20 menit, akhirnyaa sampai juga di rumah. Ibuku menyambutku dengan senang. Well, bagaimana tidak? Semester 2 kuliah udah berani backpackeran ke India wkwkwk.. Sore itu perasaanku sangat lega. Lega karena akhirnya bisa istirahat di rumah sendiri. Senang karena semua berjalan lancar. Tapi juga... ada sedikit rasa kosong. Seperti: "Lho, udah selesai aja?" Padahal kemarin masih lari-larian di bandara Kolkata.
Tapi satu hal yang pasti: perjalanan ini penuh cerita. Penuh warna. Dan penuh kenangan yang nggak akan pernah kulupakan seumur hidup.
Hmmmmm.... YES! Absolutely! 🤣🤣
-- FINISHED --
0 comments:
Posting Komentar