Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

10.07.2025

Boyolali, 7 Oktober 2025 : Ilusi Kompleksitas Manusia

 Di zaman sekarang manusia hidup di tengah segala kemudahan, tapi anehnya justru makin banyak yang merasa hampa. Kita bisa berkomunikasi secepat kilat, tapi sering merasa sendirian. Punya segalanya di genggaman, tapi kehilangan rasa cukup. Tidur di kasur empuk, tapi pikiran terus berisik.

Depresi, kecemasan, dan overthinking kini bukan lagi istilah klinis yang asing. Mereka sudah jadi bagian dari bahasa sehari-hari. Bukan karena dunia makin jahat, tapi karena kepala kita terlalu penuh. Terlalu banyak yang dipikirkan, terlalu banyak yang dibandingkan, dan terlalu banyak yang ditakutkan.

Ironisnya, semakin manusia dianggap maju, hidupnya justru terasa makin rumit. Kita punya teknologi, pendidikan, dan kebebasan, tapi bersamaan dengan itu muncul tekanan, ekspektasi, dan kekosongan batin yang sulit diisi. Semua ini terjadi karena kita menciptakan sesuatu yang disebut ilusi kompleksitas, yaitu keyakinan bahwa hidup harus istimewa, penuh makna, dan punya tujuan besar, padahal mungkin tidak perlu.

Hidup sebenarnya sederhana, tapi pikiran kita membuatnya menjadi drama panjang dengan subplot yang tak berujung.

****

1. Asal-usulnya Karena Kesadaran dan Imajinasi

Manusia dikaruniai dua kemampuan besar di otaknya, yaitu kesadaran diri dan imajinasi masa depan. Dua hal ini membuat kita menjadi makhluk paling kompleks sekaligus paling rumit di planet ini. Kesadaran diri membuat kita bisa melihat diri sendiri dari luar dan bertanya hal-hal yang tidak pernah muncul di kepala makhluk lain. Siapa aku, kenapa aku begini, apa yang orang lain pikirkan tentangku.

Sementara imajinasi masa depan memberi kita kemampuan untuk merancang rencana, menunda kesenangan, dan membangun peradaban. Tapi di sisi lain, imajinasi ini juga membuka pintu kecemasan. Kita bisa membayangkan masa depan yang belum terjadi, gagal yang belum datang, dan kehilangan yang belum dialami. Kita menciptakan kekhawatiran dari hal-hal yang belum nyata.

Dua kemampuan itu sebenarnya luar biasa. Tanpa mereka, tidak akan ada sains, seni, atau kemajuan peradaban. Tapi seperti banyak hal lain dalam hidup, kelebihan selalu datang bersama efek samping. Kesadaran dan imajinasi yang seharusnya menolong kita malah sering menjadi sumber penderitaan. Kita tidak hanya hidup, tapi juga memikirkan tentang hidup. Kita tidak hanya merasa, tapi juga menilai setiap perasaan. Kita tidak hanya mengalami sesuatu, tapi juga terus mengomentari pengalaman itu di kepala berulang-ulang.

Akhirnya hidup yang mestinya sederhana, sekadar makan, tidur, berinteraksi, dan beristirahat, berubah menjadi sistem yang rumit penuh target, pembanding, dan kecemasan. Kita ingin hidup bahagia, tapi justru sibuk mencari rumusnya. Kita ingin tenang, tapi malah stres memikirkan cara untuk tenang. Padahal makna yang kita kejar sering kali tidak lebih dari bayangan yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri.

Kita lupa bahwa otak hanyalah alat untuk bertahan hidup, bukan mesin pencipta makna. Tapi karena begitu kuat, ia berbalik mengatur kita. Ia membuat kita percaya bahwa hidup harus luar biasa agar pantas dijalani, padahal cukup hidup dengan sadar pun sudah luar biasa.


2. Bentuk-bentuk Ilusi Kompeksitas 

Manusia punya kebiasaan aneh, hal-hal sederhana selalu ingin dibuat lebih rumit, seolah kalau tidak rumit berarti tidak bernilai. Padahal semakin ditumpuk, semakin jauh kita dari esensinya.

Dulu orang merasa cukup kalau bisa makan, punya tempat berteduh, dan tidur nyenyak tanpa takut kelaparan. Itu sudah dianggap puncak dari hidup yang berhasil. Sekarang ukurannya bergeser jauh. Sukses harus punya rumah yang estetik, mobil yang bisa dipamerkan, tabungan yang terus bertambah, investasi berlapis, jam tangan mahal, hingga gaya hidup yang tampak mapan di media sosial. Padahal jika dipreteli satu-satu, ujungnya tetap sama. Manusia hanya ingin merasa aman. Aman dari kekurangan, aman dari penilaian orang lain, aman dari ketakutan tidak dianggap berhasil. Kita mengejar keamanan itu lewat simbol-simbol materi, padahal rasa aman sejati tidak pernah membutuhkan penonton.

Cinta pun bernasib sama. Kalau dibuat sederhana, cinta hanya soal dua hal, memberi dan diterima. Namun manusia jarang puas dengan kesederhanaan. Kita bungkus cinta dengan permainan perasaan, gengsi, taktik tarik-ulur, dan ekspektasi yang sering kali tidak realistis. Kita ingin pasangan yang paham tanpa perlu dijelaskan, setia tanpa salah, dan dewasa tanpa pernah goyah. Padahal cinta yang murni itu tidak rumit, cukup dua orang yang saling hadir, saling jujur, dan saling tumbuh bersama. Sisanya hanyalah ego yang ingin diakui, bukan kasih yang ingin dirasakan.

Begitu juga dengan kebahagiaan. Hampir semua orang mengaku hanya ingin bahagia, tapi entah kenapa kebahagiaan justru dijadikan proyek besar yang rumit. Kita berpikir bahagia harus dicapai lewat karier yang mapan, gaji besar, pasangan ideal, rumah impian, tubuh sempurna, dan gadget terbaru. Kita terus mengejar kebahagiaan seperti mengejar ujian yang tidak pernah selesai, karena selalu ada kata nanti di ujungnya. Nanti kalau sudah punya ini, nanti kalau sudah jadi itu. Padahal bahagia sebenarnya tidak pernah pergi. Ia hanya tertutup oleh lapisan keinginan yang tidak ada habisnya. Kadang bahagia sesederhana tubuh yang sehat, hati yang tenang, udara pagi, dan seseorang yang bisa diajak berbicara dengan jujur. Itu saja sudah cukup.


3. Dampaknya Jauh dari Kesederhanaan Alami

Karena terus terjebak dalam ilusi kompleksitas itu, manusia akhirnya tumbuh menjadi makhluk yang selalu merasa lelah tanpa benar-benar tahu sebabnya. Kita bangun pagi dengan pikiran penuh target, terburu-buru bekerja, mengejar pencapaian, lalu menutup hari dengan rasa capek yang aneh. Bukan karena fisik, tapi karena batin yang terus dikejar bayangan “kurang”. Kita hidup dalam rutinitas yang padat, namun sering merasa kosong. Dikelilingi banyak hal, tapi jarang benar-benar merasa cukup.

Manusia modern seperti kehilangan kemampuan paling dasar, yaitu menikmati. Makan bukan lagi soal memenuhi rasa lapar, tapi menjadi ajang untuk tampil menarik di mata orang lain. Liburan tidak lagi tentang istirahat, melainkan tentang pembuktian bahwa hidup kita seru dan patut dikagumi. Bahkan ketenangan batin kini berubah menjadi proyek panjang yang penuh metode, panduan, dan daftar langkah-langkah. Kita sibuk berusaha “healing”, tapi justru makin jauh dari rasa tenang yang kita cari.

Padahal hidup yang sederhana bukan berarti hidup yang miskin pengalaman. Justru di sana letak keutuhan. Hidup yang tahu kapan harus berhenti, kapan cukup, dan kapan membiarkan sesuatu berjalan tanpa perlu diatur. Semakin keras kita berusaha menciptakan kehidupan yang lebih baik, kadang kita malah makin jauh dari hidup itu sendiri. Kita lupa bagaimana rasanya duduk diam tanpa tergesa, makan dengan rasa syukur, atau menatap langit sore tanpa maksud apa pun. Mungkin di momen-momen sederhana seperti itulah kedamaian yang kita cari selama ini sebenarnya bersembunyi.


4. Cara Keluar dari Ilusi Itu

Keluar dari ilusi kompleksitas bukan berarti kita harus jadi anti-teknologi, pindah ke gunung, atau hidup minimalis ekstrem sambil makan umbi-umbian di hutan. Hidup di dunia modern tetap perlu keseimbangan. Kuncinya bukan menolak perkembangan, tapi menyadari kapan kita sudah terseret terlalu jauh.

Langkah pertama adalah menyadari bahwa tidak semua hal perlu dicari maknanya. Kadang sesuatu cukup dijalani tanpa harus didefinisikan. Tidak semua perasaan harus dimengerti, tidak semua momen harus punya pesan moral. Ada kalanya hidup hanya ingin dijalani, bukan dianalisa. Semakin kita berusaha memberi makna pada segalanya, semakin kita kehilangan makna itu sendiri.

Langkah berikutnya adalah belajar menghargai rutinitas kecil tanpa merasa harus selalu produktif. Tidak apa-apa kalau hari ini cuma makan enak, jalan sebentar, lalu tidur siang. Nilai hidup tidak ditentukan dari seberapa sibuk kita, tapi dari seberapa sadar kita hadir di setiap momen yang sederhana.

Kemudian, lepaskan kebiasaan membandingkan diri. Tidak ada gunanya menilai hidup sendiri dengan penggaris milik orang lain. Setiap orang punya ritme, waktu, dan musimnya masing-masing. Tidak semua yang terlihat lebih cepat berarti lebih bahagia. Kadang yang paling damai justru yang berjalan pelan tapi tahu arah pulang.

Dan yang terakhir, lakukan sesuatu karena memang ingin, bukan karena merasa seharusnya. Hidup yang dijalani dengan tekanan “seharusnya” akan terasa berat, seolah kita sedang hidup untuk orang lain. Tapi kalau dijalani dengan kesadaran “aku ingin”, rasanya jauh lebih ringan. Tidak ada yang salah dengan ingin sederhana. Tidak ada yang perlu dibuktikan.

Keluar dari ilusi kompleksitas bukan soal menyingkir dari dunia, tapi menata ulang cara kita melihatnya. Dunia boleh sibuk, tapi kepala kita tidak harus ikut bising. Kadang cukup berhenti sejenak, tarik napas dalam-dalam, lalu sadar bahwa ternyata hidup yang kita cari selama ini sudah ada di sini, di tengah hal-hal kecil yang sering kita anggap remeh.

****

Penutup: Kembali ke Sederhana

Pada akhirnya, hidup memang tidak harus serumit yang kita bayangkan. Kadang kita hanya perlu berhenti sejenak untuk sadar bahwa semua yang kita kejar mungkin hanyalah bayangan dari pikiran sendiri. Kita ingin bahagia, tapi malah sibuk menciptakan definisi tentang bahagia. Kita ingin tenang, tapi justru menambah beban demi mencapainya. Padahal mungkin, hidup tidak menuntut sebanyak itu. Ia hanya ingin dijalani dengan sadar, dijaga dengan tulus, dan diterima apa adanya.

Tidak ada yang salah dengan ingin sukses, ingin dicintai, atau ingin sejahtera. Tapi semua itu akan terasa lebih ringan kalau kita tidak menganggapnya sebagai kewajiban moral untuk menjadi “spesial.” Tidak semua orang ditakdirkan jadi luar biasa, dan itu tidak apa-apa. Dunia tetap berjalan meski kita hanya jadi manusia biasa yang bangun pagi, minum kopi, bekerja secukupnya, lalu menikmati sore dengan tenang.

Hidup tidak perlu dimenangkan. Cukup dijalani.

****

Mindset Sederhana yang Bisa Kita Tiru

Kalau manusia sering tersesat dalam pikirannya sendiri, hewan hidup dengan cara yang jauh lebih sederhana dan selaras. Dari mereka, kita bisa belajar cara hidup yang lebih ringan, tanpa kehilangan makna.

Hidup di saat ini. Hewan tidak menyesali yang sudah lewat dan tidak khawatir pada yang belum datang. Mereka hadir sepenuhnya pada momen yang sedang dijalani. Kita pun bisa belajar menikmati saat ini tanpa harus mengaitkannya dengan masa lalu atau masa depan.

Dengarkan tubuhmu. Kalau lapar, makan. Kalau lelah, istirahat. Kalau butuh diam, berhenti sebentar. Manusia sering lupa bahwa tubuh juga punya bahasa sendiri, tapi kita sibuk menundanya demi target dan jadwal yang tak ada habisnya.

Berhenti membandingkan. Burung tidak iri pada singa, dan kucing tidak iri pada paus. Semua punya perannya masing-masing di alam. Begitu juga kita, tidak perlu meniru atau membandingkan hidup dengan orang lain.

Selaras dengan ritme alam. Tidur cukup, terkena cahaya matahari, dan bergerak secukupnya. Hidup yang mengikuti ritme alam terasa lebih damai daripada hidup yang terus dipaksa menyesuaikan diri dengan ritme mesin.

Fokus pada hal yang esensial. Di luar kebutuhan dasar, banyak hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Kesehatan, ketenangan, dan hubungan yang tulus sering kali sudah lebih dari cukup. Sisanya hanyalah aksesori yang mudah pudar.

****

Mungkin itulah jalan keluar paling sederhana dari segala kerumitan yang kita buat sendiri. Analoginya seperti cara hidup hewan. Tidak dalam arti liar atau primitif, tapi dalam arti hidup dengan apa adanya, tanpa drama yang diciptakan pikiran. Mereka tidak berusaha terlihat bahagia, tapi tetap hidup dengan damai. Dan mungkin, di situlah letak kebijaksanaan yang paling murni.